Sunday, 21 June 2015

Hadits tentang Kepemimpinan


BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting dan strategis. Karena, ia sangat menentukan nasib sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa salah satu ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat, dan mampu menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Pada prinsipnya setiap muslim adalah pemimpin, setiap insan memikul tanggung jawab sesuai dengan apa yang dibebankan kepadanya.
 Bagaimana konsep kepemimpinan tersebut? Apa saja tanggung jawab yang harus dijalankan? Bolehkah meminta jabatan? Serta bagaimana konsep Islam tentang kaum wanita menjadi pemimpin? Inilah yang selanjutnya akan kami paparkan dalam pembahasan makalah ini.












BAB II
PEMBAHASAN
PEMIMPIN DAN JABATAN
A.    TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
عن عبد الله رضي الله عنه ان رسول الله  صلى الله عليه وسلم قال: كلكم راع فمسئول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع وهو مسئول عنهم والرجل راع عن اهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية عن بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع و كلكم م مسئعن عن رعيته (أخرجه البخاري فى كتاب العتق باب كراهية التطاول على الرقيق وقوله عبدي او امتي)
Dari Abdullah ibn Umar Ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “setiap dari kalian adalah pemimpin maka bertanggung jawab atas yang dipimpin. Seorang pemimpin yang memimpin masyarakat maka ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan anak-anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang pelayan adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpin.” (mengeluarkan  H.R.Bukhari pada bab larangan berlaku sombong terhadap hamba sahaya dn perkataan hamba atau umatku).[1]
Pemimpin atau pemelihara yang dalam hadis di atas disebut dengan kata “ra’in” adalah pemelihara yang selalu berusaha untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap anggota yang berada dalam pemeliharaannya. Ia adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk mengurus dan memelihara segala sesuatu yang menjadi beban atau tugas yang harus dilaksanakannya (ra’iyyah).
Menurut Drs. Abdul Karim, M.Ag. hadits ini menjelaskan bahwa setiap mukallaf mempunyai tugas kepemimpinan, baik yang berskala besar, seperti pemerintahan, maupun yang berskala kecil, seperti urusan berumah tangga dan harta benda. Tugas kepemimpinan itu tidak terbatas hanya pada orang kaya saja, hamba sahaya pun juga bertugas dalam memelihara dan mengamankan harta benda tuannya. Untuk itu semuanya akan dimintai pertanggung jawaban sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Karena itu kita semua dituntut untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, agar dapat dipertanggung jawabkan sebagaimana mestinya.[2]

B.     KEDUDUKAN PEMIMPIN
حدثنا معقل بن يسار عن الحسن ان عبيد الله بن زياد عاد حدثنا معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه فقال له معقل ;اني محدثك حديثا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم سمعت النبي ص.م. يقول ما من عبد استرعاه الله رعية فلم يحطها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة (اخرجه البخاري فى93 كتاب الأحكام باب 8 من استرعي رعية فلم ينصح).
Ma’qil ibn Yasar Ra dari hasan bahwasanya ubaidillah bin ziyat mengunjungi ma’kil ibni yasar di saat sakit lantas ma’kil berkata kepadanya bahwa saya akan ceritakan suatu hadist yang saya dengar dari rosullullah, Rasulullah SAW bersabda: “tidakl ada seorang hamba yang diberikan tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk melainkan ia tidak memperoleh bau surga”dikeluarkan (H.R. Bukhari).[3]
Hadits ini menerangkan tentang tugas kepemimpinan yang tidak dilaksanakan dengan baik, berakibat bahwa si pemangku kepemimpinan atau jabatan kepemimpinan itu tidak akan mencium bau surga. Setiap orang dituntut untuk melaksanakan tugas kepemimpinannya dengan baik. Dengan demikian, dia akan dapat mempertanggung jawabkan tugasnya itu dihadapan Allah SWT, oleh karena itu Allah akan memberi ganjaran berupa kenikmatan surga.
Seorang pemimpin, baik sebagai kepala negara, raja, gubernur, walikota, bupati, camat, kepala desa, maupun yang lainnya, didaulat penuh oleh rakyat untuk mengemban amanah sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa menegakkan supremasi hukum dengan adil dan bijaksana, memberikan hak-hak rakyat, menjamin kemerdekaan berpendapat, berserikat, menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Mereka juga harus mendukung setiap langkah yang positif untuk membangun bangsa yang beradab, adil, dan sejahtera. Singkatnya, tugas kepemimpinan itu adalah memberi pelayanan yang baik terhadap orang yang dipimpinnya.[4]

C.    LARANGAN MENCARI JABATAN
حدثنا عبد الرحمن بن سمرة قال النبى صلى الله عليه وسلم يا عبد الرحمن بن سمرة لا تسأل امارة فانك ان اعطيتها عن مسألة وكلت اليها وان اعطيتها من غير مسألة اعنت عليها (اخرجه البخاري فى83 كتاب الايمان و النزور).
Abdurrahman ibn Samurah Ra berkata, Nabi SAW bersabda: “wahai Abdurrahman ibn Samurah janganlah engkau meminta diangkat menjadi penguasa karena jika engkau diberi kekuasaan lantaran permintaan ,niscaya engkau dibiyarkan ( yakni tidak diberi pertolongan )namun jika kamu diberi kekuasaan bukan karna permintaan niscaya kamu diberi pertolongan untuk melaksanakannyadikeluarkan oleh (H.R. Bukhari).[5]
Al-Mahiry menerangkan maksud dari hadits tersebut yakni bahwa seseorang itu tidak boleh berambisi untuk menjadi pemimpin, sebab umumnya ambisi seseorang terhadap sesuatu adalah merupakan bukti adanya maksud-maksud tertentu terhadap apa yang ia inginkan. Akibatnya adalah tidak adanya pertimbangan dari segi kemampuan diri untuk mengurusi apa yang nantinya diurusi.
Tidak jarang ditemui anggapan bahwa dengan menjadi seorang pemimpin memudahkan seseorang yang ambisius tadi untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yg tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai kekayaan kemewahan serta kemegahan. Wajar bila kemudian utk mewujudkan ambisinya ini banyak elit politik atau “calon pemimpin” dibidang lainnya tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih. Atau sekedar uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye dan sebagainya. Bahkan ada yg ekstrim ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut.
Berbeda halnya apabila masyarakat menghendaki agar kita menjadi pemimpin, maka kita harus memperhatikan kemampuan kita, jika kita mampu maka amanat kepemimpinan itu harus kita terima, tetapi apabila kita tidak mampu maka sebaiknya kita tolak sambil memberikan pandangan tentang siapa yang paling pantas untuk memimpin
Bagi pejabat yang benar-benar bertindak sesuai dengan ketentuan (berbuat adil), Allah SWT menjanjikan kemuliaan dan bagi pejabat yang berbuat sewenang-wenang (zhalim), Allah SWT menjanjikan kehinaan.[6]

D.    Batas Ketaatan Terhadap Pemimpin
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب وكره مالم يؤمر بمعصية فاذا امر بمعصية فلا سمع ولا طاعة (اخرجه البخاري فى 93 كتاب الأحكام 4 باب السمع و الطاعة للامام مالم تكن بمعصية).
Hadist Abdullah ibn Umar Ra, dari Nabi SAW bersabda: “mendengarkan dan mentaati merupakan kewajiban seoran muslim mengenai hal-hal yang ia suka dan ia benci sepanjang ia tidak diperintahkan berbuat durhaka, maka jika diperintahkan untuk berbuat durhaka tidaklah boleh mendengarkan dan tidak boleh mengikutinya”mengeluarkan (H.R. Bukhari).[7]
Hadits ini secara jelas menerangkan bahwa ketaatan itu hanyalah kepada yang ma’ruf saja. Ma’ruf berarti sudah dikenal secara merata bahwa sesuatu itu baik. Pada prinsipnya pemimpin menghendaki adanya kemaslahatan bagi masyarakatnya, selama perintah tersebut berorientasi kepada kemaslahatan maka wajib bagi kita untuk mentaatinya. Namun sebaliknya, jika pemimpin mengadakan peraturan atau memerintahkan untuk kejahatan maka kita tidak wajib untuk taat.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin, ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sandi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kpercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan kepemetintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagai mana mestinya, jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka roda akan lumpuh dan akan muncul fitnah dimana-mana, atas dasar itu ketaatan kepada pemimpin merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara , bahkan dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan. Rosullallah selalu menekankan kepada umatnya untuk selalu taat kepada pemimpin dalam batas-batas syariatnya.[8]

E.     Larangan Wanita Jadi Pemimpin
عن ابي بكرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: لن يفلح قوم ولوا امرهم امرأة (اخرجه البخاري فى كتاب الفتن باب الفتنة التي تموج كموج البحر).
Abu Bakrah Ra berkata dari Nabi SAW beliau bersbda’’ suatu kaum yang menguasakan urusannya kepada wanita tidak akan bahagia.” (H.R. Bukhari).[9]
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah /kepala negara).
Sedangkan didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri, bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.
Selanjutnya dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita.





BAB III
PENUTUP/SIMPULAN
Seluruh manusia menjadi pemimpin sekaligus menjadi pemelihara dan pengurus terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemimpin atau pengurus harus berbuat baik kepada apa yang dipimpinnya atau diurusinya, karena semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya di hadapan Allah.
Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang ditempuhnya sewaktu di dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya.












DAFTAR PUSTAKA

1.       Abidin Ja’far & M.Noor Fuady. Hadits Nabawi. (Antasari Press: Banjarmasin. 2008).
2. Abdullah Karim. Hadits Nabi SAW. (Center Community Development.Banjarmasin. 2004).
3.    Al Mahiry. Pesan-Pesan Rasulullah. (Citra Umbara. Bandung. 1995).
4.    muhammad fuad abdul baqi.al-lu’lu wal marjan jilid2.(al-ridha;semarang)
5.    ibnu hajar al-asqolani, bulugul marom.(cv mt purqon;surabaya.2008)


No comments:

Post a Comment