BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan
kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting dan strategis. Karena, ia
sangat menentukan nasib sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah telah membuktikan
bahwa salah satu ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah
masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada
kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat, dan mampu menghadirkan perubahan
ke arah yang lebih baik.
Pada prinsipnya setiap
muslim adalah pemimpin, setiap insan memikul tanggung jawab sesuai dengan apa
yang dibebankan kepadanya.
Bagaimana konsep kepemimpinan tersebut? Apa
saja tanggung jawab yang harus dijalankan? Bolehkah meminta jabatan? Serta
bagaimana konsep Islam tentang kaum wanita menjadi pemimpin? Inilah yang selanjutnya
akan kami paparkan dalam pembahasan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMIMPIN
DAN JABATAN
A. TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
عن عبد الله رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كلكم راع فمسئول عن
رعيته فالأمير الذي على الناس راع وهو مسئول عنهم
والرجل راع عن اهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية عن بيت بعلها وولده وهي
مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع و كلكم م مسئعن عن
رعيته (أخرجه البخاري فى كتاب العتق باب كراهية
التطاول على الرقيق وقوله عبدي او امتي)
Dari Abdullah ibn Umar Ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “setiap dari
kalian adalah pemimpin maka bertanggung jawab atas yang dipimpin. Seorang
pemimpin yang memimpin masyarakat maka ia bertanggung jawab atas mereka.
Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya dan ia bertanggung jawab
atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan
anak-anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang pelayan adalah
pemimpin terhadap harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah
bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas
yang dipimpin.” (mengeluarkan H.R.Bukhari pada bab larangan berlaku sombong
terhadap hamba sahaya dn perkataan hamba atau umatku).[1]
Pemimpin atau pemelihara
yang dalam hadis di atas disebut dengan kata “ra’in” adalah pemelihara yang
selalu berusaha untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap anggota yang berada
dalam pemeliharaannya. Ia adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk
mengurus dan memelihara segala sesuatu yang menjadi beban atau tugas yang harus
dilaksanakannya (ra’iyyah).
Menurut
Drs. Abdul Karim, M.Ag. hadits ini menjelaskan bahwa setiap mukallaf mempunyai
tugas kepemimpinan, baik yang berskala besar, seperti pemerintahan, maupun yang
berskala kecil, seperti urusan berumah tangga dan harta benda. Tugas
kepemimpinan itu tidak terbatas hanya pada orang kaya saja, hamba sahaya pun
juga bertugas dalam memelihara dan mengamankan harta benda tuannya. Untuk itu
semuanya akan dimintai pertanggung jawaban sesuai dengan tugas yang dibebankan
kepadanya. Karena itu kita semua dituntut untuk melaksanakan tugas dengan
sebaik-baiknya, agar dapat dipertanggung jawabkan sebagaimana mestinya.[2]
B.
KEDUDUKAN PEMIMPIN
حدثنا معقل بن يسار عن الحسن ان عبيد الله
بن زياد عاد حدثنا معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه فقال له معقل ;اني محدثك حديثا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم
سمعت النبي ص.م. يقول ما من عبد استرعاه الله رعية فلم يحطها بنصيحة الا لم يجد
رائحة الجنة (اخرجه البخاري فى93 كتاب الأحكام
باب 8 من استرعي رعية فلم ينصح).
Ma’qil ibn Yasar Ra dari hasan bahwasanya ubaidillah bin ziyat mengunjungi
ma’kil ibni yasar di saat sakit lantas ma’kil berkata kepadanya bahwa saya akan
ceritakan suatu hadist yang saya dengar dari rosullullah, Rasulullah SAW
bersabda: “tidakl ada seorang hamba yang diberikan tugas oleh Allah untuk
memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk
melainkan ia tidak memperoleh bau surga”dikeluarkan (H.R.
Bukhari).[3]
Hadits
ini menerangkan tentang tugas kepemimpinan yang tidak dilaksanakan dengan baik,
berakibat bahwa si pemangku kepemimpinan atau jabatan kepemimpinan itu tidak
akan mencium bau surga. Setiap orang dituntut untuk melaksanakan tugas
kepemimpinannya dengan baik. Dengan demikian, dia akan dapat mempertanggung jawabkan
tugasnya itu dihadapan Allah SWT, oleh karena itu Allah akan memberi ganjaran
berupa kenikmatan surga.
Seorang pemimpin, baik
sebagai kepala negara, raja, gubernur, walikota, bupati, camat, kepala desa,
maupun yang lainnya, didaulat penuh oleh rakyat untuk mengemban amanah
sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa menegakkan
supremasi hukum dengan adil dan bijaksana, memberikan hak-hak rakyat, menjamin
kemerdekaan berpendapat, berserikat, menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka
masing-masing. Mereka
juga harus mendukung setiap langkah yang positif untuk membangun bangsa yang
beradab, adil, dan sejahtera. Singkatnya, tugas kepemimpinan
itu adalah memberi pelayanan yang baik terhadap orang yang dipimpinnya.[4]
C.
LARANGAN MENCARI JABATAN
حدثنا عبد الرحمن بن سمرة قال النبى صلى
الله عليه وسلم يا عبد الرحمن بن سمرة لا تسأل امارة فانك ان اعطيتها عن مسألة
وكلت اليها وان اعطيتها من غير مسألة اعنت عليها (اخرجه البخاري
فى83 كتاب الايمان و النزور).
Abdurrahman ibn Samurah Ra berkata, Nabi SAW bersabda: “wahai Abdurrahman
ibn Samurah janganlah engkau meminta diangkat menjadi penguasa karena
jika engkau diberi kekuasaan lantaran
permintaan ,niscaya engkau dibiyarkan ( yakni tidak diberi pertolongan )namun
jika kamu diberi kekuasaan bukan karna permintaan niscaya kamu diberi
pertolongan untuk melaksanakannya”dikeluarkan oleh (H.R. Bukhari).[5]
Al-Mahiry
menerangkan maksud dari hadits tersebut yakni bahwa seseorang itu tidak boleh
berambisi untuk menjadi pemimpin, sebab umumnya ambisi seseorang terhadap
sesuatu adalah merupakan bukti adanya maksud-maksud tertentu terhadap apa yang
ia inginkan. Akibatnya adalah tidak adanya pertimbangan dari segi kemampuan
diri untuk mengurusi apa yang nantinya diurusi.
Tidak jarang ditemui anggapan bahwa dengan menjadi seorang pemimpin memudahkan seseorang yang ambisius tadi untuk memenuhi tuntutan hawa
nafsunya berupa kepopuleran,
penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yg tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan
mereka, memerintah dan
menguasai kekayaan kemewahan serta kemegahan. Wajar bila kemudian utk mewujudkan ambisinya ini banyak elit
politik atau “calon pemimpin” dibidang lainnya tidak segan-segan melakukan
politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih. Atau
sekedar uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring
saat berlangsungnya kampanye dan sebagainya. Bahkan ada yg ekstrim ia pun siap
menghilangkan nyawa orang lain yang
dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau
seseorang yang dianggap
sebagai duri dalam daging yang
dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut.
Berbeda
halnya apabila masyarakat menghendaki agar kita menjadi pemimpin, maka kita
harus memperhatikan kemampuan kita, jika kita mampu maka amanat kepemimpinan
itu harus kita terima, tetapi apabila kita tidak mampu maka sebaiknya kita
tolak sambil memberikan pandangan tentang siapa yang paling pantas untuk
memimpin
Bagi
pejabat yang benar-benar bertindak sesuai dengan ketentuan (berbuat adil),
Allah SWT menjanjikan kemuliaan dan bagi pejabat yang berbuat sewenang-wenang
(zhalim), Allah SWT menjanjikan kehinaan.[6]
D.
Batas Ketaatan Terhadap Pemimpin
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب وكره مالم
يؤمر بمعصية فاذا امر بمعصية فلا سمع ولا طاعة (اخرجه البخاري فى 93 كتاب الأحكام 4 باب السمع و الطاعة للامام مالم تكن
بمعصية).
Hadist Abdullah ibn Umar Ra, dari Nabi SAW bersabda: “mendengarkan dan mentaati
merupakan kewajiban seoran muslim mengenai hal-hal yang ia suka dan ia benci
sepanjang ia tidak diperintahkan berbuat durhaka, maka jika diperintahkan untuk
berbuat durhaka tidaklah boleh mendengarkan dan tidak boleh mengikutinya”mengeluarkan (H.R. Bukhari).[7]
Hadits
ini secara jelas menerangkan bahwa ketaatan itu hanyalah kepada yang ma’ruf saja.
Ma’ruf berarti sudah dikenal secara merata bahwa sesuatu itu baik. Pada
prinsipnya pemimpin menghendaki adanya kemaslahatan bagi masyarakatnya, selama
perintah tersebut berorientasi kepada kemaslahatan maka wajib bagi kita untuk
mentaatinya. Namun sebaliknya, jika pemimpin mengadakan peraturan atau
memerintahkan untuk kejahatan maka kita tidak wajib untuk taat.
Salah
satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin, ini didasarkan pada
suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sandi dasar tegaknya suatu
kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kpercayaan kepada pemimpin,
kepemimpinan dan kepemetintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagai mana
mestinya, jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka roda akan lumpuh dan
akan muncul fitnah dimana-mana, atas dasar itu ketaatan kepada pemimpin
merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara , bahkan dasar dari
ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan. Rosullallah selalu menekankan
kepada umatnya untuk selalu taat kepada pemimpin dalam batas-batas syariatnya.[8]
E.
Larangan Wanita Jadi Pemimpin
عن ابي بكرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: لن يفلح قوم
ولوا امرهم امرأة (اخرجه البخاري فى كتاب الفتن باب الفتنة
التي تموج كموج البحر).
Abu Bakrah Ra berkata dari Nabi SAW beliau
bersbda’’ suatu kaum yang menguasakan urusannya kepada wanita tidak akan
bahagia.” (H.R. Bukhari).[9]
Imam al-Qurthubi dalam
tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah
seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh
menjadi imam (khalifah /kepala negara).
Sedangkan didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat
jelas bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini
memang berbicara tentang keluarga, dan
kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan
pendekatan tasyri, bila
untuk mengatur rumah tangga saja lelaki
harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih
diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk
mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas
wanita, maka terlebih lagi masalah
negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.
Selanjutnya dalam sejarah pemerintahan
Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau
pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan
wanita.
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN
Seluruh
manusia menjadi pemimpin sekaligus menjadi pemelihara dan pengurus terhadap apa
yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemimpin
atau pengurus harus berbuat baik kepada apa yang dipimpinnya atau diurusinya,
karena semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya di hadapan Allah.
Pemimpin
atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan
amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang.
Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang ditempuhnya sewaktu di
dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah
merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah
akan melaknatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abidin
Ja’far & M.Noor Fuady. Hadits Nabawi. (Antasari Press: Banjarmasin.
2008).
2. Abdullah Karim. Hadits Nabi SAW.
(Center Community Development.Banjarmasin. 2004).
3.
Al Mahiry. Pesan-Pesan Rasulullah. (Citra Umbara. Bandung. 1995).
4.
muhammad fuad abdul baqi.al-lu’lu wal marjan jilid2.(al-ridha;semarang)
5.
ibnu hajar al-asqolani, bulugul marom.(cv mt
purqon;surabaya.2008)
No comments:
Post a Comment