Wednesday, 24 June 2015

makalah tentang Hibah


BAB I
PENDAHULUAN
            Hibah adalah akad yang berisi pemberian sesuatu oleh seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika dia masih hidup, tanpa penukaran. Hibah yang mutlak tidak membutuhkan penukar, baik yang semisal dengannya, lebih rendah darinya, atau lebih tinggi darinya.
            Allah mensyari;atkan hibah karena itu dapat menyatukan hati dan menguatkan cinta antar sesama manusia dengan hibah. Jumhur ulama menyatakan mengharamkan untuk mengambil kembali hibah, meskipun hibah terjadi antara saudara atau suami istri.
            Dengan demikian kami selaku pemakalah membuat makalah iniuntuk mendalami pengertian dan syarat- syaratnya serta rukun- rukunnya, semoga makalah kami dapat diterima. Kami ucapkan terima kasih.

 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hibah
Di dalam Al- Qur’an yang mulia Allah swt. berfirman:
 tA$s% Éb>u ó=yd Í< `ÏB šRà$©! Zp­ƒÍhèŒ ºpt7ÍhsÛ ( š¨RÎ) ßìÏÿxœ Ïä!$tã$!$# ÇÌÑÈ   ( أل عمران: ٣۸)
“ ……Dia berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".  ( QS. Ali ‘Imran: 38)
Kata hibah berasal dari kata hubub Ar- Rih ( hembusan angin) dan kata ini digunakan untuk menunjukan pemberian dan kebajikan kepada orang lain, baik dengan harta maupun lainnya.
            Sementara itu menurut syari’at hibah adalah akad yang berisi pemberian sesuatu oleh seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika ia masih hidup, tanpa penukar. Jika seseorang hanya mengizinkan kepada orang lain untuk memanfaatkan hartanya, dan tidak memberikan harta itu kepadanya, maka itu bukan hibah melainkan peminjaman.
            Jika ia memberikan pemberian itu tidak dilakukan pada masih hidup, tetapi baru dilakukan setelah yang memberikan harta itu meninggal maka itu disebut wasiat. Dan jika hibah dilakukan dengan penukar, maka itu disebut dengan jual beli artinya barang yang dihibahkan telah dimiliki begitu akad dilaksanakan.
            Tindakan- tindakan orang yang berhibah terhadap barang yang dihibahkan tidak sah, kecuali dengan izin orang yang diberi hibah. Didalamnya berlaku khiyar, dan syuf’ah, dan agar penukar diketahui. Jika penukar tidak diketahui maka hibahnya batal.
            Hibah yang mutlak tidak membutuhkan penukar, baik yang semisal dengannya, lebih rendah darinya, atau lebih tinggi darinya.
            Inilah hibah dengan makna khusus. Adapun hibah dengan makna umum mencakup hal- hal berikut ini:
1.      Ibra’ ( penghapus hutang) yaitu penghibahan hutang kepada orang yang berhutang.
2.      Sedekah yaitu penghibahan suatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat.
3.      Hadiah yaitu penghibahan suatu yang harus diberikan penukarannya oleh yang berhibah.
B.     Landasan Pensyari’atan Hibah
Allah mensyari’atkan hibah karena itu dapat menyatukan hati dan menguatkan ikatan cinta antar manusia. Abu Hurairah ra. meriwayatkan, Rasulullah bersabda: تَهَادَو تَحَابُّو                             
Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai’
وَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّه بَعَالَي عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللّه صَلَي اللّه عَلَيْهِ وَ سَلَمُ يَقْبَلُ الهَدِيَّةَ وَ يُثِيْبُ عَلَيْهَا ( رواه البخاري)
aisyah ra. menceritakan, bahwa Rasulullah saw. pernah menerima dan ia membalas hadiah.”[1]
C.    Rukun Hibah
Hibah dilakukan dengan ijab dan qabul, dengan perkataan yang menunjukan dengan adanya proses pemberian suatu barang tanpa penukar.
Malik dan Syafi’I mengharuskan adanya qabul dalam hibah. Sebagian ulama dari mazhab Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup dan ini adalah yang paling benar, sementara itu, ulama mazhab Hanbali mengatakan bahwa hibah cukup dilakukan dengan penyerahan dan penerinaan. Nabi saw. biasa memberi dan diberi hadiah, begitu pla dengan sahabat- sahabat Belaiu. Dan mereka mensyaratkan ijab dan qabul dan sejenisnya.
D.    Syarat Hibah
Hibah mengharuskan adanya orang yang berhibah, orang yang diberi hibah, dan barang yang dihibahkan.
Ø  Syarat orang yang memberi hibah
1.      Merupakan pemilik barang yang dihibahkan
2.      Tidak dilarang untuk membelanjakan hartanya dengan salah satu sebab pelanggaran.
3.      Memiliki kebebesan kehendak karena hibah adalah akad dimana keridhaan  adalah syarat keabsahannya.
Ø  Syarat orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan bener- benar ada ketika diberikan hibah. Jika dia sama sekali tidak ada, atau baru dianggap ada, misalnya dia masih berbentuk janin, maka hibah tersebut tidak sah.
Jika seseorang yang diberi hibah telah ada ketika hibah diberikan tapi masih kecil atau gil, maka hibah diterima oleh walinya, orang yang diwasiati mengurusnyaatau orang yang merawatnya meskipun ia orang asing.
Ø  Syarat barang yang dihibahkan
Berikut ini merupakan barang yang disyaratkan untuk dihibahkan
a.       Barangnya benar- benar ada
b.      Merupakan harta yang memiliki nilai
c.       Bisa dimiliki
d.      Tidak menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon, dan bangunan tanpa tanah
e.       Merupakan milik pribadi
Ø  Hibah orang yang sakaratul maut
Jika seseorang sedang sakit menjelang kematian dan menghibahkan hartanya kepada orang lain, maka hukum hibahnya adalah sama dengan hukum wasiat. Jika ia menghibahkan sesuatu kepada salah satu ahli warisnya lalu ia meninggal dan orang yang diberi hibah mengklaim bahwa ia berhibah dalam kondisi sakit menjelang kematian hukumnya disesuaikan kondisi tersebut. Artinya, hibah ini tidak sah kecuali dengan izin ahli warisnya.
Ø  Serah terima barang
Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa barang yang dihibahkan dimiliki secara otomatis oleh orang yang diberi hibah begitu akad terlaksana. Serah terima barang tersebut sama sekali tidak diisyaratkan karena seperti halnya jual beli pada pokoknya, akad- akad tetap sah tanpa diisyaratkan adanya serah terima. Ini pendapat yang dianut oleh Ahmad, Mlik Abu Tsaur, dan ahli zahir. Berdasarkan pendapat ini, jika orang yang berhibah dan orang yang diberi hibah meninggal sebelum serah terima, maka hibah tidak batal karena begitu akad terlaksana, barang yang dihibahkan telah menjadi milik orang lain yang diberi hibah.
Ø  Mengambil kembali hibah
Jumhur ulama mengatakan mengharamkan untuk mengambil kembali hibah, meskipun hibah terjadi antara saudara atau suami istri. Kecuali jika seorang bapak berhibah kepada anaknya, maka dia boleh mengambilnya kembali. Ibnu Abbas dan Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْظِيَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةَ فَيَرْجِعَ فِيْهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَ مَثَلَ الَّذِي يُعْطِي العَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكَلُ فَإِذََا شَبِعَ قَاءَثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ.
Tidaklah halal bagi seorang laki- laki memberikan suatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah lalu mengambilnya kembali, bapak kecuali apa yang diberikannya kepada anaknya. Dan perumpamaan orang  yang diberikan lalu mengambilnya kembali adalah ibarat anjing yang makan lalu ketika telah kenyang dan kembali memuntahkannya.
Ø  Hadiah dan hibah yang tidak boleh ditolak
1.      Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ثَلاَثُ لاَ تُرَدُّ: الْوَسَائِدُ وْ الْدُّهْنُ وَالْلَّبَنَ
Ada tiga barang yang tidak boleh ditolak, bantal, minyak wangi dan susu.”
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانُ فَلاَ يَرُدُّهُ لِأَنَّهُ خَفِيْفُ الْمَحْمِلِ طَيِّبِ الرِّيْحُ
“ Barang siapa yang ditawarkan kepadanya wewenang, maka janganlah ia menolaknya, karena ia ringan untuk dibawa dan harum baunya.”
Ø  Ucapan terima kasih dan do’a bagi orang yang memberi hadiah
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ إِلَي النَّاسِ, لَمْ يَشْكُر اِلَي اللّهِ
Barang siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, dia tidak bersyukur kepada Allah”.
Usamah bin Zaid meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعُرُوْفَ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا, فَقَدْ بَلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“ barang siapa dilakukan kepadanya suatu kebaikan, lalu ia mengatakan kapada orang yang melakukannya, semoga Allah membalas dengan kebaikan, maka ia bersungguh- sungguh dalam berterima kasih.”
            Anas meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, orang- orang muhajirin datang kepada beliau berkata “ Wahai Rasulullah, kami tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih dermawan ketika memiliki banyak harta dan lebih bangus pertolongannyaketika memiliki sedikit harta dari pada kaum dimana kami tinggal ditempat mereka ini. Sungguh mereka telah mencukupkan kami dari pekerjaan buah dan menyekutukan dalam buah. Sampai- sampai kami takut mereka akan pergi denga membawa seluruh pahala, Beliau bersabda:
لاَ مَنْ دَعَوْهَمْ اللّهُ لَهُمْ وَ اَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ
“ tidak selama kalian berdo’a kepada Allah untuk mereka dan berterima kasih kepada mereka”.
Ø  Penghibahan milik bersama
Dari bab ini fuqaha berselisih pendapat tentang kebolehan menghibahkan barang milik bersama yang tidak bisa dibagi.
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa penghibahan seperti ini sah. Sedang Abu Hanifah  berpendapat tidak sah.
Fuqaha golongan pertama berpegang penerimaan pada pada hak milik bersama itu sah sebagaimana penerimaan dalam jual beli, sementara Imam Abu Hanifah berpegangan bahwa penerimaan pada hibah itu tidak sah kecuali secara terpisah atau sendiri. Seperti halnya gadai.[2]


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Hibah adalah akad yang berisi pemberian sesuatu oleh seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika dia masih hidup, tanpa penukaran
            Hibah yang mutlak tidak membutuhkan penukar, baik yang semisal dengannya, lebih rendah darinya, atau lebih tinggi darinya.
            Inilah hibah dengan makna khusus. Adapun hibah dengan makna umum mencakup hal- hal berikut ini:
1.      Ibra’ ( penghapus hutang).
2.      Sedekah.
3.      Hadiah.
Ø  Syarat orang yang memberi hibah
1.      Merupakan pemilik barang yang dihibahkan
2.      Tidak dilarang untuk membelanjakan hartanya dengan salah satu sebab pelanggaran.
3.      Memiliki kebebesan kehendak karena hibah adalah akad dimana keridhaan  adalah syarat keabsahannya.
Ø  Syarat orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan bener- benar ada ketika diberikan hibah.
Ø              Syarat barang yang dihibahkan
Berikut ini merupakan barang yang disyaratkan untuk dihibahkan
a.       Barangnya benar- benar ada
b.      Merupakan harta yang memiliki nilai
c.       Bisa dimiliki
d.      Tidak menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon, dan bangunan tanpa tanah


[1] .sodarsono, Pokok- Pokok Agama Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992. Hal: 502
[2] . Ibnu Rasyid, Bidayatul Mujtahid, Semarang, CV. Asy- Syifa, Hal: 436

No comments:

Post a Comment