BAB I
PENDAHULUAN
Hibah adalah akad yang berisi
pemberian sesuatu oleh seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika dia
masih hidup, tanpa penukaran. Hibah yang mutlak tidak membutuhkan penukar, baik
yang semisal dengannya, lebih rendah darinya, atau lebih tinggi darinya.
Allah mensyari;atkan hibah karena
itu dapat menyatukan hati dan menguatkan cinta antar sesama manusia dengan
hibah. Jumhur ulama menyatakan mengharamkan untuk mengambil kembali hibah,
meskipun hibah terjadi antara saudara atau suami istri.
Dengan demikian kami selaku
pemakalah membuat makalah iniuntuk mendalami pengertian dan syarat- syaratnya
serta rukun- rukunnya, semoga makalah kami dapat diterima. Kami ucapkan terima
kasih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hibah
Di dalam Al- Qur’an yang mulia Allah swt. berfirman:
tA$s% Éb>u ó=yd Í< `ÏB Rà$©! ZpÍhè ºpt7ÍhsÛ (
¨RÎ) ßìÏÿx Ïä!$tã$!$# ÇÌÑÈ ( أل عمران: ٣۸)
“ ……Dia berkata: "Ya
Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya
Engkau Maha Pendengar doa". ( QS. Ali ‘Imran: 38)
Kata hibah berasal dari kata hubub
Ar- Rih ( hembusan angin) dan kata ini digunakan untuk menunjukan pemberian dan
kebajikan kepada orang lain, baik dengan harta maupun lainnya.
Sementara
itu menurut syari’at hibah adalah akad yang berisi pemberian sesuatu oleh
seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika ia masih hidup, tanpa penukar.
Jika seseorang hanya mengizinkan kepada orang lain untuk memanfaatkan hartanya,
dan tidak memberikan harta itu kepadanya, maka itu bukan hibah melainkan
peminjaman.
Jika
ia memberikan pemberian itu tidak dilakukan pada masih hidup, tetapi baru
dilakukan setelah yang memberikan harta itu meninggal maka itu disebut wasiat.
Dan jika hibah dilakukan dengan penukar, maka itu disebut dengan jual beli
artinya barang yang dihibahkan telah dimiliki begitu akad dilaksanakan.
Tindakan-
tindakan orang yang berhibah terhadap barang yang dihibahkan tidak sah, kecuali
dengan izin orang yang diberi hibah. Didalamnya berlaku khiyar, dan syuf’ah, dan
agar penukar diketahui. Jika penukar tidak diketahui maka hibahnya batal.
Hibah
yang mutlak tidak membutuhkan penukar, baik yang semisal dengannya, lebih
rendah darinya, atau lebih tinggi darinya.
Inilah
hibah dengan makna khusus. Adapun hibah dengan makna umum mencakup hal- hal
berikut ini:
1.
Ibra’ (
penghapus hutang) yaitu penghibahan hutang kepada orang yang berhutang.
2.
Sedekah yaitu
penghibahan suatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat.
3.
Hadiah yaitu
penghibahan suatu yang harus diberikan penukarannya oleh yang berhibah.
B.
Landasan
Pensyari’atan Hibah
Allah mensyari’atkan hibah karena itu dapat menyatukan hati dan
menguatkan ikatan cinta antar manusia. Abu Hurairah ra. meriwayatkan,
Rasulullah bersabda: تَهَادَو تَحَابُّو
“ Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan
saling mencintai’
وَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّه بَعَالَي
عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللّه صَلَي اللّه عَلَيْهِ وَ سَلَمُ يَقْبَلُ
الهَدِيَّةَ وَ يُثِيْبُ عَلَيْهَا ( رواه البخاري)
“ aisyah ra.
menceritakan, bahwa Rasulullah saw. pernah menerima dan ia membalas hadiah.”[1]
C.
Rukun
Hibah
Hibah dilakukan dengan ijab dan qabul, dengan perkataan
yang menunjukan dengan adanya proses pemberian suatu barang tanpa penukar.
Malik dan Syafi’I mengharuskan adanya qabul dalam hibah.
Sebagian ulama dari mazhab Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup dan ini
adalah yang paling benar, sementara itu, ulama mazhab Hanbali mengatakan bahwa
hibah cukup dilakukan dengan penyerahan dan penerinaan. Nabi saw. biasa memberi
dan diberi hadiah, begitu pla dengan sahabat- sahabat Belaiu. Dan mereka
mensyaratkan ijab dan qabul dan sejenisnya.
D.
Syarat
Hibah
Hibah mengharuskan adanya orang yang berhibah, orang yang
diberi hibah, dan barang yang dihibahkan.
Ø Syarat orang yang memberi hibah
1.
Merupakan
pemilik barang yang dihibahkan
2.
Tidak
dilarang untuk membelanjakan hartanya dengan salah satu sebab pelanggaran.
3.
Memiliki
kebebesan kehendak karena hibah adalah akad dimana keridhaan adalah syarat keabsahannya.
Ø Syarat orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan bener- benar ada
ketika diberikan hibah. Jika dia sama sekali tidak ada, atau baru dianggap ada,
misalnya dia masih berbentuk janin, maka hibah tersebut tidak sah.
Jika seseorang yang diberi hibah telah ada ketika hibah
diberikan tapi masih kecil atau gil, maka hibah diterima oleh walinya, orang
yang diwasiati mengurusnyaatau orang yang merawatnya meskipun ia orang asing.
Ø Syarat barang yang dihibahkan
Berikut ini merupakan barang yang disyaratkan untuk
dihibahkan
a.
Barangnya
benar- benar ada
b.
Merupakan
harta yang memiliki nilai
c.
Bisa
dimiliki
d.
Tidak
menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon,
dan bangunan tanpa tanah
e.
Merupakan
milik pribadi
Ø Hibah orang yang sakaratul maut
Jika seseorang sedang sakit menjelang kematian dan
menghibahkan hartanya kepada orang lain, maka hukum hibahnya adalah sama dengan
hukum wasiat. Jika ia menghibahkan sesuatu kepada salah satu ahli warisnya lalu
ia meninggal dan orang yang diberi hibah mengklaim bahwa ia berhibah dalam
kondisi sakit menjelang kematian hukumnya disesuaikan kondisi tersebut.
Artinya, hibah ini tidak sah kecuali dengan izin ahli warisnya.
Ø Serah terima barang
Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa barang
yang dihibahkan dimiliki secara otomatis oleh orang yang diberi hibah begitu
akad terlaksana. Serah terima barang tersebut sama sekali tidak diisyaratkan
karena seperti halnya jual beli pada pokoknya, akad- akad tetap sah tanpa
diisyaratkan adanya serah terima. Ini pendapat yang dianut oleh Ahmad, Mlik Abu
Tsaur, dan ahli zahir. Berdasarkan pendapat ini, jika orang yang berhibah dan
orang yang diberi hibah meninggal sebelum serah terima, maka hibah tidak batal
karena begitu akad terlaksana, barang yang dihibahkan telah menjadi milik orang
lain yang diberi hibah.
Ø Mengambil kembali hibah
Jumhur ulama mengatakan mengharamkan untuk mengambil
kembali hibah, meskipun hibah terjadi antara saudara atau suami istri. Kecuali
jika seorang bapak berhibah kepada anaknya, maka dia boleh mengambilnya
kembali. Ibnu Abbas dan Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْظِيَ عَطِيَّةً
أَوْ يَهَبَ هِبَةَ فَيَرْجِعَ فِيْهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِي
وَلَدَهُ وَ مَثَلَ الَّذِي يُعْطِي العَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْهَا كَمَثَلِ
الْكَلْبِ يَأْكَلُ فَإِذََا شَبِعَ قَاءَثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ.
“ Tidaklah
halal bagi seorang laki- laki memberikan suatu pemberian atau menghibahkan
suatu hibah lalu mengambilnya kembali, bapak kecuali apa yang diberikannya
kepada anaknya. Dan perumpamaan orang
yang diberikan lalu mengambilnya kembali adalah ibarat anjing yang makan
lalu ketika telah kenyang dan kembali memuntahkannya.
Ø Hadiah dan hibah yang tidak boleh ditolak
1.
Ibnu
Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ثَلاَثُ لاَ تُرَدُّ: الْوَسَائِدُ وْ
الْدُّهْنُ وَالْلَّبَنَ
“ Ada tiga
barang yang tidak boleh ditolak, bantal, minyak wangi dan susu.”
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانُ فَلاَ يَرُدُّهُ
لِأَنَّهُ خَفِيْفُ الْمَحْمِلِ طَيِّبِ الرِّيْحُ
“ Barang siapa yang ditawarkan kepadanya wewenang, maka
janganlah ia menolaknya, karena ia ringan untuk dibawa dan harum baunya.”
Ø Ucapan terima kasih dan do’a bagi orang yang memberi
hadiah
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ إِلَي النَّاسِ, لَمْ
يَشْكُر اِلَي اللّهِ
“ Barang
siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, dia tidak bersyukur kepada
Allah”.
Usamah bin Zaid meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعُرُوْفَ فَقَالَ
لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا, فَقَدْ بَلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“ barang siapa
dilakukan kepadanya suatu kebaikan, lalu ia mengatakan kapada orang yang melakukannya,
semoga Allah membalas dengan kebaikan, maka ia bersungguh- sungguh dalam
berterima kasih.”
Anas meriwayatkan bahwa ketika
Rasulullah saw. tiba di Madinah, orang- orang muhajirin datang kepada beliau
berkata “ Wahai Rasulullah, kami tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
dermawan ketika memiliki banyak harta dan lebih bangus pertolongannyaketika
memiliki sedikit harta dari pada kaum dimana kami tinggal ditempat mereka ini.
Sungguh mereka telah mencukupkan kami dari pekerjaan buah dan menyekutukan
dalam buah. Sampai- sampai kami takut mereka akan pergi denga membawa seluruh
pahala, Beliau bersabda:
لاَ مَنْ دَعَوْهَمْ اللّهُ لَهُمْ وَ
اَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ
“ tidak selama kalian berdo’a kepada Allah untuk mereka dan
berterima kasih kepada mereka”.
Ø Penghibahan milik bersama
Dari bab ini fuqaha berselisih pendapat tentang kebolehan
menghibahkan barang milik bersama yang tidak bisa dibagi.
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa penghibahan seperti ini sah. Sedang Abu Hanifah berpendapat tidak sah.
Fuqaha golongan pertama berpegang penerimaan pada pada
hak milik bersama itu sah sebagaimana penerimaan dalam jual beli, sementara
Imam Abu Hanifah berpegangan bahwa penerimaan pada hibah itu tidak sah kecuali
secara terpisah atau sendiri. Seperti halnya gadai.[2]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hibah adalah akad
yang berisi pemberian sesuatu oleh seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika
dia masih hidup, tanpa penukaran
Hibah yang mutlak
tidak membutuhkan penukar, baik yang semisal dengannya, lebih rendah darinya,
atau lebih tinggi darinya.
Inilah hibah
dengan makna khusus. Adapun hibah dengan makna umum mencakup hal- hal berikut ini:
1.
Ibra’ (
penghapus hutang).
2.
Sedekah.
3.
Hadiah.
Ø Syarat orang yang memberi hibah
1.
Merupakan
pemilik barang yang dihibahkan
2.
Tidak
dilarang untuk membelanjakan hartanya dengan salah satu sebab pelanggaran.
3.
Memiliki
kebebesan kehendak karena hibah adalah akad dimana keridhaan adalah syarat keabsahannya.
Ø Syarat orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan bener- benar ada
ketika diberikan hibah.
Ø Syarat barang yang dihibahkan
Berikut ini merupakan barang yang disyaratkan untuk
dihibahkan
a.
Barangnya
benar- benar ada
b.
Merupakan
harta yang memiliki nilai
c.
Bisa
dimiliki
d.
Tidak
menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon,
dan bangunan tanpa tanah
No comments:
Post a Comment