BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penerapan Pendidikan Kejujuran di Sekolah
Dasar
1.
Pengertian
Penerapan
Secara
etimologi pengertian penerapan berasal dari kata dasar “terap” yang diberi
imbuhan awalan “pe” dan sufiks “an” yang berarti proses, cara, perbuatan menerapkan,
pemasangan, pemanfaatan, perihal mempraktikkan. penerapan berasal dari kata
terap.[7]
Secara
istilah, Moh Uzer Usman dalam bukunya Menjadi Guru Profesional
mendefinisikan kata penerapan sebagai “tingkat kemampuan berfikir yang lebih
tinggi dari pemahaman.”[8] Harjanto juga mengartikan penerapan
(application) “sebagai kemampuan untuk menggunakan bahan-bahan yang telah
dipelajari dalam situasi baru dan nyata,
termasuk di dalamnya kemampuan menerapkan aturan, metode, konsep, prinsip dan
teori.”[9]
Selain itu, penerapan yang biasa diartikan sebagai suatu program atau rencana
yang telah disusun secara sistematis dalam bentuk nyata dilapangan yang
bersifat kongkrit.”[10]
Dari
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan adalah proses,
cara atau perbuatan sebagai kemampuan meningkatkan bahan-bahan yang dipelajari
dengan rencana yang telah disusun secara sistematis, seperti metode, konsep dan
teori.
2.
Pengertian
Pendidikan
Dalam
kajian dan pemikiran tentang pendidikan sebelumnya perlu diketahui dua istilah
yang hampir sama bentuknya dan sering dipergunakan dalam dunia pendidikan,
yaitu paedagogi dan paedagogik yang diambil dari bahasa Yunani. Paedagogi berarti “pendidikan” sedangkan paedagogik
berarti “ilmu pendidikan”.[11]
Paedagogie
berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata “pais” yang artinya anak,
dan “again” yang diterjemahkan menjadi membimbing. Jadi, paedagogie
yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.[12]
Dalam
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[13]
Dalam
buku Pengantar Ilmu Pendidikan yang
ditulis oleh Drs. H. M. Hafi Anshari terdapat banyak pendapat dari beberapa
ahli mengenai arti dan makna dari pendidikan, misalnya menurut:
Dr.
M. J. Lavengeld menyebutkan: pendidikan adalah pemberian bimbingan bantuan
kepada rohani yang masih memerlukan. Belum tentu semua pengaruh dari seseorang
yang telah dewasa kepada orang yang belum dewasa dapat disebut mendidik, sebab
mungkin pengaruhnya itu tidak mengandung unsur-unsur mendidik sama sekali.[14]
Menurut
Prof. Dr. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses
pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan berarti membantu
pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia.[15]
Menurut
John Park pendidikan adalah seni atau proses dalam menyalurkan atau menerima
pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan melalui pengajaran dan studi.[16]
Menurut
Prof. Herman H. Horn pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih
tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas,
dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar,
intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.[17]
Menurut
Syekh Mustafa al Ghulayani:
Pendidikan
adalah menanamkan akhlak yang baik dalam jiwa angkatan/generasi muda dan
memberikan siraman air petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi suatu sifat dalam
jiwa yang kemudian membuahkan sifat utama dan baik serta cinta bekerja untuk
berbakti kepada Tanah Air.[18]
Menurut
Husein al Makhzaji dan Jurij Jarin:
Pendidikan
adalah usaha untuk memberikan bimbingan terhadap persiapan-persiapan hidup dari
anak di dalam kehidupannya. Tidak seorang manusia pun yang tidak melakukan hal
itu kepada anak-anaknya untuk memberikan persiapan-persiapan pada masa
depannya. Namun demikian pendidikan itu dilaksanakan oleh kita semua dan
dilaksanakan di dalam arena lembaga sekolah dan rumah tangga untuk kehidupan
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.[19]
Menurut
Drs. Ahmad D. Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.[20]
Di
dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 disebutkan: pendidikan adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup.[21]
Konsep
Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang dikutip oleh Nurul Zuriah yaitu
bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras
dengan dunianya.[22]
Di
dalam buku Pokok-pokok Pendidikan dan
Pengajaran yang dikemukakan oleh John Milton disebutkan, bahwa pendidikan
yang sempurna adalaha mendidik anak-anak supaya dapat melaksanakan segala
pekerjaan, baik pekerjaan khusus atau umum dengan ketelitian, kejujuran dan
kemahiran.[23]
Pendidikan
juga dikemukakan oleh Drs. Abu Bakar Muhammad, bahwa pendidikan dalam arti umum
yaitu bahwa dalam pembentukan jasmani seseorang, akalnya dan akhlaknya sejak
dilahirkan hingga ia mati. Sedangkan dalam arti yang khusus yaitu bahwa semua
media yang dijadikan/dipergunakan untuk mengembangkan jasmani anak, akalnya,
dan untuk pembinaan akhlaknya, dan hanya meliputi sarana khusus yang
memungkinkan disusun suatu sistem baginya.[24]
Di
antara sekian definisi yang tersebut di atas, sebenarnya tidaklah terdapat
perbedaan yang prinspil hanya terdapat variasi dalam pengungkapannya. Oleh
karena itu, Berdasarkan pendapat para ahli dapat ditarik kesimpulan dengan
definisi yang sederhana yaitu bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
dalam memberikan bimbingan kepada orang lain (anak didik) yang sedang berproses
menuju kedewasaan.
3.
Pengertian
Kejujuran
Secara
etimologi kejujuran berasal dari kata “jujur”. Jujur merupakan kata sifat, yang
mempunyai arti dapat dipercaya, tidak bohong, lurus hati, berkata apa adanya,
tidak curang, tulus, ikhlas.[25]
Di
dalam buku Pendidikan Karakter Perspektif
Islam yang ditulis oleh Abdul Majid dan Dian Andayani menyatakan bahwa
kejujuran didefinisikan sebagai sebuah nilai karena perilaku menguntungkan baik
bagi yang mempraktikkan maupun bagi orang lain yang terkena akibatnya.[26]
Menurut
Fuad Kauma dan Nipan yang dikutip oleh Yunus Namsa di dalam bukunya disebutkan
bahwa jujur berarti mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang ada dan
melakukan sesuatu menurut semestinya. Tidak menambah-nambah dalam mengucapkan
sesuatu dan tidak menguranginya.[27]
Jujur
pada dasarnya adalah kesesuaian informasi dengan realita. Jujur meliputi ucapan
dan perbuatan. Seseorang bisa disebut jujur jika batinnya sesuai dengan
lahirnya. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan apa yang terbesit dalam
hatinya. Kejujuran merupakan bagian dari karakteristik orang-orang yang
beriman. Antonim dari kejujuran adalah kebohongan. bohong merupakan salah satu
karakteristik orang-orang munafiq. [28]sebagaimana
dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah
beliau bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ
ثَلآثٌ اِذَا حَدّثَ كَذَبَ وَاِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ وَاِذَا أْتُمِنَ خَانَ
Sedangkan
menurut Imam Al Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menyatakan bahwa
kejujuran (ash shiddiq: الصِدِّيْق )
adalah benar, yaitu benar dalam perkataan, benar dalam niat dan kehendak, benar
dalam cita-cita, benar dalam menepati cita-cita, benar dalam perbuatan dan
benar dalam perwujudan kedudukan-kedudukan agama semuanya.[29]
Berdasarkan
pendapat para ahli, dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan kejujuran
adalah adanya sebuah perbuatan maupun perkataan sesuai dengan apa adanya, tanpa
dikurang atau ditambah, yang berasal dari hatinya.
4.
Pengertian
Pendidikan Kejujuran
Pendidikan
kejujuran adalah salah satu bagian dari pendidikan karakter. Secara akademik,
pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan keputusan baik atau buruk, dan mewujudkan
kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Kemudian,
pendidikan kejujuran juga merupakan pendidikan anti korupsi yang digagas oleh
Departemen Pendidikan Nasional dengan melalui pembuatan kurikulum berbasis anti
korupsi.
Menurut
Ki Buntrsono dan Yulianingsih yang dikutip oleh Nurul Zuriah menyatakan bahwa
pendidikan seharusnya diarahkan agar tidak hanya mengejar intelektual saja.
Akan tetapi, moral anak didiknya juga harus diperkuat. Jika yang dikejar hanya
intelektualnya maka dinamakan pengejaran, tetapi jika yang dikejar intelektual
dan moralnya maka hal itu bisa dikatakan sebagai pendidikan.[30]
Oleh karena itu, kejujuran yang ingin dan telah ditanamkan dalam jiwa anak
didik dinamakan pendidikan kejujuran bukan pengajaran kejujuran.
Rasulullah
SAW ketika didatangi seseorang yang meminta nasehat, maka beliau berkata
singkat kepadanya, “Jangan berbohong” (HR Muslim). Kalimat singkat tetapi
bernas ini mengandung nilai edukasi yang tinggi, yaitu pendidikan kejujuran.
Mendidik manusia supaya berperilaku jujur merupakan esensi pendidikan,
pendidikan kejujuran adalah keteladanan yang baik dan benar.
5.
Sekolah
Dasar
Dalam
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Sekolah Dasar adalah sekolah tempat memberikan pendidikan sebagai dasar
pengetahuan untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.[31]
Sekolah
Dasar merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun.
Sekolah dasar merupakan bagian dari pendidikan dasar.[32]
Di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun1990 Tentang Pendidikan Dasar disebutkan
bahwa:
Pendidikan
dasar merupakan pendidikan sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan enam
tahun di sekolah dasar dan program pendidikan tiga tahun di sekolah lanjutan
tingkat pertama.[33]
Dengan
demikian, sekolah dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar.
Pada
umumnya anak-anak pada umur enam tahun telah masuk Sekolah Dasar, bila
peraturan sekolah yang dituju mengizinkan. Anak-anak pada umur sekolah (6-12 tahun)
ini, berbeda dengan kanak-kanak dibawah umur enam tahun. Anak-anak pada umur
antara 6-12 tahun, ditandai dengan perkembangan kecerdasan cepat. Kira-kira
umur tujuh tahun pemikiran logis terus bertumbuh dan berkembang dengan cepat
sampai umur 12 tahun, di mana si anak telah mampu memahami hal yang abstrak.
Oleh karena itu, anak-anak pada usia Sekolah Dasar ini telah mampu memahami
pelajaran yang memerlukan pemikiran, dan mereka juga telah memiliki kadar
pengalaman dan pengetahuan yang membantu peletakkan dasar-dasar keagamaan,
akhlak dan kepribadian, sesuai dengan lingkungan keluarga yang mengasuh dan
mendidiknya. Ada yang taat beragama dan ada pula yang kurang acuh terhadap
agama. [34]
Nurul
Zuriah dalam bukunya Pendidikan Moral dan Budi Pekerti menyebutkan bahwa
anak-anak pada periode usia 9-12 tahun ini mereka diberi pengertian tentang
segala tingkah laku yang mengarah pada kebaikan dalam hidupnya sehari-hari.
Meskipun caranya masih occasional atau spontan, namun di kelas yang
tertinggi dapat disediakan waktu tertentu karena mereka tidak cukup dengan
hanya membiasakan apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh pendidiknya.
Tidak cukup juga hanya dengan menginsafi namun mereka juga perlu menyadarinya.[35]
Ada
dua misi utama pembangunan pendidikan jenjang SD. Pertama, misi semesta
(universal education) dengan tujuan agar murid SD dapat memiliki bekal
hidup minimal, termasuk bekal hidup untuk memasuki sektor produktif. Misi
pertama secara relatif telah dicapai, dengan angka partisipasi murni (APM) dan
angka partisipasi kasar (APK) yang cukup tinggi. Kedua, misi adaptif dan
kualitatif agar murid SD dapat mengakses keterlibatan diri secara lebih
intensif dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
serta melanjutkan pendidilan pada jenjang berikutnya. Pengembangan IPTEK
melalui pendidikan di sekolah perlu dilakukan kepada peserta seawal mungkin.[36]
Menurut
Djojonegoro yang dikutip oleh Sudarwan Danim menyatakan bahwa pada jenjang SD,
kurikulum dan metode belajar-mengajar perlu dikembangkan dan diarahkan untuk
menanamkan budaya dan sadar IPTEK sejak dini. Lebih luas lagi, pendidikan IPTEK
pada jenjang pendidikan dasar (Dikdas) mengarah pada pembentukan kemampuan
dasar yang paling tidak bertujuan menanamkan dan mengembangkan kemampuan dasar
untuk belajar (basic learning tools), termasuk kemauan untuk belajar
seumur hidup.[37] Hal ini juga sehubungan
dengan konsep pendidikan islam, untuk menuntut ilmu sepanjang hayat.
B. Pentingnya Penanaman Kejujuran Sejak Dini
1.
Pendidikan
Kejujuran dalam Perspektif Pendidikan Islam
Islam
menghendaki setiap orang muslim sejak kecil memiliki karakter jujur dalam
berbicara dan berbuat. Oleh karena itu, walaupun kejujuran pahit, tetap harus
dilaksanakan, sekalipun merugikan dirinya secara materiil.
Seperti
halnya akhlak, maka dalam menerapkan kejujuran, ada tiga tingkatan yang harus
dilakukan, yaitu: yang pertama, Jujur kepada Allah, yaitu menepati
janji untuk taat terhadap semua perintah Allah dan meninggalkan laranganNya. Allah
akan membalas sesuai di Akhirat kelak dengan apa yang ia lakukan di dunia.
Sebagaimana dalam firman-Nya dalam surah Al-Ahzab ayat 24:
yÌôfuÏj9 ª!$#
tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNÎgÏ%ôÅÁÎ/
z>Éjyèãur úüÉ)Ïÿ»oYßJø9$#
bÎ) uä!$x©
÷rr&
z>qçGt öNÎgøn=tæ
4 ¨bÎ)
©!$#
tb%x. #Yqàÿxî
$VJÏm§
ÇËÍÈ
Kedua, Jujur terhadap sesama
manusia, yaitu menjaga sesuatu yang diterima dan menyampaikannya kepada yang
berhak menerimanya. Kejujuran seperti ini sangat dituntut untuk dapat
diterapkan terutama oleh para penguasa dan Ulama’ dalam membimbing masyarakat.
Ketiga, Jujur kepada diri
sendiri. Allah telah membekali manusia dengan akal untuk membedakan yang hak
dan batil. Pada tataran ini, banyak manusia yang mengkhianati dirinya sendiri
dengan mengambil harta yang bukan miliknya. Prilaku seperti inilah yang membuat
suburnya korupsi di tanah air ini.
Menurut
M. Amin Rais yang dikutip oleh Yunus Namsa dalam bukunya yang menyatakan bahwa
betapa pentingnya kejujuran, seperti kejujuran seseorang dalam melakukan
shalat. Di jelaskan olehnya “sesungguhnya shalat juga mendidik para pelakunya
untuk memiliki kejujuran yang luar biasa. Shalat merupakan hubungan vertikal
yang diwarnai dan dijiwai dengan kejujuran yang luar biasa. Sehingga, satu
kejujuran dalam shalat penting sekali, baik ada orang maupun tidak. Ketika
shalat isya dalam kondisi kantuk berat pun, kita tidak bisa melakukan shalat
dengan mengurangi rakaatnya menjadi dua
atau tiga, tetapi tepat menjalankannya dengan empat rakaat. Demikian juga
shalat-shalat yang lain. Bahkan, misalnya, kita sudah berwudhu, kemudian terasa
buang angin. Kita harus berwudhu kembali sekalipun tidak terdengar, tidak ada
baunya, dan sebagainya. Kejujuran itu harus kita tegakkan. Sekalipun tidak ada
orang lain, sendirian, soal urusan kejujuran vertikal itu tentu tidak bisa kita
gunakan secara main-main. Sehingga, seharusnya orang yang shalat rapi,
kejujurannya juga bagus dan bisa dipertanggungjawabkan. Kalau masalah angin
keluar saja itu tidak bisa kita tidak serius, tentu seorang yang melaksanakan
shalat dengan bagus ketika menghadapi berbagai masalah keduniaan itu juga harus
jujur. Kalau memang uang itu bukan miliknya, melainkan uang negara, rakyat,
maka tidak bisa dikantungi seenaknya.[38]
Para
pendidik harus selalu memegang asas kejujuran sehingga dalam segala ucapan dan
tingkah laku, mereka selalu menekankan kejujuran dan senantiasa memperingatkan
bahwa kejujuran merupakan karakter yang harus dimiliki oleh orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, sebab tujuan pendidikan islam adalah
menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang sepenuhnya taat kepada agama-Nya.[39]
Kejujuran yang telah ditanamkan sejak dini
tentu saja akan berpengaruh pada kehidupan dewasa para siswa tersebut. Oleh
karena itu, pendidikan kejujuran merupakan hal yang paling utama dalam
menumbuhkembangkan kepribadian yang ada di diri anak. Dengan adanya karakter
jujur, maka akhlak mulia yang lain pun akan tumbuh. Karena jujur merupakan akar
dari segala sifat.
2.
Pendidikan
Kejujuran dalam Lingkungan Sekolah
Mengingat
bahwa penanaman sikap dan nilai hidup merupakan proses, maka hal ini dapat
diberikan melalui pendidikan formal yang direncanakan dan dirancang secara
matang. Nilai-nilai apa saja yang akan diperkenalkan, metode dan kegiatan apa
yang dapat digunakan untuk ,menanamkan nilai tersebut. Kemudian harus
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan tugas perkembangan kejiwaan anak.[40]
Nilai-nilai
kejujuran juga semestinya disisipkan pada semua mata pelajaran yang ada seperti
pada mata pelajaran Agama, PPKn, olahraga, dan lainnya. Sehingga kejujuran pada
diri jiwa anak didik lebih meresap karena adanya pembiasaan yang diajarkan oleh
pendidik.
Kejujuran
merupakan prinsip yang tidak boleh dilanggar dalam pelayanan umum. Jika kepada
para siswa ditarik biaya pendidikan dengan janji layanan pembelajaran, itulah
sebagai pegangan. Perlu penghindaran atas perbuatan berbohong, pemutarbalikan
fakta dan kata, atau membuat argumentasi bersebrangan dalam suasana emosional.[41]
Sehubungan
dengan pernyataan di atas yang dikemukakan oleh Sudarwan Danim yaitu mengenai
adanya perihal kejujuran, di mana siswa dijanjikan akan adanya pelayanan
pembelajaran. Maka jangan sampai janji tersebut tidak ditepati. Karena sekali
seseorang dibohongi maka dia selamanya tidak akan percaya lagi dengan seseorang
yang membohongi dirinya tersebut. Sehubungan dengan pendidikan kejujuran yang
telah dikemukakan di atas, hal ini juga saling berkaitan dengan pendidikan anti
korupsi, karena korupsi merupakan hal yang paling fenomenal di abad ini. Tidak
hanya di lembaga-lembaga tinggi pemerintahan, tetapi korupsi juga mengakar
sampai ke lembaga pendidikan.
Dalam
hal pendidikan anti-korupsi disekolah sangat ditentukan oleh kesadaran para
pendidik dan pemimpin sekolah (kepsek). Pemberantasan korupsi tergantung pada
kepemimpinan. Bagaimana kejujuran dalam mengelola anggaran sekolah, kejujuran
dalam megelola anggaran sekolah, kejujuran dalam melihat perkembangans sekolah
termasuk kondisi perkembangan anak didik. Jika masih nayak hambatan dan
kekurangan yang ada pada anak didik kita, kita harus mengevaluasinya dengan
objektif dan jujur, tidak perlu dimanis-maniskan, tetapi dikatakan berdasarkan
kenyataan. Baru yang terpenting adalah bagaimana melakukan evaluasi terhadap
kekurangan-kekurangan itu untuk diambil langkah perbaikan dan perubahan
strategi membawa kemajuan bagi anak didik.[42]
3.
Pendidikan
Kejujuran dalam Lingkungan Keluarga
Keluarga
sebagai salah satu pusat pendidikan harus mampu menjalankan hubungan dengan
lembaga lain, baik persekolahan maupun lembaga sosial lainnya yang dapat
dijadikan sebagai media penyambung pendidikan yang telah diterima anak di
lingkungan keluarga. Sekolah dan keluarga berhubungan secara fungsional dalam
proses pendidikan. Oleh karena itu, apa yang belum bisa diberikan di keluarga
diberikan di sekolah.[43]
Pendidikan
dan ilmu adalah tanggung jawab besar yang dipikul oleh kedua orang-tua, sedang
pendidikan kemasyarakatan adalah taggung jawab umum yang dipikul oleh lembaga
pendidikan, seperti sekolah dan universitas. Tapi tidak berarti orang-tua dapat
meninggalkan tanggung jawabnya secara mutlak. Tanggung jawab itu ada pada
mereka berdua sejak awal hingga akhir.[44]
Fungsi
keluarga muslim dalam pendidikan terutama sekali dalam aspek pembinaan
kepribadian dan penanaman nilai-nilai yang positif dan sesuai dengan ajaran
islam, juga dalam memberikan pengarahan dan motivasi ke arah apa yang
dicita-citakan islam.[45]
Pembinaan
keimanan yang tangguh seharusnya dimulai dalam keluarga, sejak si anak lahir
bahkan sebelum lahir (prenatal) sampai akhir masa remaja. Dari luar si anak
akan menghadapi pengaruh yang dibawa oleh alat-alat komunikasi, baik media
elektronik maupun media cetak, dan hubungan langsung yang dibawa oleh tamu-tamu
mancanegara yang mempunyai kebudayaan dan cara hidup yang tidak sejalan dengan
budaya islam bahkan mungkin bertentangan ajaran islam itu sendiri.[46]
Oleh karena itu, keluarga merupakan faktor utama dalam mendidik anak dan
membentuk kepribadiannya.
C. Kantin Kejujuran
1.
Pengertian
Kantin Kejujuran
Kalau
dilihat dari dua buah kalimat di atas, yakni kantin dan kejujuran, sudah pasti
terlintas di benak kita bahwa yang namanya kantin adalah ruang tempat menjual
minuman dan makanan di sekolah, di kantor, di asrama dan sebagainya.[47]
Sedangkan kejujuran merupakan sifat jujurnya seseorang. Sehingga jika digabung
dua kalimat tersebut menjadi kantin kejujuran.
Kantin
kejujuran merupakan salah satu media pendidikan karakter dan atau pendidikan
akhlak di sekolah. Kantin kejujuran adalah sebuah kantin yang tidak ada penjaga
. setiap siswa yang ingin membeli suatu produk, mereka bisa mengambil barang
yang ada secara langsung dan bisa membayar di tempat yang telah disediakan.
Apabila memerlukan kembalian, mereka dipersilakan mencari sendiri di kotak uang
yang telah tersedia.[48]
2.
Faktor
Penghambat Kantin Kejujuran
Adapun
faktor-faktor penghambat dari pelaksanaan program kantin kejujuran yaitu:
a. Adanya
pembeli yang melakukan kecurangan dalam kantin kejujuran.
b. Mengalami
kesulitan dalam mencari sponsor pada awal berdirinya kantin kejujuran.
c. Dalam
pengelolaan kantin kejujuran, pengelola sebagai guru harus mengajar di kelas.
d. Evaluasi
dalam menganalisis laporan keuangan.
3.
Upaya
Mengatasi Hambatan Kantin Kejujuran
Dalam
mengatasi hambatan-hambatan dari pelaksanaan program kantin kejujuran, yaitu
dengan cara menanamkan sifat jujur dalam diri anak, baik dari guru agama, guru
setiap mata pelajaran maupun wali kelasnya.
Kemudian,
para guru yang terkait dalam mengelola kantin kejujuran tersebut haruslah
bekerja sama dalam mengelola laporan keuangan sesuai jabatan dan tugasnya
masig-masing, sehingga tidak adanya sifat saling menyalahkan sesama para
pengelola kantin kejujuran.
D. Kejujuran Dalam Etika Bisnis Islam
Di
antara nilai transaksi yang paling penting adalah kejujuran. Ia merupakan
puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang
beriman. Bahkan kejujuran merupakan karakteristik para Nabi. Tanpa kejujuran
kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan
berjalan baik. Kejujuran merupakan faktor penyebab keberkahan bagi pedagang dan
pembeli.[49] Sebagaimana dalam hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh Muttafaq alaih dari Hakim bin Hizam:
الْبَيِّعَانِ
بِالْخْيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا, فَأِنْ صَدَقَ الْبَيِّعَانِ وَبَيَّنَا,
بُوْرِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا, وَ اِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا, فَعَسَى أَنْ
يَرْبَحَا رِبْحًا, وَيَمْحَقَا بَرَكَةَ بَيْعِهِمَا.
[7]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 1180
[8]
Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Profesioanl, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), h. 35
[9]
Harjanto, perencanaan pengajaran, (Jakarta: rineka cipta, 2005), h. 60
[10]
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, Kurikulum GBPP Sejarah Kebudayaan Islam,
(Semarang: CV Wicaksana, 1997), h. 4
[11]
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,2003, Cet.
Ketiga), h. 1
[12]
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001,
cet. Kedua), h. 69
[13]
Ahmad A. K. Muda, Op. Cit., h. 184
[14]
Hafi Anshari, Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1993) h.24-25
[15]
Ibid., h.26
[16]
Ibid., h.27
[17]
Ibid., h.27
[18]
Ibid., h.27-28
[19]
Ibid., h.28
[20]
Ibid., h.28
[21]
Ibid., h.28-29
[22]
Nurul Zuriah, Op. Cit., h. 122
[23]
Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan
Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1961), h. 5
[24]
Abu Bakar Muhammad, Pedoman Pendidikan
Dan Pengajaran, (Surabaya: Usaha Nasional,1981), h. 5
[25]
Ahmad A. k. Muda, Op. Cit., h. 284
[26]
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011) h. 42
[27]
Yunus Namsa, Metodologi Pengajaran Agama
Islam, (Ternate: Pustaka Firdaus, 2000), h. 53
[28]
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Ibnu Ruhi, dkk., Syarah
Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Darus Sunnah, 2009), h. 258-259
[29]
Imam Al Ghazali, Terjemah Ihya Ulumiddin Jilid IX, (yang Diterjemahkan
oleh Moh. Zuhri Dkk., Semarang: Asy Syifa, 1994), h. 95
[30]
Nurul Zuriah, Op. Cit., h. 123
[31]
Ahmad A. K. Muda, Op. Cit., h. 480
[32]
Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan
Sekolah Dasar, dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi,(Jakarta:Bumi
Aksara, 2009, cet. Ketiga), h. 3
[33]
Presiden RI Soeharto, UU Sistem Pendidikan Nasional, (UU RI No. 2 Th. 1989
Dan Peraturan Pelaksanaannya Dilengkapi Dengan Peraturan Perundangan Yang
Dikeluarkan Sampai Dengan 1994, (Jakarta: Sinar Grafik, 1995), h. 64
[34]Zakiah
Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga
dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama,1995), h. 79-81
[35]
Nurul Zuriah, Op. Cit., h. 128
[36]
Sudarwan Danim, Op. Cit., h. 88
[37]
Ibid, h. 88-89
[38]
Yunus Namsa, Op. Cit. h. 54-55
[39]
Muhammad Thalib, Seni dan Sikap Islami
Mendidik Anak, (Bandung: Irsyad Baitus Salam,2001), h. 75-76
[40]
Nurul Zuriah, Op. Cit., h. 38
[41]
Sudarwan Danim, Op. Cit.,h. 161-162
[42]
Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, (Neo)Liberal,
Marxis-Sosialis,Post Modern, (Jakarta: Arruz Media, 2010), h. 136
[43]
Kamrani Buseri, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha
Yogyakarta, 1990), h. 5
[44]
Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, Panduan Lengkapbagi Orang-Tua, Guru
dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam,
(Jakarta: Lentera Basritama, 1999), h. 219
[45]
Kamrani Buseri, Op. Cit., h.5
[46]
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000, Cet. Ketiga), h. 100-101
[47]
LH Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka Agung
Harapan, TP), h. 263
[48]
Yuliansyah, Banjarmasin Post, Mimbar Opini, (Sabtu, 06 Oktober 2012), h.
26
[49]
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam, (Jakarta:
Robbani Press, 2001), h. 293
No comments:
Post a Comment