Tuesday, 23 June 2015

makalah anak dan hukum kedudukannya


BAB I
PENDAHULUAN
Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Menurut Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.[1]
Dalam kenyataan kehidupan ini ternyata banyak permasalahan anak yang menyangkut statusnya. Seperti ada anak kandung, anak pungut, anak adopsi, anak tiri dan anak susu, dalam hal ini tentu hukum islam tidak akan membiarkan permasalahan ini dibiarkan saja, karena status anak nantinya kan berhubungan dengan wali nikah, hak waris dan mahram. Oleh karena dalam kesempatan ini, makalah kami akan membahas pemasalahan anak dalam Islam dan juga kami akan membahas tentang menikahi wanita yang hamil. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan pada bab yang berikutnya.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Anak
Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.
Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya.[2]
Kemudian kita juga ketahui bahwa ada juga anak angkat (adopsi), anak pungut, anak tiri dan anak susu, mereka inilah yang kita sebut selain anak kandung. Di mana anak ini merupakan anak yang bukan berasal dari darah daging orang tuanya, namun mereka berstatus anak karena di pelihara, orang tuanya menikah lagi yang nantinya di sebut anak tiri dan di susui oleh orang lain yang nantinya di sebut anak susu.
B.     Macam- Macam Anak dan Hukum Kedudukannya
Di dalam masyarakat kita, sebutan anak tidak hanya untuk anak kandung, namun ada juga untuk anak selain anak kandung. Oleh karena itu, banyak macam-macam anak sebagaimana di sebutkan di atas, kemudian bagaimana permasalahan anak ini menurut Islam dan bagaimana status dan kedudukan hukum anak tersebut dalam muamalah dengan sesama manusia menurut Islam.
1.      Anak adopsi (anak angkat)
Anak adopsi mempunyai dua pengertian:
a.       Anak adopsi yang dibatalkan/dilarang oleh syariat Islam, yaitu seseorang memungut anak kecil untuknya, dan ia tahu bahwa dia adalah anak orang lain, tetapi diakui sebagai anaknya dan keluarganya. Lalu berlaku baginya semua hukum sebagai anak kandung dan semua akibatnya, seperti boleh berkumpul dengan anggota keluarga, haram nikah, dan berhak mendapat warisan.
b.      Memungut anak yatim atau anak temuan, dan dijadikan seperti anak sendiri dalam kasih sayang, perhatian, pendidikan dan dianggapnya seperti  anak kandung sendiri. Tetapi, ia tidak memasukkan dalam anggota keluarga, dan tidak berlaku baginya hukum-hukum anak sendiri seperti yang disebutkan di atas. Cara demikian itu sangat dipuji dalam agama Allah, orang yang melakukannya berhak mendapat pahala di surga. Nabi saw. telah bersabda,
 أَنَا وَ كَافِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا – وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَ الْوُسْطَي وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا
Artinya: “Saya dan pemelihara anak yatim itu di surga seperti ini (beliau menunjukan jari telunjuk dan jari tengah beliau dan merenggangkannya, maksudnya dekat sekali di surga nanti).” (HR. Hukhari, Abu Daud, dan Tarmidzi)
            Jika orang yang memungut anak itu tidak punya anak dan ingin memberikan sebagian hartanya, maka ia boleh memberikan berapa saja ketika ia masih hidup. Dan, mewasiat tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya sebelum dia meninggal.[3]
            Anak angkat tidak termasuk mahram (yang haram dinikahi), walaupun anak tersebut sudah dirawat sejak lahir dan diperlakukan seperti anak sendiri. Artinya, seseorang boleh menikah dengan anak angkatnya walaupun diurus sejak kecil, diperlakukan anak sendiri, kecuali kalau:
a.       Anak angkat tersebut ada hubungan nasab dengan bapak/ibu angkatnya, yang dapat mengharamkan nikahsebagaimana tercantum dalam surah an-Nisa:23
b.      Anak angkat tersebut sempat disusui oleh ibu angkatnya dengan memenuhi ketentuan aturan persusuan. [4]
2.      Anak Pungut (Laqiith)
Laqiith ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan bundanya. Biasanya laqiith adalah anak yang dibuang oleh orang tuanya.
Sedangkan ditinjau dari syari’at Islam laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz yang tidak diketahui nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau menghindari tuduhan jelek, atau karena alasan lainnya.
Hukum memungut laqiith menurut mayoritas fuqaha’ Maliki, asy-Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa memungut anak seperti ini hukumnya fardhu kifayah. Kecuali jika dikhawatirkan si anak akan meninggal maka hukumnya berubah nenjadi fardhu ‘ain.
Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah (1384) berkata, “Apabila ditemukan seorang anak yang terbuang maka bagi yang hadir di tempat tersebut wajib untuk merawatnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS. A1-Maaidah :2)
Tidak ada dosa yang terbesar selain dosa menelantarkan anak tak berdosa yang lahir dalam agama Islam hingga akhirnya ia meninggal dunia karena lapar, atau kedinginan, atau karena dimakan anjing. Tidak diragukan lagi bahwa dosa pelakunya sama seperti dosa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang yang tidak menyayangi manusia, pasti tidak akan disayangi.”[5]
3.      Anak Susuan
Para Ulama berbeda pendapat tentang pengertian ar-Radha (penyusuan). Menurut Hanafiyah ar-radha adalah seorang bayi yang menghisap putting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar-Radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As-Syafi’iyah mengatakan ar-Radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut bayi. Al-Hanabilah mengatakan ar-Radha’ seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap putting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya. (Ibnu Nujaim, al-Bahru  ar-Raiq: 3/221, Ibnu Arafah, syarhu Hudud: 1/316, al-Muthi’i, Takmilah al-majmu’: 19/309, al-Bahuti, Syarhu Muntaha al-Iradat: 4/1424).
Para Ulama berbeda pendapat tentang batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah bika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Alllah swt:
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
            Madzhab Syafi’I dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati lima kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra. bahwasanya beliau berkata:
“Dahulu dalam al-Qur’an, susuan yang menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw. wafat, dan ayat-ayat al-Qur’an masih tetap dibaca seperti itu. (HR. Muslim)
            Seorang bayi menyusu dan dianggap sebagai satu susuan jika dia menyusui, setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja. (Sidiq Hassan Khan, Raudhatu an Nadiyah, 2/174)
            Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:
            Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung ataupun dengan cara yang lain.
            Adapun Madzhab Dhahiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt:
“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23)[6]
4.       Anak Tiri
Yang termasuk anak tiri adalah anak orang lain, seperti seorang suami yang menikahi seorang janda yang sudah beranak. Anak dari janda yang kini telah menjadi isterinya itu jelas bukan anak si suami.
Maka kalau suami itu meninggal dunia, meski orang menyebut anak janda itu seolah sebagai anaknya, namum secara hukum syariah, biar bagaimana pun anak itu tetap bukan anaknya. Anak itu adalah anak dari suami janda itu sebelumnya. Maka kalau suami janda itu yang sebelumnya meninggal dunia, anak itu akan mendapat warisan dari dirinya.
Sedangkan laki-laki yang kini menjadi suami janda itu, jelas bukan ayah dari anak-anak itu, maka anak-anak itu tidak akan mendapat warisan dari dirinya.  Anak tiri dan orang tua tiri berstatus menjadi mahram .Dalam arti kata, masing-masing haram menikah satu sama lain. Hal ini dijelaskan dalam surat An Nisa’ ayat 22
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ  
Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.(Q.S. An-Nisa:22)[7]
5.      Menikahi Wanita Hamil
Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh.
a)      Yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang. Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benar dirinya sebagai laki-laki yang menghamilinya,bukan orang lain.
b)      Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad. Pendapat ini didukung kuat dengan firman Allah Ta’ala,
  الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nur: 3)
Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi dirinya jika memenuhi dua syarat:
a)      Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’aa
b)      Istibro’ (membuktikan kosongnya rahim).
Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Dalil yang mengharuskan adanya istibro’ adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.
Ringkasnya, menikahi wanita yang telah dizinai jika wanita tersebut betul-betul telah bertaubat pada Allah dan telah melakukan istibro’ (membuktikan kosongnya rahim dari mani hasil zina), maka ketika dua syarat ini terpenuhi boleh menikahi dirinya dengan tujuan apa pun. Jika tidak terpenuhi dua syarat ini, maka tidak boleh menikahinya walaupun  dengan maksud untuk menutupi aibnya di masyarakat. Demikian Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah-.
Konsekuensi dari menikahi wanita hamil adalah nikahnya tidak sah, baik yang menikahinya adalah laki-laki yang menzinainya atau laki-laki lainnya. Inilah pendapat terkuat sebagaimana yang dipilih oleh para ulama Hambali dan Malikiyah karena didukung oleh dalil yang begitu gamblang. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra’ dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Adapun masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.
Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnyadipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya.
Sedangkan yang lain berpendapat bahwa anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.” (HR. Abu Daud)
Firasy adalah ranjang dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.
Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa anak dari hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya, alias dia adalah anak tanpa bapak. Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Jika wanita yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah seperti robib(anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri. 



Ringkasnya, anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi suaminya), konsekuensinya:
1.      Anak itu tidak berbapak.
2.      Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
3.      Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan laki-laki tadi, namun walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.[8]














BAB III
PENUTUP
Simpulan
Anak adalah keturunan secara biologis (darah daging) dari orang tuanya atau bukan keturunan secara bilogis namun karena ada faktor lain menyebabkan adanya hubungan anak dengan orang tua.
Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak angkat itu diambil dari intern kerabat sendiri, seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun diambil diluar lingkungan kerabat. Begitu juga anak pungut tidak boleh disamakan statusnya dengan anak kandung, dalam segala hal, seperti perwalian, warisan dan kewajiban-kewajiban lainnya. Bahkan Islam membenarkan seseorang kawin dengan anak angkatnya. Begitu juga anak kandung dengan anak angkatnya itu. Sedangkan anak susuan boleh jadi mahram (tidak batal air sembahyang).
Sedangkan menikahi wanita hamil nikahnya tidak sah kecuali dengan syarat yang berzina telah bertaubat dengan sesungguhnya kepada Allah swt. dan melakukan istibro’ (membuktikan kosongnya rahim).







DAFTAR PUSTAKA

Faridl, Miftah “150 Masalah Nikah & Keluarga” 1999, Gema Insani, Jakarta
Al-Qardhawi, Yusuf “Halal Haram dalam Islam” AKBAR, Jakarta; 2004
http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/419-hukum-bank-asi.html







[2] . Yusuf Al-Qardhawi “Halal Haram dalam Islam” AKBAR, Jakarta; 2004. H. 282
[3] . Yusuf al-Qardhawi. H. 288-289
[4] . Miftah Faridl “150 Masalah Nikah & Keluarga” 1999, Gema Insani, Jakarta. H. 33-34
[6] . http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/419-hukum-bank-asi.html
[7] . http://miazart.blogspot.com/2011/02/permasalahan-anak-dalam-islam.html

No comments:

Post a Comment