BAB I
PENDAHULUAN
Anak adalah makhluk sosial seperti
juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu
mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga
tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang
normal. Menurut Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai
pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala
keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak merupakan
mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi
perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga
memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk
perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.[1]
Dalam
kenyataan kehidupan ini ternyata banyak permasalahan anak yang menyangkut
statusnya. Seperti ada anak kandung, anak pungut, anak adopsi, anak tiri dan
anak susu, dalam hal ini tentu hukum islam tidak akan membiarkan permasalahan ini
dibiarkan saja, karena status anak nantinya kan berhubungan dengan wali nikah,
hak waris dan mahram. Oleh karena dalam kesempatan ini, makalah kami akan
membahas pemasalahan anak dalam Islam dan juga kami akan
membahas tentang menikahi wanita yang hamil. Untuk lebih jelasnya akan kami
uraikan pada bab yang berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Anak
Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang
masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari
lingkungan.
Anak adalah rahasia orang tua dan
pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang,
dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang
keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga
ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan
jantungnya dan potongan dari hatinya.[2]
Kemudian
kita juga ketahui bahwa ada juga anak angkat (adopsi), anak pungut, anak tiri
dan anak susu, mereka inilah yang kita sebut selain anak kandung. Di mana anak
ini merupakan anak yang bukan berasal dari darah daging orang tuanya, namun
mereka berstatus anak karena di pelihara, orang tuanya menikah lagi yang
nantinya di sebut anak tiri dan di susui oleh orang lain yang nantinya di sebut
anak susu.
B.
Macam- Macam
Anak dan Hukum Kedudukannya
Di dalam masyarakat kita, sebutan
anak tidak hanya untuk anak kandung, namun ada juga untuk anak selain anak
kandung. Oleh karena itu, banyak macam-macam anak sebagaimana di sebutkan di
atas, kemudian bagaimana permasalahan anak ini menurut Islam dan bagaimana
status dan kedudukan hukum anak tersebut dalam muamalah dengan sesama manusia
menurut Islam.
1.
Anak adopsi
(anak angkat)
Anak adopsi mempunyai dua
pengertian:
a.
Anak adopsi
yang dibatalkan/dilarang oleh syariat Islam, yaitu seseorang memungut anak
kecil untuknya, dan ia tahu bahwa dia adalah anak orang lain, tetapi diakui sebagai
anaknya dan keluarganya. Lalu berlaku baginya semua hukum sebagai anak kandung
dan semua akibatnya, seperti boleh berkumpul dengan anggota keluarga, haram
nikah, dan berhak mendapat warisan.
b.
Memungut anak
yatim atau anak temuan, dan dijadikan seperti anak sendiri dalam kasih sayang,
perhatian, pendidikan dan dianggapnya seperti
anak kandung sendiri. Tetapi, ia tidak memasukkan dalam anggota
keluarga, dan tidak berlaku baginya hukum-hukum anak sendiri seperti yang
disebutkan di atas. Cara demikian itu sangat dipuji dalam agama Allah, orang
yang melakukannya berhak mendapat pahala di surga. Nabi saw. telah bersabda,
أَنَا وَ كَافِلُ
الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا – وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَ الْوُسْطَي وَ
فَرَّجَ بَيْنَهُمَا
Artinya: “Saya dan pemelihara anak yatim itu di surga
seperti ini (beliau menunjukan jari telunjuk dan jari tengah beliau dan
merenggangkannya, maksudnya dekat sekali di surga nanti).” (HR. Hukhari, Abu
Daud, dan Tarmidzi)
Jika
orang yang memungut anak itu tidak punya anak dan ingin memberikan sebagian
hartanya, maka ia boleh memberikan berapa saja ketika ia masih hidup. Dan,
mewasiat tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya sebelum dia meninggal.[3]
Anak
angkat tidak termasuk mahram (yang haram dinikahi), walaupun anak tersebut
sudah dirawat sejak lahir dan diperlakukan seperti anak sendiri. Artinya,
seseorang boleh menikah dengan anak angkatnya walaupun diurus sejak kecil,
diperlakukan anak sendiri, kecuali kalau:
a.
Anak
angkat tersebut ada hubungan nasab dengan bapak/ibu angkatnya, yang dapat
mengharamkan nikahsebagaimana tercantum dalam surah an-Nisa:23
b.
Anak
angkat tersebut sempat disusui oleh ibu angkatnya dengan memenuhi ketentuan
aturan persusuan. [4]
2.
Anak Pungut (Laqiith)
Laqiith ditinjau dari sisi bahasa artinya anak
yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan bundanya. Biasanya
laqiith adalah anak yang dibuang oleh orang tuanya.
Sedangkan ditinjau dari syari’at Islam laqiith
adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz yang tidak diketahui
nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh keluarganya karena takut
miskin atau menghindari tuduhan jelek, atau karena alasan lainnya.
Hukum memungut laqiith menurut mayoritas fuqaha’ Maliki, asy-Syafi’i dan Hambali berpendapat
bahwa memungut anak seperti ini hukumnya fardhu kifayah. Kecuali jika
dikhawatirkan si anak akan meninggal maka hukumnya berubah nenjadi fardhu ‘ain.
Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah (1384)
berkata, “Apabila ditemukan seorang anak yang terbuang maka bagi yang hadir di
tempat tersebut wajib untuk merawatnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran…” (QS. A1-Maaidah :2)
Tidak ada dosa yang terbesar selain dosa
menelantarkan anak tak berdosa yang lahir dalam agama Islam hingga akhirnya ia
meninggal dunia karena lapar, atau kedinginan, atau karena dimakan anjing.
Tidak diragukan lagi bahwa dosa pelakunya sama seperti dosa pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang yang tidak menyayangi manusia, pasti
tidak akan disayangi.”[5]
3. Anak Susuan
Para Ulama berbeda pendapat tentang pengertian ar-Radha (penyusuan).
Menurut Hanafiyah ar-radha adalah seorang bayi yang menghisap putting payudara
seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa
ar-Radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai
gizi. As-Syafi’iyah mengatakan ar-Radha’ adalah sampainya susu seorang
perempuan ke dalam perut bayi. Al-Hanabilah mengatakan ar-Radha’ seorang bayi
di bawah dua tahun yang menghisap putting payudara perempuan yang muncul akibat
kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya. (Ibnu Nujaim,
al-Bahru ar-Raiq: 3/221, Ibnu Arafah,
syarhu Hudud: 1/316, al-Muthi’i, Takmilah al-majmu’: 19/309, al-Bahuti, Syarhu
Muntaha al-Iradat: 4/1424).
Para Ulama berbeda pendapat tentang batasan umur ketika orang
menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa
batasannya adalah bika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah
firman Alllah swt:
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. (
ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4
Artinya: “Para ibu hendaklah
menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Madzhab Syafi’I dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang
mengharamkan adalah jika telah melewati lima kali susuan secara terpisah. Hal
ini berdasarkan hadits Aisyah ra. bahwasanya beliau berkata:
“Dahulu dalam al-Qur’an, susuan
yang menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu
dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw. wafat,
dan ayat-ayat al-Qur’an masih tetap dibaca seperti itu. (HR. Muslim)
Seorang bayi menyusu
dan dianggap sebagai satu susuan jika dia menyusui, setelah kenyang dia melepas
susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua
jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu.
Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka
hal itu dihitung satu kali susuan saja. (Sidiq Hassan Khan, Raudhatu an
Nadiyah, 2/174)
Para ulama berbeda pendapat tentang
tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:
Mayoritas ulama mengatakan bahwa
yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga
membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari
perempuan langsung ataupun dengan cara yang lain.
Adapun Madzhab Dhahiriyah mengatakan
bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap
puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap
susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari
kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt:
“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23)[6]
“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23)[6]
4. Anak Tiri
Yang termasuk anak tiri adalah anak
orang lain, seperti seorang suami yang menikahi seorang janda yang sudah
beranak. Anak dari janda yang kini telah menjadi isterinya itu jelas bukan anak
si suami.
Maka kalau suami itu meninggal dunia, meski orang menyebut anak janda itu
seolah sebagai anaknya, namum secara hukum syariah, biar bagaimana pun anak itu
tetap bukan anaknya. Anak itu adalah anak dari suami janda itu sebelumnya. Maka
kalau suami janda itu yang sebelumnya meninggal dunia, anak itu akan mendapat
warisan dari dirinya.
Sedangkan laki-laki yang kini menjadi suami janda itu, jelas bukan ayah
dari anak-anak itu, maka anak-anak itu tidak akan mendapat warisan dari dirinya. Anak
tiri dan orang tua tiri berstatus menjadi mahram .Dalam arti kata,
masing-masing haram menikah satu sama lain. Hal ini dijelaskan dalam surat An
Nisa’ ayat 22
wur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä ÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 4
¼çm¯RÎ) tb$2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.(Q.S.
An-Nisa:22)[7]
5. Menikahi Wanita Hamil
Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada
dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh.
a) Yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan
zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang. Maka seorang
laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan
yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benar dirinya sebagai laki-laki
yang menghamilinya,bukan orang lain.
b) Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang
menghamili. Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad. Pendapat ini
didukung kuat dengan firman Allah Ta’ala,
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nur: 3)
Jika seseorang mengetahui bahwa
wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi
dirinya jika memenuhi dua syarat:
a)
Yang berzina tersebut bertaubat
dengan sesungguhnya pada Allah Ta’aa
b)
Istibro’ (membuktikan kosongnya
rahim).
Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru
boleh dinikahi. Dalil yang mengharuskan adanya istibro’ adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ
حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan
wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu
kali haidh.”
Ringkasnya, menikahi wanita yang telah dizinai jika wanita
tersebut betul-betul telah bertaubat pada Allah dan telah melakukan istibro’
(membuktikan kosongnya rahim dari mani hasil zina), maka ketika dua syarat ini
terpenuhi boleh menikahi dirinya dengan tujuan apa pun. Jika tidak terpenuhi
dua syarat ini, maka tidak boleh menikahinya walaupun dengan maksud untuk
menutupi aibnya di masyarakat. Demikian Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah-.
Konsekuensi dari menikahi
wanita hamil adalah nikahnya tidak sah, baik yang menikahinya adalah laki-laki
yang menzinainya atau laki-laki lainnya. Inilah pendapat terkuat sebagaimana
yang dipilih oleh para ulama Hambali dan Malikiyah karena didukung oleh dalil
yang begitu gamblang. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah
berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan
itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu
adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan
hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus
diulangi, bila telah selesai istibra’ dengan satu kali haidh dari hubungan
badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Adapun masalah status anak,
menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si
anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar
tersendiri.
Namun jika si jabang bayi lahir
sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnyadipandang perlu untuk
melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar
dari darah dagingnya.
Sedangkan yang lain berpendapat bahwa anak hasil zina
dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan
laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.” (HR. Abu Daud)
Firasy adalah ranjang dan di sini maksudnya adalah si
istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli
tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan
menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak
itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami
maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan
dan penyesalan saja.
Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa anak dari hasil zina
tidak dinasabkan kepada bapaknya, alias dia adalah anak tanpa
bapak. Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Jika wanita
yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap
dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah
seperti robib(anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum
anak tiri.
Ringkasnya, anak hasil zina itu
tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi
suaminya), konsekuensinya:
1. Anak itu tidak berbapak.
2. Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
3. Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya
bukan laki-laki tadi, namun walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak
memiliki wali.[8]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Anak adalah keturunan secara
biologis (darah daging) dari orang tuanya atau bukan keturunan secara bilogis
namun karena ada faktor lain menyebabkan adanya hubungan anak dengan orang tua.
Hubungan anak angkat dengan orang
tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak
mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak angkat itu diambil dari intern
kerabat sendiri, seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai
anak angkatnya, maupun diambil diluar lingkungan kerabat. Begitu juga anak
pungut tidak boleh disamakan statusnya dengan anak kandung, dalam segala hal, seperti
perwalian, warisan dan kewajiban-kewajiban lainnya. Bahkan Islam membenarkan
seseorang kawin dengan anak angkatnya. Begitu juga anak kandung dengan anak
angkatnya itu. Sedangkan anak susuan boleh jadi mahram (tidak batal air
sembahyang).
Sedangkan menikahi wanita hamil
nikahnya tidak sah kecuali dengan syarat yang berzina telah bertaubat dengan
sesungguhnya kepada Allah swt. dan melakukan istibro’ (membuktikan kosongnya
rahim).
DAFTAR PUSTAKA
Faridl, Miftah “150 Masalah Nikah
& Keluarga” 1999, Gema Insani, Jakarta
Al-Qardhawi, Yusuf “Halal Haram
dalam Islam” AKBAR, Jakarta; 2004
http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/419-hukum-bank-asi.html
No comments:
Post a Comment