Thursday, 25 June 2015

masalah hukum khitan bagi laki-laki dan perempuan


A.                                          Khitan Bagi Laki-Laki Dan Perempuan
Di dalam kamus bahasa Arab terkenal 'Lisan al-'Arab' (materi: Khatana) dinyatakan, kata Khitan berasal dari kata kerja Khatana al-ghulama wa al-jariyata, yakhtinuhuma, khitnan. Bentuk Ism (Kata benda)-nya adalah Khitan dan Khitanah. Seorang yang dikhitan (disunat) disebut makhtun. Ada yang mengatakan, al-khatnu untuk laki-laki sedangkan untuk wanita disebut al-khafdhu. Sedangkan kata khatiin artinya orang yang dikhitan, baik laki-laki mau pun wanita. Khitan merupakan sunah bagi laki-laki kerena memuliakan wanita. Imam safi’i berpendapat “sesungguhnya khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan”. Ulama-ulama madzhab Maliki dan madzhab Hanafi mengatakan “khitan itu sunah bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan pengetian memuliakan adalah bukanlah wajib dan bukan pula sunah, tetapi sebagai anjuran. Dan diantara hikmahnya ialah tidak ada siksaan sebab meninggalkannya.[1]
Lelaki pertama yang melakukan khitan ialah junjungan kita nabi Ibrahim as. Wanita pertama yang melakukan khitan adalah Siti Hajar, untuk laki-laki menggunakan istilah khitan sedangkan untuk  perempuan menggunakan istilah “khifadh”, terkadang istilah khitan digunakan untuk keduanya.[2]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Sunnah-sunnah fitrah itu ada lima ; khitan, mencukur bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”[Muttafaq Alaih]Hadits ini umum, mencakup lelaki dan perempuan.[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta' 5/119,120]
Diantara cara berkhitan adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya dari hadits Ummu Athiah Al-Anshoriah, seorang wanita mengkhitan di Madinah, maka nabi saw bersabda kepada wanita itu : ”Janganlah engkau berlebihan dalam memotong, kerena sesngguhnya apa yang demikian itu lebih terhormat bagi wanita, dan lebih disukai oleh suami.”
Dan dari Anas r.a bahwa nabi saw bersabda kepada Ummu Athiah : “Jika engkau mengkhitan wanita, ambillah bagian kecil dari yang engkau potong dan jangan berlebih-lebihan dalam memotongnya, karena sesungguhnya yang demikian itu lebih memuliakan wanita dan lebih terhormat bagi suami.
Yang dimaksud dengan sabda beliauu ”Janganlah engkau berlebihan dalam memotong..” adalah jangan sampai mengurangi syahwat wanita pada batas yang wajar, karena sesunguhnya jika khitan itu menyebabkan berkurangnya syahwat maka hal itu akan mengurangi cinta suami, dan seperti diketahui  bahwa cinta suami adalah tali yang mengikatnya untuk tidak berbuat zina.[3]
Mengkhitan wanita ialah dengan cara memotong sebagian kulit (labia monira) yang terdapat padda bagian atas farji, bentuknya seperti jengger ayam atau biji korma.
Bayak ulama dan fuqaha seperti imam Syafi’I yang mewajibkan khitan bagi laki-laki dan perempuan.hanya menurut imam Malik bagi wanita khitan adalah mandub saja.
Selanjutnya mengenai waktu khitanpun terjadi perbedaan pendapat. Ibnu Habib meriwayatkan dari Malik, bahwa khitan itu dilaksanakan pada umur 7-10 tahun, dan makruh dilakukan pada hari kelahiran.kemudian kalau orang itu telah dewasa tapi belum khitan juga kalau mungkin ia berkhitan sendiri. Dan kalau tidak maka wajib kalau tidak khawatir bahaya atas dirinya sendiri. Para ulama Hambali mengatakan waktunya dilakukan kalau anak sudah berusia 7 tahun.
Disebutkan dalam Ad-dinul Khalish,  swebenarnya tidak ada dalil shahih yang menunjukkan kewajiban waktu khitan. Yang diyakini adalah senuah sebagaimana dalam hadits :[4]
“Bekhitan itu sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita” (HR Ahmad dan Muslim)
Dan diatas segala pendapat yang mustahab adalah anak dikhitan pada usia 7 tahun sejak kelahiran. Nabi saw bersabda Dari Jabir:”Bahwa nabi saw mengkhitan hasan dan Husain pada usia 7 tahun. (H.R. Abu Asy-Syaih dan Al-Baihaqi).[5]
B.        Manfaat Khitan Menurut Ilmu Kedokteran
Untuk menjamin kesehatan seorang anak dan kehidupannya kelak  dikemudian hari dalam kehidupan biologisnya. maka syariat membiasakan agar anak-anak dikhitan, baik laki-laki dan perempuan. Ketentuan ini tertuang dalam hadits nabi saw yang artinya “khitan adalah sunat bagi laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari segi higienis , khitan akan dapat mencegah terkumpulnya stegma, dan tertinggalnya zat-zat di dalam saccus praeputialis yang pada waktu senggama mungkin masuk ke dalamnya sebab dengan khitan menjadi mudah untuk membersihkannya. Oleh karena itu glans penis selalu terbuka, jadi mudah untuk membersihkannya, dan akibat lanjutnya terjamin pula kebersihan vagina wanita. Orang yang tidak khitan, selaput lendir glans penis dan saccus praeputialis kurang kuat untuk menahan sesuatu karena selalu tertutup oleh kulup. Disamping itu mengkin sekali terkumpul berbagai zat penularan diantara glans penis dan praeputium, sehingga bertambah besarlah kemungkinan kena hama yang biasa (balantiities dan erosion), juga kemungkinan radang tersebut, memudahkan datangnya ulcera spesifik.
Setelah dikhitan, glans penis itu selalu terbuka dan senantiasa bersinggungan dengan pakaian yang menutupnya, maka lapisan epithelium penutup glans penis yang tipis dan lembut itu, menjadi lebih tebal, kuat dan  keras. Dia menjadi kering dan berubah menjadi epidemis kulit sehat yang memberikan lindungan yang baik.[6]

c.       Bantahan Bagi Pendapat Yang Menyatakan Wanita dianjurkan Khitan
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah bab Sunnanul Fitrah berkata:”Hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengkhitan wanita adalah dlaif tidak ada yang shahih sedikitpun.”
Maka Asy-Syaikh Al-Albani hafidhahullah membantahnya:”ini tidak mutlak. Karena ada riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa salam berkata kepada wanita tukang khitan: “Potonglah dan jangan dihabiskan, karena itu lebih indah bagi wajah dan lebih terhormat baginya dihadapan suami.”[7]
 Dari Abu Hurairah, ia berkata, ?Aku mendengar Nabi bersabda, 'Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.? (HR.Imam Muslim, Abu Daud, an-Nasa'i dan Ibn Majah)
Hadits ini sering dimuat dalam penjelasan mengenai khitan bagi wanita namun untuk dijadikan sebagai dalil khusus bagi khitan wanita tidak menyatakan secara terang-terangan dan gamblang, kecuali dari sisi makna umum yang dikandungnya bilamana diga-bungkan dengan hadits lainnya, ?Sesungguhnya kaum wanita adalah sekandung kaum laki-laki.?
Hadits lainnya adalah hadits Usamah al-Hadzali, ia berkata, ? Rasulullah bersabda, ?Khitan itu adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan kehormatan bagi kaum wanita,' namun ini adalah hadits lemah sebab ia dimuat di dalam Musnad Ahmad (V:75) di mana berasal dari jalur Hajjaj bin Artha'ah yang merupakan periwayat lemah dan seorang yang dikenal sebagai Mudallis.
Ibn Hajar di dalam Fath al-Bari (X: 341) menyebutkan beberapa Syawahid (hadits-hadits pen-dukung), di antaranya hadits Sa'id bin Bisyr, dari Qatadah, dari Jabir, dari Ibn 'Abbas. Namun tentang periwayat bernama Sa'id masih diperselisihkan. Abu asy-Syaikh juga meriwayatkan hadits Ibn 'Abbas itu dari jalur lain. Demikian pula, al-Baihaqi mengeluarkannya juga dari hadits Abu Ayyub al-Anshari.
Menurut Syaikh Musthafa al-'Adawi, setiap jalur periwayatan hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari sorotan dan cacat.[8]



[2] Musa Shalih Syaraf, Fatwa-Fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita , (Jakarta : Pustaka Firdaus :1997). H. 44-45

[3] Ibnul Jauzy, 110 Hukum Hukum Wanita, (Jakarta : Buku Islam Rahmatan, 2001) H. 29-30

[4] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta : Pustaka Imani,1994) h. 58-59
[5] Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang : CV. Asy-Syifa1986). H. 97-96

[6] Abdul Qadir Djailani, Keluarga Sakinah, ( Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995) H. 265-266.

No comments:

Post a Comment