A.
Khitan
Bagi Laki-Laki Dan Perempuan
Di dalam kamus bahasa Arab terkenal 'Lisan al-'Arab'
(materi: Khatana) dinyatakan, kata Khitan berasal dari kata kerja Khatana al-ghulama wa al-jariyata,
yakhtinuhuma, khitnan. Bentuk Ism (Kata benda)-nya adalah Khitan dan
Khitanah. Seorang yang dikhitan (disunat) disebut makhtun. Ada yang mengatakan, al-khatnu
untuk laki-laki sedangkan untuk wanita disebut al-khafdhu. Sedangkan kata khatiin
artinya orang yang dikhitan, baik laki-laki mau pun wanita. Khitan merupakan sunah bagi
laki-laki kerena memuliakan wanita. Imam safi’i berpendapat “sesungguhnya khitan wajib bagi laki-laki dan
perempuan”. Ulama-ulama madzhab Maliki dan madzhab Hanafi mengatakan
“khitan itu sunah bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan pengetian memuliakan
adalah bukanlah wajib dan bukan pula sunah, tetapi sebagai anjuran. Dan
diantara hikmahnya ialah tidak ada siksaan sebab meninggalkannya.[1]
Lelaki
pertama yang melakukan khitan ialah junjungan kita nabi Ibrahim as. Wanita pertama
yang melakukan khitan adalah Siti Hajar, untuk laki-laki menggunakan istilah khitan
sedangkan untuk perempuan menggunakan
istilah “khifadh”, terkadang istilah
khitan digunakan untuk keduanya.[2]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya
: Sunnah-sunnah fitrah itu ada lima ; khitan, mencukur bulu kemaluan,
memendekkan kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”[Muttafaq
Alaih]Hadits ini umum, mencakup lelaki dan perempuan.[Fatawa Lajnah Daimah Lil
Ifta' 5/119,120]
Diantara
cara berkhitan adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya dari
hadits Ummu Athiah Al-Anshoriah, seorang wanita mengkhitan di Madinah, maka
nabi saw bersabda kepada wanita itu : ”Janganlah
engkau berlebihan dalam memotong, kerena sesngguhnya apa yang demikian itu
lebih terhormat bagi wanita, dan lebih disukai oleh suami.”
Dan dari
Anas r.a bahwa nabi saw bersabda kepada Ummu Athiah : “Jika engkau mengkhitan wanita, ambillah bagian kecil dari yang engkau
potong dan jangan berlebih-lebihan dalam memotongnya, karena sesungguhnya yang
demikian itu lebih memuliakan wanita dan lebih terhormat bagi suami.
Yang
dimaksud dengan sabda beliauu ”Janganlah
engkau berlebihan dalam memotong..” adalah jangan sampai mengurangi syahwat
wanita pada batas yang wajar, karena sesunguhnya jika khitan itu menyebabkan
berkurangnya syahwat maka hal itu akan mengurangi cinta suami, dan seperti
diketahui bahwa cinta suami adalah tali
yang mengikatnya untuk tidak berbuat zina.[3]
Mengkhitan
wanita ialah dengan cara memotong sebagian kulit (labia monira) yang terdapat padda bagian atas farji, bentuknya
seperti jengger ayam atau biji korma.
Bayak
ulama dan fuqaha seperti imam Syafi’I yang mewajibkan khitan bagi laki-laki dan
perempuan.hanya menurut imam Malik bagi wanita khitan adalah mandub saja.
Selanjutnya
mengenai waktu khitanpun terjadi perbedaan pendapat. Ibnu Habib meriwayatkan
dari Malik, bahwa khitan itu dilaksanakan pada umur 7-10 tahun, dan makruh dilakukan
pada hari kelahiran.kemudian kalau orang itu telah dewasa tapi belum khitan juga
kalau mungkin ia berkhitan sendiri. Dan kalau tidak maka wajib kalau tidak
khawatir bahaya atas dirinya sendiri. Para ulama Hambali mengatakan waktunya
dilakukan kalau anak sudah berusia 7 tahun.
Disebutkan
dalam Ad-dinul Khalish, swebenarnya
tidak ada dalil shahih yang menunjukkan kewajiban waktu khitan. Yang diyakini
adalah senuah sebagaimana dalam hadits :[4]
“Bekhitan
itu sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita” (HR Ahmad dan Muslim)
Dan diatas
segala pendapat yang mustahab adalah anak dikhitan pada usia 7 tahun sejak
kelahiran. Nabi saw bersabda Dari Jabir:”Bahwa
nabi saw mengkhitan hasan dan Husain pada usia 7 tahun. (H.R. Abu Asy-Syaih
dan Al-Baihaqi).[5]
B. Manfaat Khitan Menurut Ilmu Kedokteran
Untuk menjamin kesehatan seorang anak dan kehidupannya
kelak dikemudian hari dalam kehidupan
biologisnya. maka syariat membiasakan agar anak-anak dikhitan, baik laki-laki dan perempuan.
Ketentuan ini tertuang dalam hadits nabi saw yang artinya “khitan adalah
sunat bagi laki-laki
dan perempuan.”
Dilihat dari segi higienis , khitan akan
dapat mencegah terkumpulnya stegma,
dan tertinggalnya zat-zat di dalam saccus
praeputialis yang pada waktu senggama mungkin masuk ke dalamnya sebab
dengan khitan menjadi
mudah untuk membersihkannya. Oleh karena itu glans penis selalu terbuka, jadi mudah untuk membersihkannya, dan
akibat lanjutnya terjamin pula kebersihan vagina wanita. Orang yang tidak khitan, selaput lendir
glans penis dan saccus praeputialis kurang kuat untuk menahan sesuatu karena selalu
tertutup oleh kulup. Disamping itu mengkin sekali terkumpul berbagai zat
penularan diantara glans penis dan praeputium, sehingga bertambah besarlah
kemungkinan kena hama yang biasa (balantiities
dan erosion), juga kemungkinan
radang tersebut, memudahkan datangnya ulcera
spesifik.
Setelah dikhitan, glans
penis itu selalu terbuka dan senantiasa bersinggungan dengan pakaian yang
menutupnya, maka lapisan epithelium
penutup glans penis yang tipis dan
lembut itu, menjadi lebih tebal, kuat dan keras. Dia menjadi kering dan berubah menjadi
epidemis kulit sehat yang memberikan lindungan yang baik.[6]
c. Bantahan Bagi Pendapat
Yang Menyatakan Wanita dianjurkan Khitan
Sayyid Sabiq dalam
Fiqhus Sunnah bab Sunnanul Fitrah berkata:”Hadits-hadits yang memerintahkan
untuk mengkhitan wanita adalah dlaif tidak ada yang shahih sedikitpun.”
Maka Asy-Syaikh Al-Albani hafidhahullah membantahnya:”ini tidak mutlak. Karena ada riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa salam berkata kepada wanita tukang khitan: “Potonglah dan jangan dihabiskan, karena itu lebih indah bagi wajah dan lebih terhormat baginya dihadapan suami.”[7]
Maka Asy-Syaikh Al-Albani hafidhahullah membantahnya:”ini tidak mutlak. Karena ada riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa salam berkata kepada wanita tukang khitan: “Potonglah dan jangan dihabiskan, karena itu lebih indah bagi wajah dan lebih terhormat baginya dihadapan suami.”[7]
Dari Abu
Hurairah, ia berkata, ?Aku mendengar Nabi bersabda, 'Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting
kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.? (HR.Imam Muslim, Abu Daud,
an-Nasa'i dan Ibn Majah)
Hadits ini sering dimuat dalam penjelasan mengenai
khitan bagi wanita namun untuk dijadikan sebagai dalil khusus bagi khitan
wanita tidak menyatakan secara terang-terangan dan gamblang, kecuali dari sisi
makna umum yang dikandungnya bilamana diga-bungkan dengan hadits lainnya,
?Sesungguhnya kaum wanita adalah sekandung kaum laki-laki.?
Hadits lainnya adalah hadits Usamah al-Hadzali, ia
berkata, ? Rasulullah bersabda, ?Khitan itu adalah sunnah bagi kaum laki-laki
dan kehormatan bagi kaum wanita,' namun ini adalah hadits lemah sebab ia dimuat
di dalam Musnad Ahmad (V:75) di mana berasal dari jalur Hajjaj bin Artha'ah
yang merupakan periwayat lemah dan seorang yang dikenal sebagai Mudallis.
Ibn Hajar di dalam Fath al-Bari (X: 341) menyebutkan
beberapa Syawahid (hadits-hadits pen-dukung), di antaranya hadits Sa'id bin
Bisyr, dari Qatadah, dari Jabir, dari Ibn 'Abbas. Namun tentang periwayat
bernama Sa'id masih diperselisihkan. Abu asy-Syaikh juga meriwayatkan hadits
Ibn 'Abbas itu dari jalur lain. Demikian pula, al-Baihaqi mengeluarkannya juga
dari hadits Abu Ayyub al-Anshari.
Menurut Syaikh Musthafa al-'Adawi, setiap jalur
periwayatan hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari sorotan dan cacat.[8]
[2] Musa Shalih Syaraf, Fatwa-Fatwa
Kontemporer Tentang Problematika Wanita , (Jakarta : Pustaka Firdaus :1997).
H. 44-45
[4] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta : Pustaka
Imani,1994) h. 58-59
[5] Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang : CV. Asy-Syifa1986). H. 97-96
[6] Abdul
Qadir Djailani, Keluarga Sakinah, (
Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995) H. 265-266.
No comments:
Post a Comment