Tuesday, 23 June 2015

makalah i'jazul qur'an



BAB I
PENDAHULUAN


I`jazul Qur`an/ kemukjizatan Qur`an adalah Untuk menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun berkelompok, untuk bisa mendatangkan yang sejenis dengan al-Qur`an. Dengan adanya kemukjizatan Al-Qur`an ditujukan untuk menjelaskan bahwa kitab ini adalah hak, dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar. Untuk lebih mengetahui apa yang dimaksud dengan Ijazul Qur`an dapat dilihat pada bab selanjutnya.

































BAB II
PEMBAHASAN
I`JAZUL QUR`AN

A. Pengertian i`jazul Qur`an
            I`jaz (kemukjizatan) dalam bahasa arab adalah menisbahkan kepada orang lain. Mukjizat ini ditujukan untuk menunjukan kelemahan manusia untuk mendatangkan hal yang serupa dengannya. Mujizat adalah sesuatu yang luar biasa yang bertentangan dengan adat dan keluar dari batas-batas yang telah diketahui. I`jazul Qur`an (kemukjizatan al-Qur`an) artinya menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun berkelompok, untuk bisa mendatangkan yang sejenis dengan al-Qur`an. Kemukjizatan al-Qur`an ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa kitab ini adalah hak, dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar. Tidak ada satu pun dari mukjizat Nabi-nabi yang dapat di tandingi oleh manusia. Tujuan mukjizat hanya untuk melahirkan kebenaran dan menetapkan bahwa yang mereka bawa itu adalah semata-mata wahyu dari zat yang membijaksana, dan diturunkan dari Tuhan yang maha kuasa. Mereka hanyalah menyampaikan risalah Allah.Oleh karena itu, Mukjizat adalah dalil-dalil dari Allah swt kepada hamba-Nya untuk membenarkan Rasul-rasul dan Nabi-nabi. Dengan perantaraan mukjizat ini, seolah-olah Allah bersabda “Benar hambaku dalam hal yang ia sampaikan dari Aku dan Aku mengutusnya agar ia menyampaikan sesuatu kepadamu”.
            Dalil atas kebenarannya adalah dengan cara menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan adap dan melakukan hal-hal yang berbeda di luar kemampuan manusia sehingga tidak ada seorangpun yang bisa mendatangkan sesamanya, Itulah arti melemahkan dan itu pula pengertian mukjizat.[1]
            Al- Jurjani mendefinisikan mukjizat sebagai “Sesuatu yang menyalahi adap, yang membajak kepada kebaikan (islam) dan kebahagiaan guna membandingi terhadap ajakan kenabian untuk menjelaskan kebenaran orang yang mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah.”
            Sedangkan Manna Qatha mendefinisikan mukjizat sebagai “ Sesuatu yang menyalahi adap, diberangi dengan kemenangan, sreta selamat dari konroveksi.”
B. Macam-Macam Mukjizat
            Secara garis besar, Mukjizat dapat dibagi dalam 2 bagian pokok, yaitu :
  1. Yang disebut “Hiisi”
  2. Yang disebut “Maknawi”.
Mukjizat Hiisi ialah yang dapat dicapai oleh panca indera. Mukjizat macam ini selalu diperhatikan kepada manusia biasa, yaitu manusia yang tidak biasa mempergunakan kecerdasan pikirannya, pendangan mata hatinya dan rendah budi perasaannya.
Mukjizat Hiisi dapat dikenal dan diketahui oleh umumnya umat manusia dengan perantara Sunnah (peraturan) Allah yang telah berlaku di muka bumi dengan tujuan sebagai bukti yang menunjukan kenabian dan kerasullan seseorang Nabi/Rasul Allah, atau untuk menunjukan bahwa ia adalah Nabi/Rasul Allah.
Adapun Mukjizat Maknawi, ialah mukjizat yang tidak mungkin dicapai oleh kekuatan panca indranya, melainkan dapat dicapai oleh kekuatan akal pikiran/aqli. Karenanya mukjizat macam ini tidak akan dapat dipahami terkecuali oleh orang yang berpikiran sehat, bermata hati yang cemerlang, berbudi luhur. Mukjizat macam ini pun tidak akan dapat dikenal dengan perantaraan Sunnah (peraturan) Allah yang biasa berlaku dimuka bumi.
Jadi seolah-olah mukjizat itu suatu hokum yang dikecualikan dari peraturan Allah yang biasa, berlaku dan biasa dilakukan oleh umat manusia di muka bumi ini.
Kedua macam mukjizat itu diberikan Allah kepada para Nabi/Rasul-Nya, tetapi kebanyakan mereka itu diberikan mukjizat yang bersifat Hiisi, sedangkan mukjizat Nabi Muhammad diberikan mukjizat hissi dan maknawi.[2]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:[3]
1.      Para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad yang diutus untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu ada di mana dan kapan pun berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat material karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya.
2.      Manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para Nabi-khususnya sebelum Nabi Muhammad- membutuhkan bukti kebenaran yang sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah manusia mulai menanjak ketahap kedewasaan berfikir, bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad SAW. Ketika diminta bukti-bukti yang sifatnya demikian oleh mereka yang tidak percaya, beliau diperintahkan Allah untuk menjawab dalam Q.S. Al-isra` ayat 92 yang artinya “ Katakanlah, Maha Suci Tuhanku, Bukanlah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?”.

C.  Unsur-unsur Mukjizat
Unsur-unsur yang terdapat pada mukjizat, sebagaiman dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah seperti berikut ini.[4]
1.      Hal atau peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, misalnya yang terlihat sehari-hari walaupun menakjubkan, tidak dapat dinamakan mukjizat, karena hal itu merupakan sesuatu yang biasa. Yang dimaksud dengan luar biasa diketahui secara umum hukum-hukumnya. Denngan demikian, hipnotisme atau sihir, misalnya, walaupun                        sekilas terlihat ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, sihir itu tidak termasuk dalam pengertian luar biasa dalam definisi di atas.
2.      Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku Nabi
Tidak musthil terjadi hal-hal diluar kebiasaan pada diri siapa pun. Namun, apabila bukan dari seorangyang mengaku nabi, hal itu tidak dinamakan mukjizat. Sesuatu yang luar biasa yang tampak pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi nabipun tidak miukjizat, tetapi irhash. Keluarbasaan itu juga bisa terjadi pada seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi ini pun tidak dapat  disebut mukjizat. Hal seperti ini dinamakan karamah atau kekeramatan, yang bahkan tidak mustahil terjadi pada seseorang yang durhaka kepadaNya. Yang terakhir ini dinamakan ihanah (penghinaan) atau istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi).
Bertitik tolah dari keyakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, maka tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalan beliau, walaupun ini bukan berarti keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.
3.      Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian.
Tentu saja tantangan ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Di sisi lain, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “Batu itu dapat berbicara,” tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa Sang penantang berbohong maka keluarbiasaan ini bukanlah suatu mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj.
4.      Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
         Bila orang-orang yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, hal ini berarti bahwa         pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digaris bawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh orang-orang yang ditantang. Bahkan, untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan masing-masing nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.

D. Segi-segi kemukjizatan Al-Qur`an
1.         Gaya Bahasa
            Gaya bahasa Al-Qur`an membuat orang Arab pada saat itu merasa kagum dam terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak di antara mereka masuk Islam. Bahkan, Umar bin Khaththab pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW. Dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk Islam dan beriman pada kerasullan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur`an. Susunan Al-Qur`an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apa pun.[5]
            Al-Qur`an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya sehingga membuat kagum, bukan saja bagi orang-orang mikmin, tetapi juga bagi orang-orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi mendengarkan ayat-ayat Al-Qur`an yang dibacaoleh kaum muslim. Di samping mengagumi keindahan bahasa al-Qur`an, mereka juga mengagumi kandunganya serta menyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur`an adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.[6]
2.         Susunan Kalimat
            Kendatipun Al-Qur`an, hadist qudsi, dan hadits nabawi sama-sama keluar dari mulut Nabi, tetapi uslub (style) atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur`an jauh lebih tinggi kulitasnya bila dibandingkan dengan lainnya. Al-qur`an muncul dengan uslub yang begitu indah. Di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akan pernah ada pada ucapan manusia.
            Dalam Al-Qur`an, misalnya banyak ayatyang mengandung tasybih (penyerupaan) yang disusun dalm bentuk yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih dari pada apa yang dibuat oleh para penyair dan sastrawan. Dapat dilihat salah satu contoh dalam surah Al-Qariah(101) ayat 5, yang artinya “ Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan”.
            Bulu yang dihambur_hamburkan ini sebagai gambaran dari gunung-gunung yang telah hancur lebur berserakan bagian-bagiannya. Kadang kal Al-Qur`an mengarah untuk menyatakan bahwa kedua unsur tasybih, yakni musyabbah (yang diserupakan) dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya) itu mempunyai sifat indrawi yang sama.[7]
3.         Hukum Illahi yang sempurna
            Al-Qur`an menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan-santun, undang-undang ekonomi , politik, social dan kemasyarakatan, serta hokum-hukum ibadah. Apabila memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa Islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliayah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga yang berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti berjuang di jalan Allah.
            Al-Qur`an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hokum, yakni :
  1. Secara Global
Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perinciannya diserahkan kepada para ulama melalui ijtihad.
  1. Secara Terperinci
Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang-piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan.
4.         Ketelitian Redaksinya
Ketelitian redaksi Al-Qur`an tergantung pada hal berikut :
a)      Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya, contohnya Al-hayyah (hidup) dengan Al-Maut (mati) masing-masing sebanyak 50 kali.
b)      Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/ makna yang di kandungnya, Contoh : Al-Qur`an, Al-Wahya, dan Al-Islam masing-masing 70 kali.
c)      Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya, Contoh: Al-Bukhl (kekikiran) dengan Al-Hasarah (penyesalan) masing-masing 12 kali.
d)     Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya, Contohnya As-Salam (kedamaian) dengan Ath-Thayyibat (kebaikan), masing-masing 60 kali.
e)      Dan adanya keseimbangan khusus seperti kata yaum (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali sebanyak hari-hari dalam setahum, sedangkan kata hari yang menunjukan bentuk plural (ayyam) atau dua (yaumayni) berjumlah 30 sama dengan jumlah hari dalam sebulan.

5.         Berita tentang hal-hal yang Ghaib
            Sebagian ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-qur`an itu adalah berita-berita gaib. Firaun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surah Yunus ayat 92 yang artinya “Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang dating sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasan Kami”.
            Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi sekitar 1200 tahun Sm. Pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, tepatnya di lembah raja-raja Luxor Mesir, seorang ahli purbakala Loret menemukan satu murni, yang dari data-daa sejarah terbukti bahwa ia adalah Firaun yang bernama Muniftah yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Firaun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah saru jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Qur`an melalui Nabi yang ummy( tidak pandai membaca dan menulis)
            Berita-berita ghaib yang terdapat  pada wahyu Allah, yakni Taurat, Injil, dan Al-Qur`an, merupakan mukjizat. Berita ghaib dalam wahyu Allah itu membuat manusia merasa takjub karena akal manusia tidak sampai pada hal-hal tersebut. Salah satu mukjizat Al-Qur`an adalah bahwa di dalamnya banyak terdapat ungkapan dan keterangan yang rahasianya baru terungkap oleh ilmu pengetahuan dan sejarah pada akhir abad ini dan makna yang terkandung di dalamnya pun sama sekali tidak terbayangkan oleh pikiran orng yang hidup pada masa Al-Qur`an diturunkan.

6.                  Isyarat-isyarat Ilmiah
            Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalm Al-Qur`an, misalnya :
a.       Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Sebagaimana yang dijelaskan firman Allah dalam Surah Yunus 10 : 5
b.      Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyelesaikan napas, hal itu diisyaratkan oleh firman Allah swt dalam Surah Al-An`am 6 : 25
c.       Perbedaan sidik jari manusia, Sebagaimamna oleh firman Allah swt dalam surah Al-Qiyamah 75 : 4
d.      Aroma/bau  manusia berbeda-beda, sebagaimana diisyaratkan Allah swt dalam surah Yusuf 12 : 94
e.       Masa penyusuan  yang dan masa kehamilanminimal,sebagaiman diisyaratkan Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah 2 : 333
f.       Adanya nurani (superego) dan bawah sadar manusia, sebagaimana diisyaratkan firman Allah dalam Surah Al-Qiyamah 75 : 14
g.      Yang merasakan nyeri adalah kulit, sebagaimana diisyaratkan Firman Allah dalam Surah An-Nisa 4 : 56.

E.        Perbedaan pendapat dikalangan Ulama
            Para Ulama berbeda pendapat tentang ketidakmampuan manusia menandingi Al-Qur`an dari aspek bahasa pendapat pertama mengatakan bahwa ketidakmampuan manusia itu karena ketinggalan dan keindahan susuanan bahasa ( balaghah)_nya. Tokoh dari para Ulama ini adalah As-Suyuthi.
            Pendapat kedua mengatakan bahwa ketidakmampuan Manusia menandingi Al-Qur`an karena Shirfah. Yakni Allah memalingkan manusia untuk tidak menentang Al-Qur`an atau menghilangkan kemampuan.manusia untuk menandingi Al-Qur`an. Tokohnya adalah An-Nadzham.















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            I`jazul Qur`an adalh menetapkan kelemahan manusia, secara berpiah-pisah atau berkelompok, untuk bisa mendatangkan yang sejenis dengan Al-Qur`an.
Macam-macam Mu`jizat, Yaitu : Mukjizat Hiisi dan mukjizat Maknawi
            Unsur-unsur Mukjizat, Yaitu :
  1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
  2. Terjadi atau di paparkan oleh seorang yang mengaku Nabi
  3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian.
  4. TAntangan tersebuttidak mampu atau gagal dilayani.
            Segi-segi kuMukjizatan Al-Qur`an :
  1. Gaya Bahasa
  2. Susunan Kalimat
  3. Hukum Ilahi yang sempurna
  4. Ketelitian redaksinya
  5. Berita tentang hal-al yang Ghaib
  6. Isyarat-isyarat Ilmiah
Pendapat Ulama tentang ketidakmapuan manusia menandingi Al-Qur`an dari aspek bahasa :
  1. As-Suyuthi, bahwa ketidakmampuan manusia itu karena ketinggian dan keindahan susunan bahasanya
  2. An-Nadzham, bahwa karena Shirfah.








DAFTAR PUSTAKA

-       Anwar, Rasihun, Ulumul Qur`an, Pustaka Setia, Bandung,2000.
-       Ash-Shabuniy, Muhammad Ali, Alih bahasa Aminuddin, Studi Ilmu Qur`an, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
-       Iqbal, Manshun sirajuddin, Pengantar ilmu Tafsir, Angkasa, Bandung, 1987.


[1] Prof. Dr. Muhammad ali Ash-Shaabuuniy alih bahasa Drs. H. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur`an, pustaka setia, Bandung,1999, Hlm 118-119
[2] Mashuri Sirojuddin Iqbal,Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa, Bandung, 1987, hlm 286-287
[3] Drs. Rasihun Anwar, M.Ag, Ulumul Qur`an, Pustaka Setia, Bandung,200, Hlm 194-195 dikutip dari Quraish Shihab hlm 36-37
[4] Ibid hlm 190-191
[5] Ibid, hlm 197, dikutip dari Ali Ash-Shabuni
[6] Ibid, dikutip dari Quraish Shihab
[7] Ibid hlm 198

No comments:

Post a Comment