Thursday, 25 June 2015

makalah Transplantasi Organ Tubuh dan hukumnya


           Pengertian Transplantasi
Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik milik orang lain.
Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut repisien.
Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.[1]
Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya yaitu : 1). Orang yang menyumbangkan oragan tubuhnya . 2). Resipien, orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena suatu dan lain hal, organ tubuhnya harus diganti. 3).Tim ahli (dokter)
Islam memerintahkan agar setiap penyakit diobati. Membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat berakibat fatal, yaitu kematian. Membiarkan diri terjerumus pada kematian adalah perbuatan terlarang,

وَلاَتَـقْـتُـلُوْا اَنْـفُسَهُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ( النسآء : 29

“… dan janganlah kamu membunuh dirimu ! Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa 4: 29)

Maksudnya, apabila sakit, berobatlah secara optimal sesuai dengan kemampuan karena setiap penyakit sudah ditentukan obatnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah saw. seraya bertanya, Apakah kita harus berobat? Rasulullah menjawab, “Ya hamba Allah, berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit.” Para shahabat bertanya, “Penyakit apa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Penyakit tua.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Nah, transplantasi termasuk salah satu jenis pengobatan. Dalam kaidah metode pengambilan hukum disebutkan Al-Ashlu fil mu’amalati al-ibaahah illa ma dalla daliilun ‘ala nahyi. (Pada prinsipnya, urusan muamalah (duniawi) itu diperbolehkan kecuali kalau ada dalil yang melarangnya). Maksudnya, urusan duniawi silakan dilakukan selama tidak ada dalil baik Al Quran ataupun hadits yang melarangnya.

Transplantasi bisa dikategorikan urusan muamal (duniawi). Kalau kita amati, tidak ada dalil baik dari Al Qur’an ataupun hadits yang melarangnya. Jadi trasplantasi itu urusan duniawi yang diperbolehkan. Persoalannnya, bagaimana hukum mendonorkan organ tubuh untuk ditransplantasi? Islam memerintahkan untuk saling menolong dalam kebaikan dan mengharamkannya dalam dosa dan pelanggaran.[2]

Transplantasi dapat dikategorikan kepada tiga tipe :[3]
Donor dalam keadaan sehat, dalam tipe ini diperlukan seleksi yang amat cermat dan harus diadakan pemeriksaan yang lengkap baik terhadap donor maupun resipien. hal ini dilakukan demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan adanya penolkan tubuh resipien dan juga menghindari resiko bagi donor.
Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal dunia segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus.
Donor dalam keadaan meninggal dunia. Dalam tipe ini organ tubuh yang akan dicangkok diambil ketika donor sudah meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan medis dan yuridis.. disamping juga harus diperhatikan daya tahan organ yang akan dicangkokkan, apakah masih ada kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel dan jaringannya sudah mati. Sehingga tidak bermanfaat lagi bagi resipien.
B.        Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1.         Donor dalam keadaan sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih hidup sehat, maka hukumnya haram. Dengan alasan firman Allah dalam surah Al-Baqarah : 195 :
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Ayat tersebut mengingatkan agar jangan gegabah dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, meskipun perbuatan tersebut merupakan hal yang baik dan luhur. contohya seseorang yang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya kepada orang lain yang memerlukan. dan kemungkinan juga dengan harapan ada imbalan bagi orang yang memerlukan , tetapi dalam masalah ini hukumnya haram karena tubuh manusia adalah milik Allah, manusia hanya berhak mempergunakannya dan tidak boleh menjualnya.
Dalam qaidah fiqih “Menghindari kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan. Berkenaan dengan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan memelihara dirinya dari pada kebinasaan, dari pada menolong orang lain dengan cara megorbankan diri sendiri, akhirnya ia tidak bisa melaksanakan tugas dan kewajiban, terutana tugas dalam melaksanakan ibadah.
2.         Donor dalam keadaan koma
Hukumnya tetap haram karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah. Meskipun orang tersebut menurut dokter tidak dapat ditolong lagi.
Nabi saw bwersabda : “Tidak boleh membuat mudharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membutat mudharat pada orang lain. Berdasarkan hadits ini mengambil organ orang yang dalam keadaan koma haram hukumnya karena dapat berakibat mempercepat kematiannya
3.         Donor dalam keadaan meninggal dunia
Mengambil organ tubuh tubuh donor (Jantung, mta atau ginjal) orang yang sudah meninggal secara yuridis dan medis hukumnya mubah. Dengan syarat bahwa resipien dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya yang bila tidak dilakukan transplantasi sedangkan ia sudah berobat secara optimal tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqiyah : “Darurat akan membolehkan yang diharamkan” dan juga : “Bahaya itu harus dihilangkan”. Disamping harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila meninggal dunia, atau ada izin dari ahli warisnya.
Fatwa MUI tangal 29 Juni 1987 bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan  yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenakan oleh hukum islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup)dan izin keluarga-ahli waris.
Dalil-dalil yang dapat dijadikan dasar :
 ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Al-Maidah ayat 32)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama islam. Tentunya harus sesuai dengan syariat islam.
 ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$#
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah ayat 2)
Ayat terbut menyuruh berbuat baik kepada sesama mausia dan saling tolong menolong dalam hal kebaikan. [4]
C.        Masalah Transplantasi
Apabila transplantasi organ tubuh diperbolehkan, lalu bagaimana apabila organ tubuh tersebut dipakai oleh resipien melakukan tindakan dosa atau tindakan yang berpahala? Dengan kata lain, apakah pemilik organ tubuh asal akan mendapat pahala, jika organ tubuh tersebut dipakai repisien untuk melakukan perbuatan yang baik. Sebaliknya, apakah pendonor akan mendapat dosa apabila organ tubuh tersebut dipakai repisien melakukan dosa?
Pendonor tidak akan mendapat pahala dan dosa akibat perbuatan repisien, berdasarkn dalil-dalil berikut ini:
1.      Firman Allah:
 
Artinya:”Dan sesungguhnya, tidaklah bagi manusia itu kecuali berdasarkan perbuatannya. Dan perbuatannya itu akan dilihat. Kemudian akan dibalas dengan balasan yang sempurna”.

D.        Hukum Transplantasi Organ dari Non Muslim

Mencangkok (transplantasi) organ dari tubuh seorang nonmuslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak terlarang. Mengapa? Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya.
Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang Muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi
alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir. Dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan sesungguhnya semua organ di dalam tubuh seorang kafir itu adalah pada hakikatnya muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah). Karena organ tubuh itu adalah makhluk Allah, di mana benda-benda itu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kekafiran atau keIslaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri. Memang AL-Quran sering menyebut istilah hati yang sering diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup.[5]
KESIMPULAN
Berdasarkan fatwa ulama-ulam fiqih, kami mengambil kesimpulan bahwa transplantasi organ tubuh orang yang masih hidup tidak dibolehkan, namun demikian transplantasi orang yang sudah meninggal dibolehkan saja, sepanjang mendapat izin dari orang yang akan meninggal tadi dan mendapat izin juga dari ahli keluarganya, dan dalam hal transplantasi harus dengan hati-hati dan harus menjaga kehormatan orang yang meninggal tadi. Dan tidak dengan cara yang bathil.
Menjadi pendonor hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas asal tidak membinasakan pendonor dan menjadi haram bila membinasakannya. Orang meninggal boleh dimanfaatkan organnya untuk pengobatan dengan catatan sebelum wafat orang tersebut mengizinkannya. Wallahu a’lam.


[1] http://pabondowoso.com/berita-154-pandangan-hukum-islam--terhadap-transplantasi-organ-tubuh-dan-tranfusi-darah.html
[2] http://baraya.tumblr.com/post/1689174571/hukum-transplantasi-organ-tubuh
[3] Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, (Jakarta : Kencana,2006) h. 101-102
[4] Ibid. h. 103-108
[5] http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1182480708

No comments:

Post a Comment