Tuesday, 23 June 2015

makalah tentang teori motivasi




TEORI MOTIVASI MENURUT ISLAM
Motivasi adalah kekuatan-kekuatan dari dalam diri individu yang menggerakkan individu untuk berbuat. Jadi suatu kekuatan atau keinginan yang datang dari dalam hati nurani manusia untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Apabila hati dan pikiran seseorang bersih dari hal-hal yan dilarang maka motivasi itu akan mudah muncul sehingga ia akan mudah juga dalam melakukan sesuatu perbuatan tertentu tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu. Salah satunya adalah adanya motivasi dalam belajar, dengan hati bersih maka ilmu akan mudah diterima dan ilmu tersebut dapat melekat dipikiran dan hatinya sehingga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Adapun ayat dan hadits yang berkenaan dengan motivasi dalam Islam terutama motivasi untuk menuntut ilmu atau motivasi belajar adalah:
1.      Q.S. Al-Mujadilah : 11
Æìsùötƒ... ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz . (المجادلة : 11)

Artinya: .... “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.                       (Q.S. Al-Mujadilah: 11)

2.      Q.S. Az-Zumar : 9
 ...ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#. (الزمر : 9)

Artinya: ....Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Q.S. Az-Zumar: 9)
3.      Hadits Nabi Saw.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

Artinya: “Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap muslim laki-laki dan muslim perempuan”.
اُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلَى الَّحْدِ

Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”.

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. (رواه ابو داود والترمذى والنسائى وابن ماجة عن ابى الدرداى)
                                                                                                                                                                                                                                  
Artinya: “Kelebihan orang yang berilmu dari orang yang beribadah (yang bodoh) bagaikan kelebihan bulan pada malam purnama dan semua bintang-bintang yang lain.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Darda).
Dalam hadits-hadits ini sangat jelas sekali memberikan motivasi kepada manusia bahkan mewajibkan kepada tiap-tiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk selalu belajar dan menuntut ilmu dan kedudukan orang yang berilmu itu melebihi daripada orang yang beribadah (yang bodoh) yang tanpa ilmu pengetahuan bagaikan bulan di antara bintang-bintang.
DAFTAR KUTIPAN
Muhammad, Abu Bakar. 1995. Hadits Tarbiyah 1. Surabaya: Al-Ikhlas.
Sunanto, Achmad. 1991. Bukhari Muslim 1. Semarang: CV. Asy-Syifa.


teori motivasi menurut Al-Ghazali


Mencari teori motivasi bersumberkan pemikiran Islam sangatlah sulit, termasuk bagi kalangan cendikiawan muslim. Kalaupun ada, hal itu hanyalah tafsiran ilmiah terhadap beberapa ayat Al Quran atau Hadis Nabi yang direlevansikan terhadap teori-teori motivasi yang telah ada. Suatu tesis baru tentang teori motivasi Islam adalah teori motivasi yang dikemukakan Al Ghazali. Karya keilmuan Al Ghazali dapat dikonstruksikan sebagai sebuah proses teorisasi ilmu yang memiliki karakter ilmiah, bukan sebagai wacana agama, etika dan tasawuf belaka, karena karya-karya Al Ghazali bisa diinterpretasikan dan diaktualkan untuk kepentingan yang lebih luas. Hal demikian termasuk dalam kepentingan manajemen, khususnya ketika memahami teori motivasi dalam manajemen smber daya manusia.
Abu Hamid Al Ghazali (1085-1111 M) adalah salah seorang ilmuwan muslim yang termasyhur sebagai tokoh muslim dari kelompok Ahlu Sunnah, yang juga dikenal sebagai Hujjatul Islam. Salah satu karya utamanya adalah Ihya ‘Ulumuddin.
Gejala sosial dan individu yang dicermati dalam sebuah sistem sosial atau organisasi melahirkan sebuah studi tentang prilaku organisasi. Bila dilihat dari perspektif ini, peran lingkungan dalam mengkondusifkan organisasi menjadi penting untuk dirumuskan sebagai sebuah mekanisme organisasi yang sistematis. Dalam pemahaman seperti inilah Imam Al Ghazali memandang proses pemotivasian seseorang sehingga mampu meningkatkan prestasi kerjanya. Perspektif Al Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya Ihya Ulumuddin, khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’ (takut dan harap).
Jika diperhatikan sistematika penulisannya rubu ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu raja’ (harap) yang terdiri atas 3 bab dan khauf (takut) sebanyak 9 bab. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al Ghazali memandang rasa takut memiliki wacana yang lebih penting dari rasa harap, rasa takut merupakan konsep dengan gradasi dari negatif sampai positif, kendatipun demikian pembahasan keduanya tidak jauh berbeda.
Harap dan takut ini merupakan dua sayap, yang merupakan sarana pendakian orang-orang yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap peringkat yang terpuji. Juga, merupakan dua pisau, yang dengan keduanya, orang membedah titian jalan akhirat memotong setiap tebing yang sulit didaki (Al Ghazali, 2007, 257). Harap-takut ini bagi Al Ghazali memiliki dua manfaat yaitu (1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan dan perkembangan mental spiritual sehingga memiliki prestasi yang terpuji, (2) menjadi kontrol atau pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental. Implikasinya, yang mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap dan yang menahan kita untuk melakukan perbuatan yang tidak produktif adalah rasa takut. Di sinilah tampak urgensi peran khauf dan raja’ sebagai matif dasar menusia dalam menggerakkan prilaku manusia di muka bumi (Cecep Darmawan, 2006, 57).
Gerak psikologis manusia dalam hal harap, digambarkan dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang memiliki harapan tentang masa depan, namun tidak ada sebab yang melatari munculnya harapan tersebut, mereka ini disebut pemimpi, pengharap tanpa sebab (berangan-angan). Kedua, mereka yang memiliki harapan tentang suatu hal, tetapi sebab-sebabnya masih tidak jelas atau tidak valid, orang ini disebut tertipu atau dungu. Ketiga, orang yang memiliki harap dan dia berusaha untuk melakukan sebab-sebab yang dapat meraihnya, sikap ini yang sebenarnya disebut harap.
Harap merupakan daya gerak terhadap prilaku manusia. Menurut Jalalddin Rumi, berkembangnya nilai harap dalam diri seseorang, mampu mendorong energi positif dan mengarahkan manusia ke satu tujuan tertentu, termasuk adanya dinamika pemikiran yang proyektif (berprasangka baik dan optimisme).
Dalam hal takut, menurut Al Ghazali, tidak semua rasa takut itu negatif dan tidak semua positif. Takut merupakan cemeti Allah yang akan membawa manusia pada ilmu dan amal. Rasa takut akan cemeti itu mampu menggerakkan prilaku manusia ke arah yang lebih baik, walaupun menekankan pentingnya memukul untuk mengubah prilaku sendiri, bukanlah hal yang terpuji.
Rasa takut memiliki tiga tingakatan, yaitu (1) Rasa takut yang muncul secara singkat, seperti kepada binatang buas. Rasa takut ini tidak banyak mengubah prilaku manusia. (2) Rasa takut menengah yang mendorong manusia untuk mengubah prilaku dan mencegah anggota badannya melakukan perbuatan maksiat. (3) Rasa takut yang berlebihan sehingga menghapus tumbuhnya rasa harap, sehingga orang bisa terjermus dalam mental putus asa, bimbang dan hilang akal, sehingga mencegah dirinya untuk beramal (QS. 39:53).
Bagi manusia, ada dua hal yang ditakutinya. Pertama, ada yang ditakuti karena hakikat dirinya sendiri (an sich) ata zatnya, seperti takut kepada panasnya api. Kedua, ada yang merasa takut pada akibat dari suatu hal yang ditimbulkan dari penyebab itu sendiri, seperti takut pada AIDS. Dalam konteks praktis manusia moderen saat ini, manusia cenderung berpikiran pendek, sesaat dan yang tampak belaka. Sesuatu yang terlihat tidak mencelakakan atau tidak merugikan, banyak disukai dan dilakukan oleh mereka. Setelah melakukan hal itu, mereka mengalami kerusakan, kehinaan dan rasa sakit yang sulit disembuhkan. Mereka terjebak hanya karena tergoda oleh kenikmatan sesaat (Cecep Darmawan, 2006, 63).
Rasulullah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Anas: “Keduanya (takut dosa dan rahmat Allah) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba pada tempat ini, melainkan ia diberikan oleh Allah apa yang diharapkannya dan ia diamankan oleh Allah dari apa yang ditakutinya”.
Khauf dan raja’ adalah obat bagi mentalitas hati manusia. Kelebihan keduanya adalah menurut penyakit yang dihadapinya. Jikalau yang keras hati itu penyakit aman dari siksaan Allah dan tertipu diri, maka takutlah yang lebih utama, jikalau yang lebih lebih keras itu adalah putus asa dan hilang harapan dari rahmat Allah, maka haraplah yang lebih utama (Al Ghazali, 2007.329). Dalam hal ini Al Ghazali menekankan pada hasil diagnosis psikologis kita terhadap mental individu itu sendiri.
Takut, dalam Islam juga diposisikan sebagai ujian, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al Quran, “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS. 2:155). Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan ujian. Adanya rasa takut, merupakan ‘training’ mental dan jiwa manusia. Oleh karena itu mereka yang memiliki positive thinking yang akan berhasil melewati rasa takut dan mampu meningkatkan kualitas hidpnya (Quthb, 2000,174).
Nilai keuutamaan antara khauf dan raja’ ini terletak dalam relevansinya dengan penyakit yang dimilikinya. Landasan teologisnya, terlihat dari pernyataan dalam Al Quran yang memposisikan keduanya secara bergantian. Dalam Surat As Sajdah, rasa takut di dahulukan dari rasa harap, “… mereka berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan penuh ketakutan dan pengharapan…”(QS.Sajdah:16). Sedangkan dalam Surat Al Anbiya’, rasa harap diposisikan lebih dahulu dibandingkan rasa takut, “…dan, mereka berdoa kepada Kami dengan pengaharapan dan rasa takut…”(QS. Al Anbiya’:90).
Rasa takut dan harap dapat menjadi obat bagi penyakit mental manusia, setelah sebelumnya telah melakukan diagnosiis psikologis. Ada dua cara menumbuhkan harap dan takut sebagai obat. Pertama, dengan menggunakan i’tibar atau pemerhatian terhadap kasus yang ada, dimana fakta sosial atau data empiris menyajikan beberapa nasihat faktual bagi individu yang mengalami penyakit mental. Kedua, dengan merujuk petuah-petuah normatif yang diyakininya dari Al Quran dan Hadist. “Sesungguhnya, orang-orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, ialah orang-orang yang berilmu” (QS. Al A’rraf:154). Ayat tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki ilmu. Sambil menanamkan rasa takut pada siksa Allah, manusia harus memperdalam ilmunya, sehingga menimbulkan mental berprestasi.”Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Itu adalah bagi orang yang takut keapda Tuhannya” (QS Al Bayyinah:8). Ayat tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki mental keagamaan yakni ridho diatur oleh Allah, dan akibat dari sikap ini, Allah pun ridho kepadanya.
Ada tiga langkah psikologis dalam diri individu dalam perjalanan pembinaan mentalnya. Tahap pertama yaitu kondisi aktual dalam dirinya masing-masing, rasa takut yang tinggi atau rasa harap yang tinggi, yang diketahui setelah diagnosis psikologis. Tahap kedua yaitu titik keraguan yang dimiliki individu, setelah diberikan terapi psikologis, yang merupakan masa transisi sebagai krisis mental manusia. Tahap ketiga yaitu peyakinan mental setelah mengalami krisis kepercayaan terhadap apa yang dimiliki sebelumnya. Setelah melewati ketiga tahap itu, perlu dilakukan pembinaan dan pematangan mental, yang merupakan proses lanjutan dari gerak transformasi psikologis.
Rujukan:
Cecep Darmawan,2006, Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insasni Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyah, Penerbit Khazanah Intelektual, Bandung
Al Ghazali, Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007, Ihya ‘Ulumuddin, Terjemahan Ahmad Rofi’ Usmani, Penerbit Pustaka, Bandung
Quthb, Sayyid, 2000, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al Quran, Terjemahan Jilid 1, Gema Insani Press, Jakarta

2. TEORI ABRAHAM MASLOW TENTANG MOTIVASI
2.1 Terminologi “Motivasi”
Apa itu “motivasi”? Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan. Dari asal-usul kata ini, Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat, mengartikan motivasi atau motif sebagai dorongan sadar dari suatu tindakan untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan tertentu manusia. Motivasi memainkan peranan penting dalam menilai tindakan manusia, karena pada motif-motif itulah terkandung arti subyektif dari tindakan tertentu bagi orang tertentu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan motivasi sebagai “usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”.

Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individu dalam organisasi. Dengan kata lain, motivasi merupakan salah satu determinan penting bagi kinerja individual di samping variabel determinan lain misalnya kemampuan orang yang bersangkutan dan atau pengalaman kerja sebelumnya.


 



No comments:

Post a Comment