TEORI MOTIVASI MENURUT
ISLAM
Motivasi adalah kekuatan-kekuatan dari dalam diri individu yang menggerakkan
individu untuk berbuat. Jadi suatu kekuatan atau keinginan yang datang dari
dalam hati nurani manusia untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Apabila hati dan pikiran seseorang bersih dari hal-hal yan dilarang maka
motivasi itu akan mudah muncul sehingga ia akan mudah juga dalam melakukan
sesuatu perbuatan tertentu tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu. Salah
satunya adalah adanya motivasi dalam belajar, dengan hati bersih maka ilmu akan
mudah diterima dan ilmu tersebut dapat melekat dipikiran dan hatinya sehingga
menjadi ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Adapun ayat dan hadits yang berkenaan dengan motivasi dalam Islam terutama
motivasi untuk menuntut ilmu atau motivasi belajar adalah:
1.
Q.S. Al-Mujadilah : 11
Æìsùöt... ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz . (المجادلة : 11)
Artinya:
.... “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
(Q.S. Al-Mujadilah: 11)
2. Q.S. Az-Zumar : 9
...ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#. (الزمر : 9)
Artinya: ....Katakanlah: "Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.” (Q.S. Az-Zumar: 9)
3. Hadits Nabi Saw.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya: “Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap muslim laki-laki dan muslim
perempuan”.
اُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلَى
الَّحْدِ
Artinya: “Tuntutlah
ilmu dari buaian hingga liang lahat”.
فَضْلُ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ. (رواه ابو داود
والترمذى والنسائى وابن ماجة عن ابى الدرداى)
Artinya: “Kelebihan orang yang berilmu dari orang yang beribadah (yang
bodoh) bagaikan kelebihan bulan pada malam purnama dan semua bintang-bintang
yang lain.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu
Majah dari Abu Darda).
Dalam hadits-hadits ini sangat jelas sekali memberikan motivasi kepada
manusia bahkan mewajibkan kepada tiap-tiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan untuk selalu belajar dan menuntut ilmu dan kedudukan orang yang
berilmu itu melebihi daripada orang yang beribadah (yang bodoh) yang tanpa ilmu
pengetahuan bagaikan bulan di antara bintang-bintang.
DAFTAR KUTIPAN
Muhammad, Abu Bakar.
1995. Hadits Tarbiyah 1. Surabaya: Al-Ikhlas.
Sunanto, Achmad. 1991. Bukhari
Muslim 1. Semarang: CV. Asy-Syifa.
teori motivasi menurut Al-Ghazali
Mencari teori motivasi bersumberkan
pemikiran Islam sangatlah sulit, termasuk bagi kalangan cendikiawan muslim.
Kalaupun ada, hal itu hanyalah tafsiran ilmiah terhadap beberapa ayat Al Quran
atau Hadis Nabi yang direlevansikan terhadap teori-teori motivasi yang telah
ada. Suatu tesis baru tentang teori motivasi Islam adalah teori motivasi yang
dikemukakan Al Ghazali. Karya keilmuan Al Ghazali dapat dikonstruksikan sebagai
sebuah proses teorisasi ilmu yang memiliki karakter ilmiah, bukan sebagai
wacana agama, etika dan tasawuf belaka, karena karya-karya Al Ghazali bisa
diinterpretasikan dan diaktualkan untuk kepentingan yang lebih luas. Hal demikian
termasuk dalam kepentingan manajemen, khususnya ketika memahami teori motivasi
dalam manajemen smber daya manusia.
Abu Hamid Al Ghazali (1085-1111 M) adalah salah seorang
ilmuwan muslim yang termasyhur sebagai tokoh muslim dari kelompok Ahlu Sunnah, yang
juga dikenal sebagai Hujjatul Islam. Salah satu karya utamanya adalah Ihya
‘Ulumuddin.
Gejala sosial dan individu yang dicermati dalam sebuah sistem
sosial atau organisasi melahirkan sebuah studi tentang prilaku organisasi. Bila
dilihat dari perspektif ini, peran lingkungan dalam mengkondusifkan organisasi
menjadi penting untuk dirumuskan sebagai sebuah mekanisme organisasi yang
sistematis. Dalam pemahaman seperti inilah Imam Al Ghazali memandang proses
pemotivasian seseorang sehingga mampu meningkatkan prestasi kerjanya.
Perspektif Al Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya Ihya Ulumuddin,
khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’ (takut dan harap).
Jika diperhatikan sistematika penulisannya rubu ini terbagi
kedalam dua bagian, yaitu raja’ (harap) yang terdiri atas 3 bab dan khauf
(takut) sebanyak 9 bab. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al Ghazali memandang rasa
takut memiliki wacana yang lebih penting dari rasa harap, rasa takut merupakan
konsep dengan gradasi dari negatif sampai positif, kendatipun demikian
pembahasan keduanya tidak jauh berbeda.
Harap dan takut ini merupakan dua sayap, yang merupakan sarana
pendakian orang-orang yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap
peringkat yang terpuji. Juga, merupakan dua pisau, yang dengan keduanya, orang
membedah titian jalan akhirat memotong setiap tebing yang sulit didaki (Al
Ghazali, 2007, 257). Harap-takut ini bagi Al Ghazali memiliki dua manfaat yaitu
(1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan dan perkembangan mental
spiritual sehingga memiliki prestasi yang terpuji, (2) menjadi kontrol atau
pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental. Implikasinya, yang
mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap dan yang menahan kita untuk
melakukan perbuatan yang tidak produktif adalah rasa takut. Di sinilah tampak
urgensi peran khauf dan raja’ sebagai matif dasar menusia dalam menggerakkan
prilaku manusia di muka bumi (Cecep Darmawan, 2006, 57).
Gerak psikologis manusia dalam hal harap, digambarkan dalam
tiga kategori. Pertama, mereka yang memiliki harapan tentang masa depan, namun
tidak ada sebab yang melatari munculnya harapan tersebut, mereka ini disebut
pemimpi, pengharap tanpa sebab (berangan-angan). Kedua, mereka yang memiliki
harapan tentang suatu hal, tetapi sebab-sebabnya masih tidak jelas atau tidak
valid, orang ini disebut tertipu atau dungu. Ketiga, orang yang memiliki harap
dan dia berusaha untuk melakukan sebab-sebab yang dapat meraihnya, sikap ini
yang sebenarnya disebut harap.
Harap merupakan daya gerak terhadap prilaku manusia. Menurut
Jalalddin Rumi, berkembangnya nilai harap dalam diri seseorang, mampu mendorong
energi positif dan mengarahkan manusia ke satu tujuan tertentu, termasuk adanya
dinamika pemikiran yang proyektif (berprasangka baik dan optimisme).
Dalam hal takut, menurut Al Ghazali, tidak semua rasa takut
itu negatif dan tidak semua positif. Takut merupakan cemeti Allah yang akan
membawa manusia pada ilmu dan amal. Rasa takut akan cemeti itu mampu
menggerakkan prilaku manusia ke arah yang lebih baik, walaupun menekankan
pentingnya memukul untuk mengubah prilaku sendiri, bukanlah hal yang terpuji.
Rasa takut memiliki tiga tingakatan, yaitu (1) Rasa takut yang
muncul secara singkat, seperti kepada binatang buas. Rasa takut ini tidak
banyak mengubah prilaku manusia. (2) Rasa takut menengah yang mendorong manusia
untuk mengubah prilaku dan mencegah anggota badannya melakukan perbuatan
maksiat. (3) Rasa takut yang berlebihan sehingga menghapus tumbuhnya rasa
harap, sehingga orang bisa terjermus dalam mental putus asa, bimbang dan hilang
akal, sehingga mencegah dirinya untuk beramal (QS. 39:53).
Bagi manusia, ada dua hal yang ditakutinya. Pertama, ada yang
ditakuti karena hakikat dirinya sendiri (an sich) ata zatnya, seperti
takut kepada panasnya api. Kedua, ada yang merasa takut pada akibat dari suatu
hal yang ditimbulkan dari penyebab itu sendiri, seperti takut pada AIDS. Dalam
konteks praktis manusia moderen saat ini, manusia cenderung berpikiran pendek,
sesaat dan yang tampak belaka. Sesuatu yang terlihat tidak mencelakakan atau
tidak merugikan, banyak disukai dan dilakukan oleh mereka. Setelah melakukan
hal itu, mereka mengalami kerusakan, kehinaan dan rasa sakit yang sulit
disembuhkan. Mereka terjebak hanya karena tergoda oleh kenikmatan sesaat (Cecep
Darmawan, 2006, 63).
Rasulullah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Anas: “Keduanya (takut dosa dan rahmat
Allah) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba pada tempat ini, melainkan ia
diberikan oleh Allah apa yang diharapkannya dan ia diamankan oleh Allah dari
apa yang ditakutinya”.
Khauf dan raja’ adalah obat bagi mentalitas
hati manusia. Kelebihan keduanya adalah menurut penyakit yang dihadapinya.
Jikalau yang keras hati itu penyakit aman dari siksaan Allah dan tertipu diri,
maka takutlah yang lebih utama, jikalau yang lebih lebih keras itu adalah putus
asa dan hilang harapan dari rahmat Allah, maka haraplah yang lebih utama (Al
Ghazali, 2007.329). Dalam hal ini Al Ghazali menekankan pada hasil diagnosis
psikologis kita terhadap mental individu itu sendiri.
Takut, dalam Islam juga diposisikan sebagai ujian, sebagaimana
difirmankan oleh Allah dalam Al Quran, “Dan sesungguhnya akan Kami berikan
cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan” (QS. 2:155). Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut menjelaskan
tentang adanya keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan ujian. Adanya
rasa takut, merupakan ‘training’ mental dan jiwa manusia. Oleh karena
itu mereka yang memiliki positive thinking yang akan berhasil melewati
rasa takut dan mampu meningkatkan kualitas hidpnya (Quthb, 2000,174).
Nilai keuutamaan antara khauf dan raja’ ini
terletak dalam relevansinya dengan penyakit yang dimilikinya. Landasan
teologisnya, terlihat dari pernyataan dalam Al Quran yang memposisikan keduanya
secara bergantian. Dalam Surat As Sajdah, rasa takut di dahulukan dari rasa
harap, “… mereka berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan penuh ketakutan dan
pengharapan…”(QS.Sajdah:16). Sedangkan dalam Surat Al Anbiya’, rasa harap
diposisikan lebih dahulu dibandingkan rasa takut, “…dan, mereka berdoa kepada
Kami dengan pengaharapan dan rasa takut…”(QS. Al Anbiya’:90).
Rasa takut dan harap dapat menjadi obat bagi penyakit mental
manusia, setelah sebelumnya telah melakukan diagnosiis psikologis. Ada dua cara
menumbuhkan harap dan takut sebagai obat. Pertama, dengan menggunakan i’tibar
atau pemerhatian terhadap kasus yang ada, dimana fakta sosial atau data empiris
menyajikan beberapa nasihat faktual bagi individu yang mengalami penyakit
mental. Kedua, dengan merujuk petuah-petuah normatif yang diyakininya dari Al
Quran dan Hadist. “Sesungguhnya, orang-orang yang takut kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya, ialah orang-orang yang berilmu” (QS. Al A’rraf:154). Ayat
tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah
orang yang memiliki ilmu. Sambil menanamkan rasa takut pada siksa Allah,
manusia harus memperdalam ilmunya, sehingga menimbulkan mental
berprestasi.”Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Itu
adalah bagi orang yang takut keapda Tuhannya” (QS Al Bayyinah:8). Ayat tersebut
menanamkan mental keimanan bahwa orang takut kepada Allah adalah orang yang
memiliki mental keagamaan yakni ridho diatur oleh Allah, dan akibat dari sikap
ini, Allah pun ridho kepadanya.
Ada tiga langkah psikologis dalam diri individu dalam
perjalanan pembinaan mentalnya. Tahap pertama yaitu kondisi aktual dalam
dirinya masing-masing, rasa takut yang tinggi atau rasa harap yang tinggi, yang
diketahui setelah diagnosis psikologis. Tahap kedua yaitu titik keraguan yang
dimiliki individu, setelah diberikan terapi psikologis, yang merupakan masa
transisi sebagai krisis mental manusia. Tahap ketiga yaitu peyakinan mental
setelah mengalami krisis kepercayaan terhadap apa yang dimiliki sebelumnya.
Setelah melewati ketiga tahap itu, perlu dilakukan pembinaan dan pematangan
mental, yang merupakan proses lanjutan dari gerak transformasi psikologis.
Rujukan:
Cecep Darmawan,2006, Kiat Sukses Manajemen Rasulullah:
Manajemen Sumber Daya Insasni Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyah, Penerbit Khazanah
Intelektual, Bandung
Al Ghazali, Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007, Ihya
‘Ulumuddin, Terjemahan Ahmad Rofi’ Usmani, Penerbit Pustaka, Bandung
Quthb, Sayyid, 2000, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah
Naungan Al Quran, Terjemahan Jilid 1, Gema Insani Press, Jakarta
2.
TEORI ABRAHAM MASLOW TENTANG MOTIVASI
2.1 Terminologi “Motivasi”
Apa itu “motivasi”? Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan. Dari asal-usul kata ini, Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat, mengartikan motivasi atau motif sebagai dorongan sadar dari suatu tindakan untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan tertentu manusia. Motivasi memainkan peranan penting dalam menilai tindakan manusia, karena pada motif-motif itulah terkandung arti subyektif dari tindakan tertentu bagi orang tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan motivasi sebagai “usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”.
Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individu dalam organisasi. Dengan kata lain, motivasi merupakan salah satu determinan penting bagi kinerja individual di samping variabel determinan lain misalnya kemampuan orang yang bersangkutan dan atau pengalaman kerja sebelumnya.
2.1 Terminologi “Motivasi”
Apa itu “motivasi”? Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan. Dari asal-usul kata ini, Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat, mengartikan motivasi atau motif sebagai dorongan sadar dari suatu tindakan untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan tertentu manusia. Motivasi memainkan peranan penting dalam menilai tindakan manusia, karena pada motif-motif itulah terkandung arti subyektif dari tindakan tertentu bagi orang tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan motivasi sebagai “usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”.
Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individu dalam organisasi. Dengan kata lain, motivasi merupakan salah satu determinan penting bagi kinerja individual di samping variabel determinan lain misalnya kemampuan orang yang bersangkutan dan atau pengalaman kerja sebelumnya.
No comments:
Post a Comment