Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Baz ditanya : Apa hukum KB ?
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah Baz ditanya menjawab :
Ini adalah permasalahan yang muncul sekarang, dan banyak pertanyaan
muncul berkaitan dengan hal ini. Permasalahan ini telah dipelajari oleh Haiah
Kibaril Ulama (Lembaga di Saudi Arabia yang beranggotakan para ulama) di dalam
sebuah pertemuan yang telah lewat dan telah ditetapkan keputusan yang
ringkasnya adalah tidak boleh mengkonsumsi pil-pil untuk mencegah kehamilan.
Karena
Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan untuk hamba-Nya sebab-sebab untuk
mendapatkan keuturunan dan memperbanyak jumlah umat. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Nikahilah
wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba
dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat dalam riwayat
yang lain : dengan para nabi di hari
kiamat)". [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i
2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah
hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]
Karena
umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada
Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan
Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.
Maka
wajib untuk meninggalkan perkara ini (membatasi kelahiran), tidak
membolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan
darurat maka tidak mengapa, seperti :
[a]. Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.
[b]. Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.
[a]. Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.
[b]. Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.
Adapun
jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya
hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang
dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh". [Fatawa
Mar'ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama
1412H]
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : "Ada seorang wanita berusia
kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan
anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya
sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi
(mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga
disebabkan masalah kesehatan, yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan
akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk
melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa
karena hal itu ?"
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab: Tidak mengapa ia melakukan
operasi/pembedahan jika para dokter (terpercaya) menyatakan bahwa jika
melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya. [Fatawa
Mar'ah Muslimah Juz 2 hal. 978, Maktabah Aadh-Waus Salaf, cet ke 2. 1416H]
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang ikhwan bertanya hukum KB
tanpa udzur, dan adakah Udzur yang membolehkannya?"
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjawab : Para ulama telah menegaskan bahwa
memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan
dengan maksud Nabi mensyari'atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut
merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin
berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan
bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah
kepada Bani Israil. Allah swt berfrman yang artinya : " Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih
besar" [Al-Isra : 6]
Dan
Allah swt berfrman : "Artinya : Dan
ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak
jumlah kamu' [Al-A'raf : 86]
Kenyataanpun
mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat
yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. Maka
seseorang tidak boleh melakukan sebab/usaha yang memutuskan keturunan sama
sekali. Allahumma, kecuali dikarenakan darurat, seperti :
[a] Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.
[b] Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa. [Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]
[a] Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.
[b] Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa. [Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan seorang wanita diperbolehkan
memakai pil-pil pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan ? Adakah nash
yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan bolehkah seorang
muslim melakukan azal ketika berjima tanpa sebab?"
Seyogyanya
bagi kaum msulimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal
itu adalah perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
sabdanya. : "Artinya : Nikahilah
wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan berlomba dalam banyak
jumlahnya umat" [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/320,
Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam
Al-Hilyah 3/61-62]
Dan
karena banyaknya umat menyebabkan (cepat bertambahnya) banyaknya umat, dan
banyaknya umat merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil yang
"artinya : Dan Kami jadikan kamu
kelompok yang lebih besar" [Al-Isra' : 6]
Dan
Allah swt berfrman yang artinya : Dan
ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak
jumlah kamu" [Al-A'raf : 86]
Dan
tidak ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan
dan kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki
prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan
sebab kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka
bersandar dan beriman dengan janji Allah dan firman-Nya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya" [Hud : 6]
Maka
Allah pasti akan mempermudah umat tersebut dan mencukupi umat tersebut dengan
karunia-Nya.
Berdasarkan
penjelasan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya
bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali
dengan dua syarat.
[a] Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.
[a] Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.
[b]
Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak
dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya
di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah mmakaiannya membahayakan atau
tidak.
Jika
dua syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan
tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi
pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus
keturunan.
Adapun
point kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut :
Pembatasan keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan
karena masalah hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja
seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak
lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara
yang tidak terdapat dalam syari'at Islam, namun pencegahan kehamilan secara
tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.
Adapun
pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan 'azal ketika berjima' tanpa adanya
sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena
hadits dari Jabir Radhiyallahu 'anhu. "Artinya : Kami melakukan 'azal sedangkan Al-Qur'an masih turun (yakni dimasa nabi
Shallallahu 'alihi wa sallam)" [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320
; Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu'aim dalam
Al-hilyah 3/61-62]
Seandainya
perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarangnya.
Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber'azal terhadap
wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinya, yakni seorang suami tidak
boleh ber'azal terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah
keturunan. Dan ber'azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita,
karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air
mani suami.
Berdasarkan
keterangan ini maka 'azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa
nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan
untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami mensyaratkan adanya ijin dari sang
istri".[Fatawa Syaikh ibnu Utsaimin Juz 2 hal. 764 dinukil dari Fatawa
Li'umumil Ummah][1]
Di
antara maksud tujuan agama Islam (maqasih syari’ah) dari adanya pernikahan
adalah untuk mendapatkan keturunan (littanasul) dan menghindari suami atau
isteri jatuh kepada perbuatan zina.
Oleh
karena itu, dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan
ummatnya untuk menikahi wanita yang penyayang dan subur (untuk memperoleh
keturunan). Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik disebutkan
seperti dibawah ini Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah
saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk
tidak menikah".
Beliau
kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan
subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari
Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya”(HR.Ahmad).
Bahkan,
bukan hanya itu, dalam sebuah hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam
Abu Daud dan Imam Nasai, dari Ma’qal bin Yasar, bahwa seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan
seorang wanita dari keturunan yang sangat baik dan sangat cantik, akan tetapi
dia mandul (tidak dapat hamil), apakah saya boleh menikahinya?” Rasulullah
saw menjawab: “Nikahilah oleh kamu (perempuan) yang penyayang dan subur,
karena aku kelak pada hari Kiamat yang paling banyak ummatnya”.
Hadits
ini, tidak berarti menikahi yang tidak subur tidak boleh, akan tetapi sangat
dianjurkan dan alangkah lebih baiknya apabila menikahi wanita-wanita subur yang
dapat melahirkan dan menghasilkan keturunan.
Dari
hadits-hadits di atas nampak bahwa di antara tujuan utama adanya pernikahan
adalah untuk memperoleh keturunan. Dalam al-Qur’an, Allah juga mengecam mereka
yang tidak mau memperoleh keturunan dengan alasan semata-mata karena takut
miskin, rizki seret dan lain sebagainya. Hal ini karena sudah merupakan janji
Allah bahwa, Allah yang akan memberikan rizki kepada anak-anak tersebut. Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah
yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS.Al-Isra:31).
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa semua makhluk di bumi ini, Allah yang memberikan rizkinya: Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS.Hud:6).
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa semua makhluk di bumi ini, Allah yang memberikan rizkinya: Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS.Hud:6).
Dari
keterangan-keterangan di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang
tidak mau mempunyai anak dikarenakan semata-mata hanya karena takut miskin,
takut tidak dapat memberikan makan, tidak dibenarkan. Karena dengan melakukan
demikian,dinilai tidak meyakini dengan kekuasaan Allah.
Dari
sini juga, barangkali kita dapat mengkategorikan praktek KB ini kepada dua
bagianbesar:
Pertama,
melakukan
program KB, dengan alasan takut tidak dapat memberikan makan, takut miskin dan
lain sebagainya, maka praktek KB seperti ini tidak dibenarkan. Karena hal ini
menyangkut keyakinan seorang muslim kepada Allah, bahwa Allah yang akan
memberikan rizkinya.
Selain
itu, sebagian besar ulama juga men tidak bolehkan seseorang yang melakukan
praktek KB dengan jalan memasang alat yang mengakibatkan si wanita tidak dapat
hamil selamanya (bukan sementara waktu), tanpa ada alasan syar’i yang
dibenarkan, bukan karena demi kesehatan si ibu atau lainnya. Untuk jenis ini,
praktek KB tidak diperbolehkan, karena tidak sesuai dengan di antara maksud
utama pernikahan dalam Islam.
Kedua,
praktek KB untuk mengatur saja, demi kesejahteraan si anak atau kesehatan si
ibu. Misalnya, menurut dokter sebaiknya demi kesehatan si ibu, agar melahirkan
lagi setelah dua atau tiga tahun ke depan, atau agar jarak antara putra yang
satu dengan yang lain tidak terlalu dekat, atau dengan dasar agar pendidikan
setiap anak dapat terpantau dengan baik, atau menurut dokter, kalau jaraknya
terlalu dekat, akan mengakibatkan si anak kurang normal, atau kurang sehat,
maka untuk jenis ini diperbolehkan, karena ada alasan syar’i dan praktek KB
tersebut bukan untuk selamanya (sementara waktu saja).
Di
antara dalil diperbolehkannya praktek KB untuk jenis kedua ini adalah hadits
shahih riwayat Bukhari Muslim yang memperbolehkannya praktek ‘azl. ‘azl adalah
menumpahkan sperma di luar vagina, dengan maksud di antaranya agar si isteri
tidak hamil, baik demi alasan kesehatan si isteri atau lainnya. Praktek ‘azl
ini berlaku umum di kalangan sahabat, dan Rasulullah saw tidak melarangnya. Ini
artinya, bahwa praktek tersebut dibenarkan. Diantara dalil yang membolehkan
praktek‘azl ini adalah: Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl
pada masa Rasulullah saw dan pada waktu itu al-Qur’an masih turun” (HR. Bukhari
Muslim).
Artinya:
“Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw, lalu
disampaikan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak melarang kami” (HR.
Muslim).
Imam
al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin bab Adab Nikah mengatakan, bahwa para
ulama dalam masalah boleh tidaknya ‘azl ini terbagi kepada empat pendapat.
Pendapat
pertama mengatakan bahwa praktek ‘azl dengan cara apa saja
diperbolehkan.
Pendapat
kedua, praktek ‘azl dengan cara dan maksud seperti apapun diharamkan.
Pendapat
ketiga, praktek ‘azl diperbolehkan, apabila ada idzin dari isteri,
apabila tidak ada idzin, maka ‘azl tidak diperbolehkan.
Keempat,
praktek ‘azl diperbolehkan untuk budak-budak wanita, namun untuk isteri-isteri
merdeka tidak dibenarkan.
Imam
al-Ghazali kemudian menutup perbedaan di atas dengan mengatakan: “Menurut
pendapat yang kuat dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i), praktek ‘azl mubah
(boleh-boleh saja)”. Jumhur ulama mengambil pendapat bahwa, ‘azl diperbolehkan
sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Bukhari Muslim di atas,
selama ada izin dari isteri.
Praktek
KB pun dapat dianalogkan (dikiaskan) dengan praktek ‘azl ini, sehingga menurut
sebagian besar ulama, praktek KB dengan maksud untuk mengatur keturunan
(tanzhim an-nasl), dan bukan dalam artian tidak mau melahirkan selamanya
(man’un nasl), diperbolehkan, sebagaimana proses ‘azl yang dilakukan para
sahabat di atas.
Kemudian,
apakah praktek KB jenis kedua, tidak berarti membunuh anak sebagaimana
diharamkan dalam ayat 31 surat al-Isra? Tentu jawabannya tidak. Karena, praktek
‘azl atau KB jenis kedua ini, terjadi sebelum menjadi anak, terjadi proses
kehamilan. Oleh karenanya tidak dikategorikan sebagai membunuh anak sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas.[2]
Dalam
tahun 1975, tujuh orang ahli hukum agama/fiqh diundang oleh Departemen Agama
(Depag) untuk membahas gagasan masalah Keluarga Berencana (KB). Di antara tujuh
orang itu terdapat KH M Bisri Syansuri, Rais 'Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) yang tinggal di Jombang. Beliau terkenal sebagai pembela hukum
agama/fiqh, di samping melakukan penerapan literal atas sumber-sumber tekstual (al-adillah al-naqliyyah) dalam
kehidupan. Pertemuan ke tujuh orang itu berakhir dengan pernyataan bahwa mereka
akan menerima gagasan KB tersebut. Tentu saja, dapat dilontarkan tuduhan bahwa
mereka pasti mengalah terhadap tekanan politik dari pemerintah waktu itu, namun
integritas pribadi ke-tujuh orang itu tidak memungkinkan adanya hal tersebut.
Penulis
teringat kepada kisah sang adik, dr. Umar Wahid, yang pernah mengantarkan
beliau ke suatu pesta perkawinan anak tokoh seorang Kejawen, Sudjono Humardani.
Setelah keduanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, KH. M Bisri
Syansuri lalu duduk di sebuah kursi dan dr. Umar Wahid menuju ke meja makan untuk
menikmati hidangan sambil makan dengan berdiri. Belum sempat ia mencicipi
makanan, bahunya disentuh beliau, sambil menyatakan; "Rasulullah tidak
pernah makan sambil berdiri, karena itu, mari kita pulang".
Mengapakah
terjadi penerimaan dari mereka seperti itu? Karena memang, Menteri Agama Dr. A
Mukti Ali tidak menyodorkan gagasan pembatasan kelahiran, yang akan membatasi
hak reproduksi manusia yang dipegang oleh Allah Swt. Sebaliknya, ia
mengemukakan gagasan KB yang sama sekali tidak mengurangi hak-hak reproduksi
semua makhluk di tangan Allah swt. Dengan kata lain, manusia merencanakan
jumlah keluarga tetapi tidak menghentikan secara permanen hak Allah Swt atas
proses itu. Karena itu, mereka dapat menerima gagasan KB, tapi menolak gagasan
pembatasan anak.
Hal
ini akan menjadi lebih jelas, jika dilihat dalam kasus operasi medis
Cincin-Yung. Dalam hal ini dilakukan operasi kecil dengan mengeluarkan tuba
(tube) di luar rahim/kandungan seorang perempuan, yang menjadi tempat
lalu/lewat sperma lelaki untuk bertemu dengan indung telur sang Ibu, dalam
rahimnya. Tuba itu dilipat dan diberi Cincin-Yung, agar sperma tidak lagi dapat
lewat, guna mencegah proses pembuahan indung telur. Jika diinginkan,
Cincin-Yung ini dapat saja dilepas dan sperma dapat lewat lagi melalui tuba tersebut,
hingga terjadi pembuahan lagi. Ini berarti, hak reproduksi manusia secara
permanen tetap berada di tangan Allah saw. Dan ini berarti pula, manusia dapat
mengkotak-katik, namun Allah swt jua-lah yang berwenang melakukan reproduksi
pada si makhluk yang bernama manusia itu.
Dengan
demikian, menjadi nyata bahwa pokok persoalannya terletak pada siapa yang
memiliki hak reproduksi; Allah swt-kah atau manusia sendiri? Dalam hal ini,
manusia mungkin saja mengatur dan merencanakan jumlah anggota keluarga yang dikehendaki,
namun pada akhirnya nanti Allah swt-lah yang tetap menentukan. Umpama saja,
manusia merencanakan dua kali kelahiran, karena yang diinginkan hanya dua anak
saja. Ini adalah suatu perencanaan, namun –sekali lagi, Allah swt dapat
menentukan lain. Bahwa, dengan kedua kelahiran itu, ternyata menjadi jalan bagi
kelahiran anak kembar, hingga orang tua tersebut tidak hanya memiliki dua anak
saja, melainkan empat orang anak.
Di
sini, terdapat perbedaan prinsipil antara sebuah perencanaan dan pembatasan jumlah
anak. Dalam hal pembatasan, sekali diambil tindakan, maka hak reproduksi yang
ada di tangan Allah Swt dihilangkan dan tidak dimungkinkan pemulihannya
kembali. Sedangkan dalam perencanaan jumlah anak, hak itu secara teoritis tetap
berada di tangan Allah Swt. Karena, manusia hanya dapat menghentikannya untuk
sementara saja –ketika alat-alat seperti kondom, obat-obatan maupun Cincin-Yung
dilepaskan. Artinya, penggunaannya tidak mematikan kemungkinan pembuahan lagi
jika alat-alat tersebut tidak dipakai.
Dalam
hal ini terbukti: gagasan perencanaan keluarga berjalan bersama dengan
perkembangan masyarakat. Kebutuhan pendidikan yang semakin rumit dan berbiaya
besar, membuat orang tidak lagi menginginkan jumlah anggota keluarga yang
besar. Hadits-hadits Nabi saw yang berbunyi: "berkawinlah kalian dan
berbanyak-banyak anak agar dapat Ku-banggakan kalian di hadapan bangsa-bangsa
lain di hari kiamat kelak" (tanakahu taktsuru fa inni mubaahin biku
al-yauma al-qiyamah) dipertanyakan, bahwa yang dimaksudkan itu jumlah fisis
(bilangan) ataukah jumlah kwalitatif atas hadits-hadits di atas. Sedangkan yang
dimaksudkan dengan jumlah kwalitatif di sini adalah jumlah orang yang
berpendidkan tinggi atau menguasai tehnologi dengan mendalam. Kalau jawabnya
jumlah kwalitatif, dengan sendirinya yang dipentingkan adalah pendidikan,yang
menghendaki justru jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu besar.
Dengan
demikian menjadi jelas bahwa, ada pertalian erat antara keadaan terdidik dan
perencanaan keluarga, seperti halnya pertalian faktor-faktor modern dengan
besarnya jumlah anggota keluarga. Dengan demikian, hubungan timbal balik antara
keterdidikan dan jumlah anggota keluarga menjadi sesuatu yang simbiotik. Dalam
arti, semakin tinggi keadaan keterdidikan sang anak, semakin sedikit jumlah
anggota keluarganya –dan demikianlah pendapat umum yang tidak pernah
diungkapkan oleh pers.
Dengan
begitu menjadi jelaslah, bahwa perencanaan keluarga haruslah memiliki wawasan
nasional dan tidak hanya mengangkat dirinya saja. Ini berarti, bagaimanapun
juga pertimbangan-pertimbangan non-hukum agama/fiqh juga turut membentuk
pandangan keluarga muslim tentang keluarga berencana tersebut. Sesungguhnya,
kedua faktor hukum agama/fiqh dan non-fiqh harus dijaga keseimbangannya antara
kedua belah pihak. Karena itu, kajian mendalam atas jalan pikiran dan perasaan
kontemporer dari kaum muslimin, juga harus diperhitungkan.[3]
No comments:
Post a Comment