Thursday, 25 June 2015

SEPUTAR HUKUM KELUARGA BERENCANA [KB]


Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Baz ditanya : Apa hukum KB ?
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Baz ditanya menjawab :  Ini adalah permasalahan yang muncul sekarang, dan banyak pertanyaan muncul berkaitan dengan hal ini. Permasalahan ini telah dipelajari oleh Haiah Kibaril Ulama (Lembaga di Saudi Arabia yang beranggotakan para ulama) di dalam sebuah pertemuan yang telah lewat dan telah ditetapkan keputusan yang ringkasnya adalah tidak boleh mengkonsumsi pil-pil untuk mencegah kehamilan.
Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan untuk hamba-Nya sebab-sebab untuk mendapatkan keuturunan dan memperbanyak jumlah umat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)". [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]
Karena umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.
Maka wajib untuk meninggalkan perkara ini (membatasi kelahiran), tidak membolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan darurat maka tidak mengapa, seperti :

[a]. Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.

[b]. Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.
Adapun jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh". [Fatawa Mar'ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama 1412H]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : "Ada seorang wanita berusia kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi (mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga disebabkan masalah kesehatan, yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa karena hal itu ?"
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab: Tidak mengapa ia melakukan operasi/pembedahan jika para dokter (terpercaya) menyatakan bahwa jika melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya. [Fatawa Mar'ah Muslimah Juz 2 hal. 978, Maktabah Aadh-Waus Salaf, cet ke 2. 1416H]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang ikhwan bertanya hukum KB tanpa udzur, dan adakah Udzur yang membolehkannya?"
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjawab : Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari'atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israil. Allah swt berfrman yang artinya : " Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar" [Al-Isra : 6]
Dan Allah swt berfrman : "Artinya : Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu' [Al-A'raf : 86]
Kenyataanpun mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. Maka seseorang tidak boleh melakukan sebab/usaha yang memutuskan keturunan sama sekali. Allahumma, kecuali dikarenakan darurat, seperti :

[a] Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.

[b] Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa. [Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan seorang wanita diperbolehkan memakai pil-pil pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan ? Adakah nash yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan bolehkah seorang muslim melakukan azal ketika berjima tanpa sebab?"
Seyogyanya bagi kaum msulimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal itu adalah perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya. : "Artinya : Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan berlomba dalam banyak jumlahnya umat" [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]
Dan karena banyaknya umat menyebabkan (cepat bertambahnya) banyaknya umat, dan banyaknya umat merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil yang "artinya : Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar" [Al-Isra' : 6]
Dan Allah swt berfrman yang artinya : Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu" [Al-A'raf : 86]
Dan tidak ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan dan kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka bersandar dan beriman dengan janji Allah dan firman-Nya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya" [Hud : 6]
Maka Allah pasti akan mempermudah umat tersebut dan mencukupi umat tersebut dengan karunia-Nya.
Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat.

[a] Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.
[b] Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah mmakaiannya membahayakan atau tidak.
Jika dua syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus keturunan.
Adapun point kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut : Pembatasan keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan karena masalah hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara yang tidak terdapat dalam syari'at Islam, namun pencegahan kehamilan secara tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.
Adapun pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan 'azal ketika berjima' tanpa adanya sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari Jabir Radhiyallahu 'anhu. "Artinya : Kami melakukan 'azal sedangkan Al-Qur'an masih turun (yakni dimasa nabi Shallallahu 'alihi wa sallam)" [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu'aim dalam Al-hilyah 3/61-62]
Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber'azal terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinya, yakni seorang suami tidak boleh ber'azal terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber'azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.
Berdasarkan keterangan ini maka 'azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami mensyaratkan adanya ijin dari sang istri".[Fatawa Syaikh ibnu Utsaimin Juz 2 hal. 764 dinukil dari Fatawa Li'umumil Ummah][1]
Di antara maksud tujuan agama Islam (maqasih syari’ah) dari adanya pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (littanasul) dan menghindari suami atau isteri jatuh kepada perbuatan zina.
Oleh karena itu, dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan ummatnya untuk menikahi wanita yang penyayang dan subur (untuk memperoleh keturunan). Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik disebutkan seperti dibawah ini Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk tidak menikah".  
Beliau kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya”(HR.Ahmad).
Bahkan, bukan hanya itu, dalam sebuah hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai, dari Ma’qal bin Yasar, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan seorang wanita dari keturunan yang sangat baik dan sangat cantik, akan tetapi dia mandul (tidak dapat hamil), apakah saya boleh menikahinya?” Rasulullah saw menjawab: “Nikahilah oleh kamu (perempuan) yang penyayang dan subur, karena aku kelak pada hari Kiamat yang paling banyak ummatnya”.
Hadits ini, tidak berarti menikahi yang tidak subur tidak boleh, akan tetapi sangat dianjurkan dan alangkah lebih baiknya apabila menikahi wanita-wanita subur yang dapat melahirkan dan menghasilkan keturunan.
Dari hadits-hadits di atas nampak bahwa di antara tujuan utama adanya pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan. Dalam al-Qur’an, Allah juga mengecam mereka yang tidak mau memperoleh keturunan dengan alasan semata-mata karena takut miskin, rizki seret dan lain sebagainya. Hal ini karena sudah merupakan janji Allah bahwa, Allah yang akan memberikan rizki kepada anak-anak tersebut. Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS.Al-Isra:31).

Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa semua makhluk di bumi ini, Allah yang memberikan rizkinya: Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS.Hud:6).
Dari keterangan-keterangan di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mau mempunyai anak dikarenakan semata-mata hanya karena takut miskin, takut tidak dapat memberikan makan, tidak dibenarkan. Karena dengan melakukan demikian,dinilai tidak meyakini dengan kekuasaan Allah.
Dari sini juga, barangkali kita dapat mengkategorikan praktek KB ini kepada dua bagianbesar:
Pertama, melakukan program KB, dengan alasan takut tidak dapat memberikan makan, takut miskin dan lain sebagainya, maka praktek KB seperti ini tidak dibenarkan. Karena hal ini menyangkut keyakinan seorang muslim kepada Allah, bahwa Allah yang akan memberikan rizkinya.
Selain itu, sebagian besar ulama juga men tidak bolehkan seseorang yang melakukan praktek KB dengan jalan memasang alat yang mengakibatkan si wanita tidak dapat hamil selamanya (bukan sementara waktu), tanpa ada alasan syar’i yang dibenarkan, bukan karena demi kesehatan si ibu atau lainnya. Untuk jenis ini, praktek KB tidak diperbolehkan, karena tidak sesuai dengan di antara maksud utama pernikahan dalam Islam.
Kedua, praktek KB untuk mengatur saja, demi kesejahteraan si anak atau kesehatan si ibu. Misalnya, menurut dokter sebaiknya demi kesehatan si ibu, agar melahirkan lagi setelah dua atau tiga tahun ke depan, atau agar jarak antara putra yang satu dengan yang lain tidak terlalu dekat, atau dengan dasar agar pendidikan setiap anak dapat terpantau dengan baik, atau menurut dokter, kalau jaraknya terlalu dekat, akan mengakibatkan si anak kurang normal, atau kurang sehat, maka untuk jenis ini diperbolehkan, karena ada alasan syar’i dan praktek KB tersebut bukan untuk selamanya (sementara waktu saja).
Di antara dalil diperbolehkannya praktek KB untuk jenis kedua ini adalah hadits shahih riwayat Bukhari Muslim yang memperbolehkannya praktek ‘azl. ‘azl adalah menumpahkan sperma di luar vagina, dengan maksud di antaranya agar si isteri tidak hamil, baik demi alasan kesehatan si isteri atau lainnya. Praktek ‘azl ini berlaku umum di kalangan sahabat, dan Rasulullah saw tidak melarangnya. Ini artinya, bahwa praktek tersebut dibenarkan. Diantara dalil yang membolehkan praktek‘azl ini adalah: Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw dan pada waktu itu al-Qur’an masih turun” (HR. Bukhari Muslim).
Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw, lalu disampaikan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak melarang kami” (HR. Muslim).
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin bab Adab Nikah mengatakan, bahwa para ulama dalam masalah boleh tidaknya ‘azl ini terbagi kepada empat pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa praktek ‘azl dengan cara apa saja diperbolehkan.
Pendapat kedua, praktek ‘azl dengan cara dan maksud seperti apapun diharamkan.
Pendapat ketiga, praktek ‘azl diperbolehkan, apabila ada idzin dari isteri, apabila tidak ada idzin, maka ‘azl tidak diperbolehkan.
Keempat, praktek ‘azl diperbolehkan untuk budak-budak wanita, namun untuk isteri-isteri merdeka tidak dibenarkan.
Imam al-Ghazali kemudian menutup perbedaan di atas dengan mengatakan: “Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i), praktek ‘azl mubah (boleh-boleh saja)”. Jumhur ulama mengambil pendapat bahwa, ‘azl diperbolehkan sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Bukhari Muslim di atas, selama ada izin dari isteri.
Praktek KB pun dapat dianalogkan (dikiaskan) dengan praktek ‘azl ini, sehingga menurut sebagian besar ulama, praktek KB dengan maksud untuk mengatur keturunan (tanzhim an-nasl), dan bukan dalam artian tidak mau melahirkan selamanya (man’un nasl), diperbolehkan, sebagaimana proses ‘azl yang dilakukan para sahabat di atas.
Kemudian, apakah praktek KB jenis kedua, tidak berarti membunuh anak sebagaimana diharamkan dalam ayat 31 surat al-Isra? Tentu jawabannya tidak. Karena, praktek ‘azl atau KB jenis kedua ini, terjadi sebelum menjadi anak, terjadi proses kehamilan. Oleh karenanya tidak dikategorikan sebagai membunuh anak sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.[2]
Dalam tahun 1975, tujuh orang ahli hukum agama/fiqh diundang oleh Departemen Agama (Depag) untuk membahas gagasan masalah Keluarga Berencana (KB). Di antara tujuh orang itu terdapat KH M Bisri Syansuri, Rais 'Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tinggal di Jombang. Beliau terkenal sebagai pembela hukum agama/fiqh, di samping melakukan penerapan literal atas sumber-sumber tekstual (al-adillah al-naqliyyah) dalam kehidupan. Pertemuan ke tujuh orang itu berakhir dengan pernyataan bahwa mereka akan menerima gagasan KB tersebut. Tentu saja, dapat dilontarkan tuduhan bahwa mereka pasti mengalah terhadap tekanan politik dari pemerintah waktu itu, namun integritas pribadi ke-tujuh orang itu tidak memungkinkan adanya hal tersebut.
Penulis teringat kepada kisah sang adik, dr. Umar Wahid, yang pernah mengantarkan beliau ke suatu pesta perkawinan anak tokoh seorang Kejawen, Sudjono Humardani. Setelah keduanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, KH. M Bisri Syansuri lalu duduk di sebuah kursi dan dr. Umar Wahid menuju ke meja makan untuk menikmati hidangan sambil makan dengan berdiri. Belum sempat ia mencicipi makanan, bahunya disentuh beliau, sambil menyatakan; "Rasulullah tidak pernah makan sambil berdiri, karena itu, mari kita pulang".
Mengapakah terjadi penerimaan dari mereka seperti itu? Karena memang, Menteri Agama Dr. A Mukti Ali tidak menyodorkan gagasan pembatasan kelahiran, yang akan membatasi hak reproduksi manusia yang dipegang oleh Allah Swt. Sebaliknya, ia mengemukakan gagasan KB yang sama sekali tidak mengurangi hak-hak reproduksi semua makhluk di tangan Allah swt. Dengan kata lain, manusia merencanakan jumlah keluarga tetapi tidak menghentikan secara permanen hak Allah Swt atas proses itu. Karena itu, mereka dapat menerima gagasan KB, tapi menolak gagasan pembatasan anak.
Hal ini akan menjadi lebih jelas, jika dilihat dalam kasus operasi medis Cincin-Yung. Dalam hal ini dilakukan operasi kecil dengan mengeluarkan tuba (tube) di luar rahim/kandungan seorang perempuan, yang menjadi tempat lalu/lewat sperma lelaki untuk bertemu dengan indung telur sang Ibu, dalam rahimnya. Tuba itu dilipat dan diberi Cincin-Yung, agar sperma tidak lagi dapat lewat, guna mencegah proses pembuahan indung telur. Jika diinginkan, Cincin-Yung ini dapat saja dilepas dan sperma dapat lewat lagi melalui tuba tersebut, hingga terjadi pembuahan lagi. Ini berarti, hak reproduksi manusia secara permanen tetap berada di tangan Allah saw. Dan ini berarti pula, manusia dapat mengkotak-katik, namun Allah swt jua-lah yang berwenang melakukan reproduksi pada si makhluk yang bernama manusia itu.
Dengan demikian, menjadi nyata bahwa pokok persoalannya terletak pada siapa yang memiliki hak reproduksi; Allah swt-kah atau manusia sendiri? Dalam hal ini, manusia mungkin saja mengatur dan merencanakan jumlah anggota keluarga yang dikehendaki, namun pada akhirnya nanti Allah swt-lah yang tetap menentukan. Umpama saja, manusia merencanakan dua kali kelahiran, karena yang diinginkan hanya dua anak saja. Ini adalah suatu perencanaan, namun –sekali lagi, Allah swt dapat menentukan lain. Bahwa, dengan kedua kelahiran itu, ternyata menjadi jalan bagi kelahiran anak kembar, hingga orang tua tersebut tidak hanya memiliki dua anak saja, melainkan empat orang anak.
Di sini, terdapat perbedaan prinsipil antara sebuah perencanaan dan pembatasan jumlah anak. Dalam hal pembatasan, sekali diambil tindakan, maka hak reproduksi yang ada di tangan Allah Swt dihilangkan dan tidak dimungkinkan pemulihannya kembali. Sedangkan dalam perencanaan jumlah anak, hak itu secara teoritis tetap berada di tangan Allah Swt. Karena, manusia hanya dapat menghentikannya untuk sementara saja –ketika alat-alat seperti kondom, obat-obatan maupun Cincin-Yung dilepaskan. Artinya, penggunaannya tidak mematikan kemungkinan pembuahan lagi jika alat-alat tersebut tidak dipakai.
Dalam hal ini terbukti: gagasan perencanaan keluarga berjalan bersama dengan perkembangan masyarakat. Kebutuhan pendidikan yang semakin rumit dan berbiaya besar, membuat orang tidak lagi menginginkan jumlah anggota keluarga yang besar. Hadits-hadits Nabi saw yang berbunyi: "berkawinlah kalian dan berbanyak-banyak anak agar dapat Ku-banggakan kalian di hadapan bangsa-bangsa lain di hari kiamat kelak" (tanakahu taktsuru fa inni mubaahin biku al-yauma al-qiyamah) dipertanyakan, bahwa yang dimaksudkan itu jumlah fisis (bilangan) ataukah jumlah kwalitatif atas hadits-hadits di atas. Sedangkan yang dimaksudkan dengan jumlah kwalitatif di sini adalah jumlah orang yang berpendidkan tinggi atau menguasai tehnologi dengan mendalam. Kalau jawabnya jumlah kwalitatif, dengan sendirinya yang dipentingkan adalah pendidikan,yang menghendaki justru jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu besar.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa, ada pertalian erat antara keadaan terdidik dan perencanaan keluarga, seperti halnya pertalian faktor-faktor modern dengan besarnya jumlah anggota keluarga. Dengan demikian, hubungan timbal balik antara keterdidikan dan jumlah anggota keluarga menjadi sesuatu yang simbiotik. Dalam arti, semakin tinggi keadaan keterdidikan sang anak, semakin sedikit jumlah anggota keluarganya –dan demikianlah pendapat umum yang tidak pernah diungkapkan oleh pers.
Dengan begitu menjadi jelaslah, bahwa perencanaan keluarga haruslah memiliki wawasan nasional dan tidak hanya mengangkat dirinya saja. Ini berarti, bagaimanapun juga pertimbangan-pertimbangan non-hukum agama/fiqh juga turut membentuk pandangan keluarga muslim tentang keluarga berencana tersebut. Sesungguhnya, kedua faktor hukum agama/fiqh dan non-fiqh harus dijaga keseimbangannya antara kedua belah pihak. Karena itu, kajian mendalam atas jalan pikiran dan perasaan kontemporer dari kaum muslimin, juga harus diperhitungkan.[3]

No comments:

Post a Comment