1. Konsep Kehidupan Keagamaan Menurut Islam
Setiap
orang menurut Islam, pada dasarnya telah dikaruniai kecenderungan untuk
bertauhid, mengesakan Tuhan, dalam hal ini Allah SWT. Tegasnya, dalam setiap
diri manusia ada kecenderungan untuk meyakini adanya Allah SWT dan beribadah
kepadaNya. Dalam istilah Al-Qur’an kecenderungan yang dimaksud disebut dengan
‘fitrah”. Hal ini tercermin dalam ayat Al-Qur’an dibwah ini.[1]
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum : 30)
Dan
Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut : Setiap orang yang dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah, setelah itu
ayah ibunya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. Maka jika kedua
orang tuanya itumuslim, maka anak menjadi seorang muslim. (HR. Muslim)
Dalil
kedua dalil naqli diatas, dapat diketahui bahwa secara kodrati manusia memiliki
fitrah untuk beriman kepada Allah SWT, tetapi karena faktor “lingkungan” maka
fitrah tersebut tidak bisa dikembangkan sebagaimana mestinya, melainkan
menyimpang kearah yang lain. Dengan kata lain, Islam mengakui dua hal pokok,
yaitu :
- Secara kodrati manusia telah dibekali “naluri” untuk beragama tauhid atau agama Islam.
- Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan naluri tersebut.
Jika
apa yang secara naluriah saja bisa berubah karena pengaruh lingkungan,
lebih-lebih lagi yang merupakan hasil pengaruh lingkungan. Jelasnya, seseorang
yang dalam kehidupannya sudah beragama Islam, bisa saja beralih menjadi kafir.
Seseorang yang sudah bertauhid, bisa saja berubah menjadi musyrik. Sebaliknya
seseorang yang semula kafir atau musyrik dan sebagainya bisa juga berubah
menjadi seorang mukmin dan muslim. Namun demikian, pengaruh lingkungan
(pendidikan dan lain sebagainya) pun tidaklah mutlak, sebagian tergantung pula
pada diri orang yang bersangkutan, seperti yang dilukiskan dalam ayat berikut :
$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sã !$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qã ÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ ¨bÎ) úïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? w tbqãZÏB÷sã ÇÏÈ zNtFyz ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4n?tãur öNÎgÏèôJy ( #n?tãur öNÏdÌ»|Áö/r& ×ouq»t±Ïî ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOÏàtã ÇÐÈ z`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)t $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ÌÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ cqããÏ»sä ©!$# tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä $tBur cqããyøs HwÎ) öNßg|¡àÿRr& $tBur tbráãèô±o ÇÒÈ
Artinya
:
1. Alif laam miin.
2. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan
kepada mereka.
4. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al
Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
5. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari
Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
6. Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja
bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
juga akan beriman.
7. Allah Telah mengunci-mati hati dan
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang
amat berat.
8. Di antara manusia ada yang mengatakan:
"Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu
Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang
yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak
sadar.
Dari
ayat-ayat diatas, tampak jelas bahwa dalam segi kehidupan keagamaan, banyak
problem yang dihadapi seseorang, baik yang telah beragama maupun yang belum.
Yang belum beragama kerap susah untuk menentukan akan memeluk agama yang mana.
Yang sudah beragama juga sering tergoyahkan ibadahnya dengan berbagai hal dari
dalam maupun dari luar dirinya.
* Èb#x»yd Èb$yJóÁyz (#qßJ|ÁtG÷z$# Îû öNÍkÍh5u ( tûïÏ%©!$$sù (#rãxÿ2 ôMyèÏeÜè% öNçlm; Ò>$uÏO `ÏiB 9$¯R =|Áã `ÏB É-öqsù ãNÍkÅrâäâ ãNÏJptø:$# ÇÊÒÈ
Artinya :
Inilah dua golongan (golongan mukmin dan
golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan
mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api
neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.(Q.S.
Al-Hajj : 19)
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ÎtIô±t uqôgs9 Ï]Ïysø9$# ¨@ÅÒãÏ9 `tã È@Î6y «!$# ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ $ydxÏGtur #·râèd 4 y7Í´¯»s9'ré& öNçlm; Ò>#xtã ×ûüÎgB ÇÏÈ #sÎ)ur 4n?÷Gè? Ïmøn=tã $oYçG»t#uä 4¯<ur #ZÉ9ò6tGó¡ãB br(x. óO©9 $yg÷èyJó¡o ¨br(x. þÎû ÏmøtRèé& #\ø%ur ( çn÷Åe³t6sù A>#xyèÎ/ AOÏ9r& ÇÐÈ
Artinya :
Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat
kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum
mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar
gembiralah dia dengan azab yang pedih.(Q.S. Luqman : 6-7)
tA$s%ur ß`»sÜø¤±9$# $£Js9 zÓÅÓè% ãøBF{$# cÎ) ©!$# öNà2ytãur yôãur Èd,ptø:$# ö/ä3?tãurur öNà6çFøÿn=÷zr'sù ( $tBur tb%x. uÍ< Nä3øn=tæ `ÏiB ?`»sÜù=ß HwÎ) br& ÷Lälè?öqtãy óOçGö6yftGó$$sù Í< ( xsù ÎTqãBqè=s? (#þqãBqä9ur Nà6|¡àÿRr& ( !$¨B O$tRr& öNà6ÅzÎóÇßJÎ/ !$tBur OçFRr& ÅÎóÇßJÎ/ ( ÎoTÎ) ßNöxÿ2 !$yJÎ/ ÈbqßJçGò2uõ°r& `ÏB ã@ö7s% 3 ¨bÎ) úüÏJÎ=»©à9$# öNßgs9 ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇËËÈ
Artinya :
Dan berkatalah syaitan tatkala perkara
(hisab) Telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah Telah menjanjikan kepadamu
janji yang benar, dan akupun Telah menjanjikan kepadamu tetapi Aku
menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan
(sekedar) Aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu
janganlah kamu mencerca Aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku
sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat
menolongku. Sesungguhnya Aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan Aku
(dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
mendapat siksaan yang pedih. (Q.S. Ibrahim : 22)[2]
Beragama sebagai gejala universal masyarakat manusia
juga diakui oleh Bergson (1859-1941) pemikir Prancis. Ia menulis bahwa kita
menemukan masyarakat tanpa sains, seni dan filsafat, tetapi tidak pernah ada
masyarakat tanpa agama.
Kalau ditelusuri lebih dalam lagi, manusia tidak terdiri
dari otak dan otot saja. Dalam diri manusia ada hati yang butuh kepada keyakinan
dan pegangan. Tanpa adanya keyakinan dan kepercayaan, manusia akan hidup
terombang-ambing dan berada dalam kebingunang terus menerus.[3]
Islam menyebut bahwa
melalui hatinya manusia menemukan kesadaran ketuhanannya yang nantinya akan mempunyai
segi konsekuensial pada kesadaran moral dan sosialnya. Kesadaran yang disebut
ketakwaan ini tumbuh dalam hati; sebaliknya dosa dan kekafiran juga berkembang
dalam hati.
Ada sebuah ungkapan yang dikenal di kalangan orang-orang kerohanian,
bahwa di dalam diri manusia ada “ruang kosong” yang harus kita isi dengan
hal-hal yang baik. Jika kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, maka
ruang kosong itu, otomatis akan diisi dengan hal-hal yang buruk. Ibarat sebuah
roda, ruang kosong itu adalah yang menjadikannya sebagai roda. Metafor ini bisa
dipakai untuk manusia: ruang kosong itulah yang menjadikan kita berarti secara
spiritual sebagai manusia. Itulah: suara hati, atau hati nurani.
Lawan dari fitrah
ini, adalah dosa. Apa itu dosa? Al-Qur’an menyebut orang yang berdosa itu
sebagai zhâlim –yang sudah menjadi bahasa Indonesia, zalim, lalim-- dan sering
diterjemahkan dengan arti aniaya. Secara harafiah, zhâlim artinya orang yang
menjadi gelap. Dosa dalam bahasa Arab, zhulmun, kegelapan, artinya
membuat hati yang gelap (suara hati yang tertutup). Kalau seseorang
banyak berdosa, maka hati (suara hati)-nya tidak lagi bersifat nurani (bersifat cahaya)[4]
Ironisnya, banyak di antara
kita yang melupakan fitrah insaniyah (kemanusiaan) kita. Sebagian besar
kita justru dipengaruhi, bahkan dikuasai oleh nafsu. Kita menjadikan nafsu
sebagai ilah (tuhan) dalam kehidupan ini. Padahal Allah SWT secara tegas
mengecam para budak ‘nafsu’ dengan firman-Nya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka
itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya.” (Q.S. Al-Furqan: 43-44)
Betapa nista dan hinanya
gelar yang disematkan Allah SWT kepada para pemuja nafsu. Mereka diibaratkan
seperti binatang, bahkan jauh lebih hina dari binatang tersebut. Dan jelas,
tempat yang telah disiapkan bagi mereka adalah neraka Jahannam (Q. S. Al-A’raf:
179)
Bagi manusia yang masih sadar akan eksistensi kemanusiaannya, tentu ia
tidak mau direndahkan derajatnya, ia akan mempertahankan fitrah kemanusiaannya.
Bahkan, ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat serta kualitas
kemanusiaannya. Tetapi bagi mereka yang telah dibutakan mata hatinya oleh
dekapan nafsu, ia akan terlena dan terbuai, tidak memedulikan lagi fitrah
kemanusiaannya yang suci. Ia akan terlelap dalam bisikan nafsu, sampai akhirnya
maut datang menjemputnya.[5]
Sebagaimana
sudah diketahui bahwa islam memandang bahwa pada hakikatnya manusia itu adalah
makhluk Allah yang diciptakan sebagai khalifah di bumi untuk mengabdi
kepadaNya,
Istilah
menyembah (mengabdi) kepada Allah mengandung arti luas. Dengan kata lain
istilah menyembah itu bukan hanya mengandung pengertian melaksanakan upacara
ritual keagamaan saja, seperti shalat, puasa, zakat, berkorban, haji dan
sebagainya, tetapi lebih jauh dan lebih luas dari itu. Menyembahap dalam
pengertian yang lebih luas itu adalah bahwa seluruh aktivitas dan tingkah laku
yang dilaksanakan seseorang dalam kehidupannya semata-mata mencari keridhaan
Allah dalam setiap ibadah.
Menurut konsepsi islam manusia lahir
ke dunia dengan dibekali fitrah beragama.
Hasan Langgulung mengatakan bahwa
fitrah yang diberikan Allah swt kepada manusia itu adalah berupa kebolehan atau
potensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan yang
disebut asmaul husna.
Untuk
mengembangkan potensi atau fitrah tersebut, Allah swt juga melengkapi manusia
dengan sarana/alat, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an An-Nahl :78 yang
artinya : “Dan Alah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam kedaa tidak mengetahui sesuatu apapun dan dia member
kamu pendengaran, penglihatan danhati agar kamu besyukur”.
Jadi
fitrah beragama dan sarana/alat untuk mengembangkan fitrah tersebut (yakni
pendengaran, penglihatan dan hati) merupakan faktor potensi internal yang telah
diberikan Allah swt kepada hambanya yang baru lahir agar ia dapat mengembangkan
tugasnya sesuai dengan tujuan penciptakan manusia di muka bumi.
Tidak
cukup dengan factor potensi internal yang berupa fitrah beragama sarana/alat
pengembangannya saja, tetapi dengan Maha RahmanNya, Allah swt masih melengkapi
manusia dengan syariat agama islam, yang materinya tersimpul dalam Al-Qur’an
dan hadits. Al-Qur’an dan hadits berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan
manusia.
Al-Qur’an
dan hadits yang berisikan pedoman tentang sikap dan perilaku yang diridhaiNya
merupakan factor potensi eksternal yang akan mempengaruhi perkembangan potensi
fitrah beragama yang telah dibawa manusia sejak lahir ke dunia.
Dari apa yang dikemukkan di atas
maka dapat diambil kesimpulan bimbingan konseling islam membantu mengarahkan
manisia agar dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya
secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terandung di
dalam Al-Qur’an dan hadits kedalam dirinya, sehingga dia dapat hidup selaras
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits. Bila internalisasi nilai-nilai
yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits itu telah tercapai dan fitrah
manusia beragama telah berkembang maka indivudu tersebut dapat menciptakan
hubungan yang baik dengan Allah swt, manusia dan alam semesta sebagai manifestasi
dari peranannya sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus juga berfungsi
untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah swt.[6]
2. Problem-Problem dalam Kehidupan
Keagamaan
Apa
yang telah diuraikan diatas sekaligus menunjukkan adanya berbagai problem dalam
kehidupan keagamaan manusia. Problem-problem itu jika dirinci meliputi antara
lain :
- Problem ketidakberagamaan, artinya seseorang atau kelompok individu tidak atau belum beragama dan berkehendak untuk beragama merasakan kesulitan untuk memeluk atau menganut sesuatu agama karena belum mampu meyakinkan diri dengan agama mana yang paling tepat untuk dianut.
- Problem pemilihan agama, artinya seseorang atau kelompok individu yang belum beragma dan berkehendak untuk beragama yang merasakan kesulitan untuk memeluk atau menganut sesuatu agama karena belum mampu meyakinkan diri agama mana yang paling tepat untuk dianut.
- Problem kegoyahan iman, artinya seseorang atau sekelompok individu yang senantiasa goyah dalam keimanannya, sehingga ada kecenderungan disuatu saat untuk mengikuti agama yang satu, dan pada lain kali berkeinginan untuk mengikuti agama yang lain lagi.
- Problem karena perbedaan paham dan pandangan, artinya seseorang atau sekelompok individu menderita konflik batin karena mendapatkan informasi yang bertentangan mengenai keimanan dan ubudiyah yang menyebabkannya sulit untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan.
- Problem ketidakpahaman mengenai ajaran agama, artinya seseorang atau sekelompok individu melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang didasari atau tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain, karena tidak memahami secara penuh ajaran agama.
- Problem pelaksanaan ajaran agama, artinya seseorang atau sekelompok individu tidak mampu untuk menjalankan ajaran sebagaimana mestinya karena berbagai sebab.
Mengingat
banyaknya problem yang bisa dihadapi seseorang dalam kehidupan keagamannnya,
maka jelaslah bahwa bimbingan dan konseling keagamaan islami sangat diperlukan
untuk membantunya mencegah atau mengatasi problem-problem keagamaan yang
dimaksud.[7]
Dan
Problem keagamaan yang lain nya contohnya : Dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam menghadapi era globalisasi
dewasa ini, ditemukan individu-individu yang sibuk dengan urusan dunia, materialistik,
individualistik dan lain sebagianya sehingga melahirkan perilaku dan sikap
sombong, kikir, zalim, bodoh dan lain sebagainya yang disinyalir oleh ayat
Al-Qur’an seperti :
Sifat sombong (Qs.
Huud : 10)
Zalim dan kufur (Qs.
Ibrahim : 34)
Sangat kufur
(Qs. Asy-Syura : 48)
Zalim dan bodoh (Qs.
Al-Ahzab : 72)
Kufur nikmat
(Qs. Az-Zukhruf : 48)
Nyata kufur (Qs.
Az-Zukhruf : 15)
Berkeluh kesah
dan kikir (Qs. Al-Ma’arij : 19-20)
Berdosa/kufur (Qs.
An-Naba : 24)
Merugi (Qs. At-takasur
:2)
Sikap
dan perilaku yang tampil dalam bentuk-bentuk sebagaimana yang dikemukakan di
atas merupakan penyimpangan dari perkembangan fitrah yang telah diberikan Allah
kepada setiap manusia sejak dari lahir ke dunia. Hal yang demikian dapat
terjadi karena kesalahan pendidikan dan bimbingan yang diberikan sebelumnya,
disamping godaan setan yang memang diperkenankan Allah untuk menggoda manusia
yang tidak kuat imannya.
Dalam
kondisi penyimpangan dari fitrah beragama yang sedemikian itu, maka individu
akan menemukan dirinya terlepas dari hubungannya dengan Allah meskipun hubungan
dengan manusia tetap berjalan baik. Namun
Adapula individu yang terlepas hubungannya dengan manusia lainnya, meskipun
hubungannya dengan Allah tetap terjalin. Dan bahkan kita menemukan pula
individu yang sama sekali tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, manusia dan alam
semesta.Dalam kondisi hubungan yang terputus baik dengan Allah maupun degan
manusia lainnya, alam semesta dan manusia, individu tersebut aklan merasa
terombang-ambing dalam kesendiriaannya. Pada saat itulah diperlukan konseling
islami yang berfungsi untuk menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah
beragama tersebut sehingga individu kembali sadar akan eksistensinya sebagai
khalifah di muka bumi yang bergfungsi untuk menyembah Allah swt. Sehingga ia
akhirnya menyadari peranannya sebagai khalifah di muka bumi sehingga akhirnya
tercipta hubungan yang baik antara manusia dengan Allah dan alam semesta.[8]
Selain
itu ada juga problem yang bersumber dari adanya sikap keagamaan yang menyimpang
misalnya sikap kurang toleran, fanatisme, fundamentalistis. Seseorang atau
kelompok penganut agama suatu agama mungkin saja bersikap kurang toleran
terhadap agama lain, ataupun aliran lain yang berbeda dari agama yang
dianutnya, demikian juga fanatik yang menyebabakan seseorang atau kelompok
beranggapan bahwa hanya agama yang dipeluknya yang paling benar. Selain itu
dapat pula terjadi sikap fundamentalis
berupa sikap menentang terhadap agama yang berbeda dengan agama yang mereka
anut.
Masalah
yang menyangkut yang sikap keagamaan ini umumnya tergantung hubungan persepsi
seseorang mengenai kepercayaan dan
keyakinan. Kepercayaan dan keyakinan merupakan hal yang abstrak sehingga secara
empirik sulit dibuktikan secara nyata
mengenai kebenarannya. Oleh karena itu pengeruh yang ditimbulkannya terhadap
seseorang cenderung berwujud pengaruh psikologis
c.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Terjadinya masalah Dalam Keagamaan
1.
Teori stimulus dan respons, teori ini memandang manusia
sebagai organisme menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar menurut
teori ini ada tiga variabel yang
mempengaruhi teejadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan.
Mengacu kepada teori ini, jika seseorang atau kelompok memiliki perhatian
terhadap sesuatu objek dan memandang objek dimaksud serta menerimanya, maka
akan terjadi perubahan sikap. Objek itu sendiri harus difungsikan sebagai
stimulus agar data merespon perhatian, pengertian serta penerimaan oleh
seseorang atau kelompok. Jadi perubahan sikap tergantung kepada lingkungan
untuk menciptakan stimulus yang dapat menimbulkan reaksi dalam bentuk respons.
2.
Yaitu teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap
dari pendekatan psikologi social. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan
oleh, faktor internal dan eksternal. Faktor internal 1). Persepsi sosial 2) posisi
sosial dan proses belajar sosial. Faktor Eksternal 1). faktor penguat 2)
komunikasi persuasif 3) harapan yang diinginkan. Perubahan sikap menurut teori
ini ditentukan oleh keputusan-keputusan social sebagai hasil interaksi faktor
internal dan eksternal
3.
Teori konsistensi, menurut teori ini perubahan sikap
lebih ditentukan oleh factor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan sikap
dan perbuatan. Yaitu perubahan sikap merupakan proses yang terjadi pada diri
seseorang dalam upaya untuk mendapatkan keseimbangan antara sikap dan
perbuatan. Dalam kehidupan keagamaan barangkali
perubahan sikap ini berhubungan dengan konversi agama (perpindahan
agama).[9]
Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu hari
Abu Bakar berjalan bersama Rasulullah saw. Ditengah jalan tiba-tiba Abu Bakar
dihadang oleh seseorang dan dicaci-maki. Abu Bakar merasa tidak kenal dan tidak bersalah sehingga
dia diam saja sambil tersenyum-senyum. Abu Bakar bertambah bingaung lagi ketika melihat Rasullah
saw ikut tersenyum. Setelah orang itu agak lama melemparkan kata-kata cacian, Abu Bakar menjawab
kelancangan orang tersebut. Ketika Abu Bakar membalas orang tersebut, Rasulullah berhenti
tersenyum dan terus pergi.[10]
Abu
Bakar merasa penasaran akan sikap Rasulullah keesokan
harinya, Abu Bakar bertanya pada beliau, mengapa Rasulullah tersenyum ketika orang itu mencaci maki
dirinya yang tidak bersaalah ? mengapa Rasulullah pergi ketika dirinya menjawab ? Rasulullahpun menjawab,
“ketika engkau tersenyum mendengarkan fitnah dan caci maki tadi. Engkau
menerimanya dengan lapang karena engkau tidak bersalah. Aku pun tersenyum
karena melihat malaikat sibuk memindakan catatan amal kebajikan orang itu ke
dalam dirimu sedangkan catatan kesalahanmu dipindahkan ke orang itu”.
Kisah Abu Bakar mengajarkan kita untuk bersabar dalam
beragama, dalam menghadapi problema keagaaman jika kita merasa benar, tidak
perlu takut akan kritik, kecaman, dan fitnah orang. Allah Maha Tahu siapa yang
benar dan siapa yang salah. Lebih dari itu, islam adalah agama yang benar dan
agama rahmatan lil alamin sehingga kita harus menyakini kebenaran islam dan
bersabar dalam menghadapi problem keagamaan.
BAB
III
KESIMPULAN
Setiap
orang menurut Islam, pada dasarnya telah dikaruniai kecenderungan untuk
bertauhid, mengesakan Tuhan, dalam hal ini Allah SWT. Tegasnya, dalam setiap
diri manusia ada kecenderungan untuk meyakini adanya Allah SWT dan beribadah
kepadaNya. Dalam istilah Al-Qur’an kecenderungan yang dimaksud disebut dengan
‘fitrah”.
Islam
mengakui dua hal pokok, yaitu :
- Secara kodrati manusia telah dibekali “naluri” untuk beragama tauhid atau agama Islam.
- Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan naluri tersebut.
2. Problem-Problem dalam Kehidupan
Keagamaan
Apa
yang telah diuraikan diatas sekaligus menunjukkan adanya berbagai problem dalam
kehidupan keagamaan manusia. Problem-problem itu jika dirinci meliputi antara
lain :
- Problem ketidakberagamaan,
- Problem pemilihan agama,
- Problem kegoyahan iman,
- Problem karena perbedaan paham dan pandangan,.
- Problem ketidakpahaman mengenai ajaran agama,
- Problem pelaksanaan ajaran agama, artinya seseorang atau sekelompok individu tidak mampu untuk menjalankan ajaran sebagaimana mestinya karena berbagai sebab.
c.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya masalah
Dalam Keagamaan
1.
Teori stimulus dan respons,
2.
Yaitu teori pertimbangan sosial
TeoriKonsistensi
[1] Aunur
Rahim Faqih, Bimbingan Dan Konseling
Dalam Islam, (Yogyakarta :UII Press, 2004) H. 58)
[2] Ibid h.
58-61
[3]
Bustanuddun Agus, Agama Dalam Kehidupan
Manusia, (Jakarta : Raja Grafindo Press, 2006) h. 3
[6] Hallen
A, Bimbingan & Konseling, (Jakarta:
Ciputat Press, 2005) H. 15-17
[7] Aunur
Rahim Faqih , Op. Cit. h. 61-62
[8] Hallen
A, Op. Cit, h. 16-21
[9] Jalaluddin,
Psikologi Agama, (Jakarta, : Raja
Grafindo Persada, 1996) h. 193-197
[10]
Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama,
(Jakarta : PT. Mizan Publika, 2010) h. 21-22
No comments:
Post a Comment