Thursday, 25 June 2015

makalah bimbingan konseling keagamaan


1. Konsep Kehidupan Keagamaan Menurut Islam
            Setiap orang menurut Islam, pada dasarnya telah dikaruniai kecenderungan untuk bertauhid, mengesakan Tuhan, dalam hal ini Allah SWT. Tegasnya, dalam setiap diri manusia ada kecenderungan untuk meyakini adanya Allah SWT dan beribadah kepadaNya. Dalam istilah Al-Qur’an kecenderungan yang dimaksud disebut dengan ‘fitrah”. Hal ini tercermin dalam ayat Al-Qur’an dibwah ini.[1]
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum : 30)
Dan Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut : Setiap orang yang dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah, setelah itu ayah ibunya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. Maka jika kedua orang tuanya itumuslim, maka anak menjadi seorang muslim. (HR. Muslim)
Dalil kedua dalil naqli diatas, dapat diketahui bahwa secara kodrati manusia memiliki fitrah untuk beriman kepada Allah SWT, tetapi karena faktor “lingkungan” maka fitrah tersebut tidak bisa dikembangkan sebagaimana mestinya, melainkan menyimpang kearah yang lain. Dengan kata lain, Islam mengakui dua hal pokok, yaitu :
  1. Secara kodrati manusia telah dibekali “naluri” untuk beragama tauhid atau agama Islam.
  2. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan naluri tersebut.
Jika apa yang secara naluriah saja bisa berubah karena pengaruh lingkungan, lebih-lebih lagi yang merupakan hasil pengaruh lingkungan. Jelasnya, seseorang yang dalam kehidupannya sudah beragama Islam, bisa saja beralih menjadi kafir. Seseorang yang sudah bertauhid, bisa saja berubah menjadi musyrik. Sebaliknya seseorang yang semula kafir atau musyrik dan sebagainya bisa juga berubah menjadi seorang mukmin dan muslim. Namun demikian, pengaruh lingkungan (pendidikan dan lain sebagainya) pun tidaklah mutlak, sebagian tergantung pula pada diri orang yang bersangkutan, seperti yang dilukiskan dalam ayat berikut :
$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qムÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ ¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøŠn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÏÈ zNtFyz ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4n?tãur öNÎgÏèôJy ( #n?tãur öNÏd̍»|Áö/r& ×ouq»t±Ïî ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOŠÏàtã ÇÐÈ z`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)tƒ $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ̍ÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ šcqããÏ»sƒä ©!$# tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä $tBur šcqããyøƒs HwÎ) öNßg|¡àÿRr& $tBur tbráãèô±o ÇÒÈ  


Artinya :
1.  Alif laam miin.
2.  Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
3.  (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.
4.  Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
5.  Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
6.  Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
7.  Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat.
8.  Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
9.  Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
Dari ayat-ayat diatas, tampak jelas bahwa dalam segi kehidupan keagamaan, banyak problem yang dihadapi seseorang, baik yang telah beragama maupun yang belum. Yang belum beragama kerap susah untuk menentukan akan memeluk agama yang mana. Yang sudah beragama juga sering tergoyahkan ibadahnya dengan berbagai hal dari dalam maupun dari luar dirinya.
* Èb#x»yd Èb$yJóÁyz (#qßJ|ÁtG÷z$# Îû öNÍkÍh5u ( tûïÏ%©!$$sù (#rãxÿŸ2 ôMyèÏeÜè% öNçlm; Ò>$uŠÏO `ÏiB 9$¯R =|Áム`ÏB É-öqsù ãNÍkŝrâäâ ãNÏJptø:$# ÇÊÒÈ
Artinya :
Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.(Q.S. Al-Hajj : 19)
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ÎŽtIô±tƒ uqôgs9 Ï]ƒÏysø9$# ¨@ÅÒãÏ9 `tã È@Î6y «!$# ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ $ydxÏ­Gtƒur #·râèd 4 y7Í´¯»s9'ré& öNçlm; Ò>#xtã ×ûüÎgB ÇÏÈ #sŒÎ)ur 4n?÷Gè? Ïmøn=tã $oYçG»tƒ#uä 4¯<ur #ZŽÉ9ò6tGó¡ãB br(x. óO©9 $yg÷èyJó¡o ¨br(x. þÎû ÏmøtRèŒé& #\ø%ur ( çn÷ŽÅe³t6sù A>#xyèÎ/ AOŠÏ9r& ÇÐÈ
Artinya :
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.(Q.S. Luqman : 6-7)
tA$s%ur ß`»sÜø¤±9$# $£Js9 zÓÅÓè% ãøBF{$# žcÎ) ©!$# öNà2ytãur yôãur Èd,ptø:$# ö/ä3?tãurur öNà6çFøÿn=÷zr'sù ( $tBur tb%x. uÍ< Nä3øn=tæ `ÏiB ?`»sÜù=ß HwÎ) br& ÷Lälè?öqtãyŠ óOçGö6yftGó$$sù Í< ( Ÿxsù ÎTqãBqè=s? (#þqãBqä9ur Nà6|¡àÿRr& ( !$¨B O$tRr& öNà6ÅzÎŽóÇßJÎ/ !$tBur OçFRr&  ÅÎŽóÇßJÎ/ ( ÎoTÎ) ßNöxÿŸ2 !$yJÎ/ ÈbqßJçGò2uŽõ°r& `ÏB ã@ö7s% 3 ¨bÎ) šúüÏJÎ=»©à9$# öNßgs9 ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇËËÈ
Artinya :
Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) Telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah Telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun Telah menjanjikan kepadamu tetapi Aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) Aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca Aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya Aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan Aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Q.S. Ibrahim : 22)[2]
Beragama sebagai gejala universal masyarakat manusia juga diakui oleh Bergson (1859-1941) pemikir Prancis. Ia menulis bahwa kita menemukan masyarakat tanpa sains, seni dan filsafat, tetapi tidak pernah ada masyarakat tanpa agama.
Kalau ditelusuri lebih dalam lagi, manusia tidak terdiri dari otak dan otot saja. Dalam diri manusia ada hati yang butuh kepada keyakinan dan pegangan. Tanpa adanya keyakinan dan kepercayaan, manusia akan hidup terombang-ambing dan berada dalam kebingunang terus menerus.[3]
Islam menyebut bahwa melalui hatinya manusia menemukan kesadaran ketuhanannya yang nantinya akan mempunyai segi konsekuensial pada kesadaran moral dan sosialnya. Kesadaran yang disebut ketakwaan ini tumbuh dalam hati; sebaliknya dosa dan kekafiran juga berkembang dalam hati.
Ada sebuah ungkapan yang dikenal di kalangan orang-orang kerohanian, bahwa di dalam diri manusia ada “ruang kosong” yang harus kita isi dengan hal-hal yang baik. Jika kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, maka ruang kosong itu, otomatis akan diisi dengan hal-hal yang buruk. Ibarat sebuah roda, ruang kosong itu adalah yang menjadikannya sebagai roda. Metafor ini bisa dipakai untuk manusia: ruang kosong itulah yang menjadikan kita berarti secara spiritual sebagai manusia. Itulah: suara hati, atau hati nurani.
Lawan dari fitrah ini, adalah dosa. Apa itu dosa? Al-Qur’an menyebut orang yang berdosa itu sebagai zhâlim –yang sudah menjadi bahasa Indonesia, zalim, lalim-- dan sering diterjemahkan dengan arti aniaya. Secara harafiah, zhâlim artinya orang yang menjadi gelap.  Dosa dalam bahasa Arab, zhulmun, kegelapan, artinya membuat hati yang gelap (suara hati yang tertutup).  Kalau seseorang banyak berdosa, maka hati (suara hati)-nya tidak lagi bersifat nurani (bersifat cahaya)[4]
Ironisnya, banyak di antara kita yang melupakan fitrah insaniyah (kemanusiaan) kita. Sebagian besar kita justru dipengaruhi, bahkan dikuasai oleh nafsu. Kita menjadikan nafsu sebagai ilah (tuhan) dalam kehidupan ini. Padahal Allah SWT secara tegas mengecam para budak ‘nafsu’ dengan firman-Nya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.” (Q.S. Al-Furqan: 43-44)
Betapa nista dan hinanya gelar yang disematkan Allah SWT kepada para pemuja nafsu. Mereka diibaratkan seperti binatang, bahkan jauh lebih hina dari binatang tersebut. Dan jelas, tempat yang telah disiapkan bagi mereka adalah neraka Jahannam (Q. S. Al-A’raf: 179)
Bagi manusia yang masih sadar akan eksistensi kemanusiaannya, tentu ia tidak mau direndahkan derajatnya, ia akan mempertahankan fitrah kemanusiaannya. Bahkan, ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat serta kualitas kemanusiaannya. Tetapi bagi mereka yang telah dibutakan mata hatinya oleh dekapan nafsu, ia akan terlena dan terbuai, tidak memedulikan lagi fitrah kemanusiaannya yang suci. Ia akan terlelap dalam bisikan nafsu, sampai akhirnya maut datang menjemputnya.[5]
Sebagaimana sudah diketahui bahwa islam memandang bahwa pada hakikatnya manusia itu adalah makhluk Allah yang diciptakan sebagai khalifah di bumi untuk mengabdi kepadaNya,
Istilah menyembah (mengabdi) kepada Allah mengandung arti luas. Dengan kata lain istilah menyembah itu bukan hanya mengandung pengertian melaksanakan upacara ritual keagamaan saja, seperti shalat, puasa, zakat, berkorban, haji dan sebagainya, tetapi lebih jauh dan lebih luas dari itu. Menyembahap dalam pengertian yang lebih luas itu adalah bahwa seluruh aktivitas dan tingkah laku yang dilaksanakan seseorang dalam kehidupannya semata-mata mencari keridhaan Allah dalam setiap ibadah.
            Menurut konsepsi islam manusia lahir ke dunia dengan dibekali fitrah beragama.
            Hasan Langgulung mengatakan bahwa fitrah yang diberikan Allah swt kepada manusia itu adalah berupa kebolehan atau potensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan yang disebut asmaul husna.
Untuk mengembangkan potensi atau fitrah tersebut, Allah swt juga melengkapi manusia dengan sarana/alat, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an An-Nahl :78 yang artinya : “Dan Alah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam kedaa tidak mengetahui sesuatu apapun dan dia member kamu pendengaran, penglihatan danhati agar kamu besyukur”.
Jadi fitrah beragama dan sarana/alat untuk mengembangkan fitrah tersebut (yakni pendengaran, penglihatan dan hati) merupakan faktor potensi internal yang telah diberikan Allah swt kepada hambanya yang baru lahir agar ia dapat mengembangkan tugasnya sesuai dengan tujuan penciptakan manusia di muka bumi.
Tidak cukup dengan factor potensi internal yang berupa fitrah beragama sarana/alat pengembangannya saja, tetapi dengan Maha RahmanNya, Allah swt masih melengkapi manusia dengan syariat agama islam, yang materinya tersimpul dalam Al-Qur’an dan hadits. Al-Qur’an dan hadits berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia.
Al-Qur’an dan hadits yang berisikan pedoman tentang sikap dan perilaku yang diridhaiNya merupakan factor potensi eksternal yang akan mempengaruhi perkembangan potensi fitrah beragama yang telah dibawa manusia sejak lahir ke dunia.
            Dari apa yang dikemukkan di atas maka dapat diambil kesimpulan bimbingan konseling islam membantu mengarahkan manisia agar dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terandung di dalam Al-Qur’an dan hadits kedalam dirinya, sehingga dia dapat hidup selaras sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits. Bila internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits itu telah tercapai dan fitrah manusia beragama telah berkembang maka indivudu tersebut dapat menciptakan hubungan yang baik dengan Allah swt, manusia dan alam semesta sebagai manifestasi dari peranannya sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus juga berfungsi untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah swt.[6]

2. Problem-Problem dalam Kehidupan Keagamaan
            Apa yang telah diuraikan diatas sekaligus menunjukkan adanya berbagai problem dalam kehidupan keagamaan manusia. Problem-problem itu jika dirinci meliputi antara lain :
  1. Problem ketidakberagamaan, artinya seseorang atau kelompok individu tidak atau belum beragama dan berkehendak untuk beragama merasakan kesulitan untuk memeluk atau menganut sesuatu agama karena belum mampu meyakinkan diri dengan agama mana yang paling tepat untuk dianut.
  2. Problem pemilihan agama, artinya seseorang atau kelompok individu yang belum beragma dan berkehendak untuk beragama yang merasakan kesulitan untuk memeluk atau menganut sesuatu agama karena belum mampu meyakinkan diri agama mana yang paling tepat untuk dianut.
  3. Problem kegoyahan iman, artinya seseorang atau sekelompok individu yang senantiasa goyah dalam keimanannya, sehingga ada kecenderungan disuatu saat untuk mengikuti agama yang satu, dan pada lain kali berkeinginan untuk mengikuti agama yang lain lagi.
  4. Problem karena perbedaan paham dan pandangan, artinya seseorang atau sekelompok individu menderita konflik batin karena mendapatkan informasi yang bertentangan mengenai keimanan dan ubudiyah yang menyebabkannya sulit untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan.
  5. Problem ketidakpahaman mengenai ajaran agama, artinya seseorang atau sekelompok individu melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang didasari atau tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain, karena tidak memahami secara penuh ajaran agama.
  6. Problem pelaksanaan ajaran agama, artinya seseorang atau sekelompok individu tidak mampu untuk menjalankan ajaran sebagaimana mestinya karena berbagai sebab.
Mengingat banyaknya problem yang bisa dihadapi seseorang dalam kehidupan keagamannnya, maka jelaslah bahwa bimbingan dan konseling keagamaan islami sangat diperlukan untuk membantunya mencegah atau mengatasi problem-problem keagamaan yang dimaksud.[7]
Dan Problem keagamaan yang lain nya contohnya : Dalam kehidupan sehari-hari  terutama dalam menghadapi era globalisasi dewasa ini, ditemukan individu-individu yang sibuk dengan urusan dunia, materialistik, individualistik dan lain sebagianya sehingga melahirkan perilaku dan sikap sombong, kikir, zalim, bodoh dan lain sebagainya yang disinyalir oleh ayat Al-Qur’an seperti :
Sifat sombong (Qs. Huud : 10)
Zalim dan kufur (Qs. Ibrahim : 34)
Sangat kufur (Qs. Asy-Syura : 48)
Zalim dan bodoh (Qs.  Al-Ahzab : 72)
Kufur nikmat (Qs. Az-Zukhruf : 48)
Nyata kufur (Qs. Az-Zukhruf : 15)
Berkeluh kesah dan kikir (Qs. Al-Ma’arij : 19-20)
Berdosa/kufur (Qs. An-Naba : 24)
Merugi (Qs. At-takasur :2)
Sikap dan perilaku yang tampil dalam bentuk-bentuk sebagaimana yang dikemukakan di atas merupakan penyimpangan dari perkembangan fitrah yang telah diberikan Allah kepada setiap manusia sejak dari lahir ke dunia. Hal yang demikian dapat terjadi karena kesalahan pendidikan dan bimbingan yang diberikan sebelumnya, disamping godaan setan yang memang diperkenankan Allah untuk menggoda manusia yang tidak kuat imannya.
Dalam kondisi penyimpangan dari fitrah beragama yang sedemikian itu, maka individu akan menemukan dirinya terlepas dari hubungannya dengan Allah meskipun hubungan dengan manusia tetap berjalan baik.  Namun Adapula individu yang terlepas hubungannya dengan manusia lainnya, meskipun hubungannya dengan Allah tetap terjalin. Dan bahkan kita menemukan pula individu yang sama sekali tidak mempunyai hubungan  yang baik dengan Allah, manusia dan alam semesta.Dalam kondisi hubungan yang terputus baik dengan Allah maupun degan manusia lainnya, alam semesta dan manusia, individu tersebut aklan merasa terombang-ambing dalam kesendiriaannya. Pada saat itulah diperlukan konseling islami yang berfungsi untuk menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama tersebut sehingga individu kembali sadar akan eksistensinya sebagai khalifah di muka bumi yang bergfungsi  untuk menyembah Allah swt. Sehingga ia akhirnya menyadari peranannya sebagai khalifah di muka bumi sehingga akhirnya tercipta hubungan yang baik antara manusia dengan Allah dan alam  semesta.[8]
Selain itu ada juga problem yang bersumber dari adanya sikap keagamaan yang menyimpang misalnya sikap kurang toleran, fanatisme, fundamentalistis. Seseorang atau kelompok penganut agama suatu agama mungkin saja bersikap kurang toleran terhadap agama lain, ataupun aliran lain yang berbeda dari agama yang dianutnya, demikian juga fanatik yang menyebabakan seseorang atau kelompok beranggapan bahwa hanya agama yang dipeluknya yang paling benar. Selain itu dapat pula terjadi  sikap fundamentalis berupa sikap menentang terhadap agama yang berbeda dengan agama yang mereka anut.
Masalah yang menyangkut yang sikap keagamaan ini umumnya tergantung hubungan persepsi seseorang mengenai  kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan dan keyakinan merupakan hal yang abstrak sehingga secara empirik sulit dibuktikan  secara nyata mengenai kebenarannya. Oleh karena itu pengeruh yang ditimbulkannya terhadap seseorang cenderung berwujud pengaruh psikologis
c.                   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya masalah Dalam Keagamaan
1.      Teori stimulus dan respons, teori ini memandang manusia sebagai organisme menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar menurut teori ini  ada tiga variabel yang mempengaruhi teejadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan. Mengacu kepada teori ini, jika seseorang atau kelompok memiliki perhatian terhadap sesuatu objek dan memandang objek dimaksud serta menerimanya, maka akan terjadi perubahan sikap. Objek itu sendiri harus difungsikan sebagai stimulus agar data merespon perhatian, pengertian serta penerimaan oleh seseorang atau kelompok. Jadi perubahan sikap tergantung kepada lingkungan untuk menciptakan stimulus yang dapat menimbulkan reaksi dalam bentuk respons.
2.      Yaitu teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi social. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh, faktor internal dan eksternal. Faktor internal 1). Persepsi sosial 2) posisi sosial dan proses belajar sosial. Faktor Eksternal 1). faktor penguat 2) komunikasi persuasif 3) harapan yang diinginkan. Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan social sebagai hasil interaksi faktor internal dan eksternal
3.      Teori konsistensi, menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh factor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan sikap dan perbuatan. Yaitu perubahan sikap merupakan proses yang terjadi pada diri seseorang dalam upaya untuk mendapatkan keseimbangan antara sikap dan perbuatan. Dalam kehidupan keagamaan barangkali  perubahan sikap ini berhubungan dengan konversi agama (perpindahan agama).[9]
Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu hari Abu Bakar berjalan bersama Rasulullah saw. Ditengah jalan tiba-tiba Abu Bakar dihadang oleh seseorang dan dicaci-maki. Abu Bakar merasa tidak kenal dan tidak bersalah sehingga dia diam saja sambil tersenyum-senyum. Abu Bakar bertambah bingaung lagi ketika melihat Rasullah saw ikut tersenyum. Setelah orang itu agak lama melemparkan kata-kata cacian, Abu Bakar menjawab kelancangan orang tersebut. Ketika Abu Bakar membalas orang tersebut, Rasulullah berhenti tersenyum dan terus pergi.[10]
Abu Bakar merasa penasaran akan sikap Rasulullah keesokan harinya, Abu Bakar bertanya pada beliau, mengapa Rasulullah tersenyum ketika orang itu mencaci maki dirinya yang tidak bersaalah ? mengapa Rasulullah pergi ketika dirinya menjawab ? Rasulullahpun menjawab, “ketika engkau tersenyum mendengarkan fitnah dan caci maki tadi. Engkau menerimanya dengan lapang karena engkau tidak bersalah. Aku pun tersenyum karena melihat malaikat sibuk memindakan catatan amal kebajikan orang itu ke dalam dirimu sedangkan catatan kesalahanmu dipindahkan ke orang itu”.
Kisah Abu Bakar mengajarkan kita untuk bersabar dalam beragama, dalam menghadapi problema keagaaman jika kita merasa benar, tidak perlu takut akan kritik, kecaman, dan fitnah orang. Allah Maha Tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Lebih dari itu, islam adalah agama yang benar dan agama rahmatan lil alamin sehingga kita harus menyakini kebenaran islam dan bersabar dalam menghadapi problem keagamaan.

BAB III
KESIMPULAN

Setiap orang menurut Islam, pada dasarnya telah dikaruniai kecenderungan untuk bertauhid, mengesakan Tuhan, dalam hal ini Allah SWT. Tegasnya, dalam setiap diri manusia ada kecenderungan untuk meyakini adanya Allah SWT dan beribadah kepadaNya. Dalam istilah Al-Qur’an kecenderungan yang dimaksud disebut dengan ‘fitrah”.
Islam mengakui dua hal pokok, yaitu :
  1. Secara kodrati manusia telah dibekali “naluri” untuk beragama tauhid atau agama Islam.
  2. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan naluri tersebut.
2. Problem-Problem dalam Kehidupan Keagamaan
            Apa yang telah diuraikan diatas sekaligus menunjukkan adanya berbagai problem dalam kehidupan keagamaan manusia. Problem-problem itu jika dirinci meliputi antara lain :
  1. Problem ketidakberagamaan,
  2. Problem pemilihan agama,
  3. Problem kegoyahan iman,
  4. Problem karena perbedaan paham dan pandangan,.
  5. Problem ketidakpahaman mengenai ajaran agama,
  6. Problem pelaksanaan ajaran agama, artinya seseorang atau sekelompok individu tidak mampu untuk menjalankan ajaran sebagaimana mestinya karena berbagai sebab.
c.                                           Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya masalah Dalam Keagamaan
1.      Teori stimulus dan respons,
2.      Yaitu teori pertimbangan sosial
TeoriKonsistensi


[1] Aunur Rahim Faqih, Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam, (Yogyakarta :UII Press, 2004) H. 58)
[2] Ibid h. 58-61
[3] Bustanuddun Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta : Raja Grafindo Press, 2006)  h. 3
[6] Hallen A, Bimbingan & Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2005) H. 15-17
[7] Aunur Rahim Faqih , Op. Cit. h. 61-62
[8] Hallen A, Op. Cit, h. 16-21
[9] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta, : Raja Grafindo Persada, 1996) h. 193-197
[10] Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama, (Jakarta : PT. Mizan Publika, 2010) h. 21-22

No comments:

Post a Comment