Thursday, 25 June 2015

makalah kepribadiaan muslim


A.                                          Pengertian Kepribadian Muslim

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap sesesorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang lain atau bangsa lain.[1] Sedangkan muslim adalah penganut agama islam.[2]
Kepribadian dalam bahasa Inggris disebut dengan personality. Akar kata personality berasal dari bahasa latin persona yang berarti topeng. Yaitu yang biasa dipakai oleh aktor drama atau sandiwara.[3]
Menurut Allfort yang dikutip oleh Sumadi Suryabrata menyatakan bahwa karekter itu sama dengan kepribadian, tetapi dipandang dari sudut “penilaian” baik- buruk, senang-benci. Sedang istilah kepribadian dipandang dari sudut menggambaran manusia apa adanya tanpa disertai penilaian.[4]
Menurut Raymond Berard Catell kepribadian adalah sesuatu yang memungkinkan prediksi tantang apa yang akan dikerjakan seseorang dalam situasi tertentu. Kepribadian mencakup semua tingkah laku individu, baik yang terbuka maupun tersembunyi.[5]
Dalam islam istilah kepribadian dikenal dengan al-syakshiyah. syakshiyah berasal dari kata syakh yang berarti pribadi. Yang kata ini kemudian diberi nisbah sehingga menjadi kata benda buatan yang berarti “kepribadian”.
Secara etimologi imam Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia memiliki citra lahiriyah yang disebut dngan khalq, dan citra lahiriyah yang disebut dengan khulq. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedangkan khulq secara etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.
       Muslim berarti orang islam, kata islam seakar dengan kata al-salam, al-salm, dan al-silm yang berarti menyerahkan diri, kepasrahan, ketundukan  dan kepatuhan. Kata al-salm, dan al-silm yang berarti damai atau aman dan kata al-salm  al-salam, dan al-salamah yang berarti bersih dan selamat dari cacat, baik lahir maupun batin. Orang yang berislam adalah orang yang menyerah,tunduk dan patuh dalam melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada gilirannya akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian hidupnya di dunia dan di akherat.  Firman Allah swt :
4n?t/ ô`tB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC ÿ¼ã&s#sù ¼çnãô_r& yYÏã ¾ÏmÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah : 112)[6]

B.                 Kepribadian Muslim Menurut Al-Qur’an dan Hadits
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1.      Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam” (QS. Al-An-Am :162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2.      Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3.      Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. Al-Qalam :4).
4.      Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah “. (HR. Muslim)
5.      Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al-Baqarah:219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS 39:9)
6.      Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)” (HR. Hakim)
7.      Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8.      Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9.      Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10.  Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir).
Menurut Abdul Mujib, Kepribadian muslim dilihat dari aspek lima rukun islam yaitu :[7]
1.         Kepribadian Syahadatain
Syahadatain Berasal dari kata “syahida” yang berarti bersaksi, menghadiri, melihat, mengetahui dan bersumpah.
Kalimat syahadat terdiri atas dua kesaksian. Kesaksian pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah ,sedangkan yang kedua berkatian dengan kesaksian bahwa nabi Muhammad saw adalah utusan Allah. kedua kesaksian ini tidak boleh diabaikan salah satunya, sebab jika  diabaikan maka menjadi ketidakbermaknaan salah satunya. syahadat pertama merupakan aktualisasi dari tauhud Uluhiyah  (ketuhanan).  Sedang syahadat rasul memiliki arti bahwa nabi Muhammad saw adalah rasul Allah terakhir atau penutup (khatim).yang ajarannya telah disempurnakan. Firman Allah swt :
ƒ4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4
pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah : 3)

Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah mengucapkan kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta menyadari atas segala konsekuensi persaksian tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domain kognitif dengan pengucapan dua kalimat verbal; domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus; domain psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan sebagai konsekuensi dari persaksian itu.Kepribadian muslim memiliki arti serangkaian perilaku orang/umat islam yang rumusannya digali dari penelitian perilaku kesehariannya. Rumusan kepribadian muslim di sini bersifat induktif-praktis, karena sumbernya dari hasil penelitian terhadap perilaku keseharian orang/umat islam boleh jadi dalam penelitian itu ditemukuan : 1). Pola kepribadian yang ideal, karena kepribadian itu sebagai implementasi dari ajaran agama islam. 2) pola yang menyimpang (anomali), karena yang perilaku yang ditampilkan bertentangan dengan ajaran agamanya, sekalipun dirinya berpredikat muslim. Dalam konteks ini keburukan atau kejahatan perilaku orang/umat islam tidak dapat digeneralisasi bahwa ajaran islam itu buruk atau jahat.[8] 
Bentuk-Bentuk Kepribadian Syahadatain
Kesaksian atas ketuhanan Allah swt. Berimplikasi pada pembentukan kepribadian syahadatain sebagai berikut :
1.      Kepribadadian yang bebas, merdeka dan tidak terbalenggu oleh tuhan-tuhan yang nisbi atau temporer untuk menuju pada lindungan atau naungan Tuhan yang Mutlak lagi Sempurna. Kata tiada tuhan mengandung arti peniadaan (nafi) segala tuhan-tuhan relatif dan temporer, sedang kata tiada Tuhan kecuali Allah mengandung arti penetapan (itsbat) pada Tuhan yang Mutlak dan Sempurna. Penuhan sesuatu selain Allah sama artinya dengan pembelengguan diri dan membatasi kebebasan manusia sebagi makhluk yang mulia. Firman Allah swt :
2.      Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$#

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

2.  Kepribadian yang berpengetahuan secara pasti karena kepercayaan terhadap Tuhan  merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam kehidupan manusia jika kepercayaan itu hanya dengan dugaan (zhann) bukan berdasarkan pengetahuan yang akurat maka dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kehancuran. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. AL-Isra : 36)
3.      Kepribadian yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keragu-raguan, segala hidup yang penuh dengan keragu-raguan tidak akan maju dan sering gagal di tengah jalan, sebab ia tidak memiliki motivasi untuk menggpai harapan dan tujuannya. Dengan keyakinan terhadap Allah maka kehidupan ini akan ditempuh dengan optimis, bergairah dan berusaha menempuh sunahnya.(Al-Hujurat : 15)
4.      Kepribadian yang menerima (qabul) segala konsekuensi akibat dari perkataannya dan persaksiannya. Perbedaan antara ucapan dan perilaku  menunjukan adanya kemunafikan dalam diri individu, sebaliknya konsistensi antara ucapan dan perbuatan menunjukan integrasi diri yang baik. (QS.As-shaffat :35-36)
5.      Kepribadian yang tunduk dan patuh (inqiyad) terhadap penciptanya. Individu yang tunduk dan patuh terhadap tuhan tidak beberti memiliki kematangan jiwa atau kedewasaan diri, sebab ia dapat menempatkan dirinya pada posisi yang sebenarnya. Hal ini tentunya berbeda dengan apa dikemukakan yang oleh Errich Fromm bahwa ketundukan dalam beragama menunjukkan kekanak-kanakan, justru kebebasan yang tak tekendali merupakan perwujudan dari kepribadian yang tak tahu diri (QS.Luqman : 31)
6.      Kepribadian yang jujur (sidq) sebab kesaksian menunjuk kepada ucapan dan tindakan sesuai apa adanya. Kebohongan dalam kesaksian akan menjerumuskan diri individu pada kehancuran dan keresahan, sebab hidupnya dikejar-kejar rasa berdosa atau rasa bersalah.(Al-Baqarah: 8-10)
7.      Kepribadian yang tulus (ikhlas) dimana ia berperilaku  bukan semata-mata karena pengawasan orang lain atau sekedar mencari perhatian. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh semata-mata karena perintah dan melaksanakan kewajiban. Kerja yang tidak tulus berakibat pada kualitas kinerja yang musiman dimana jika menguntungkan diri sendiri (narcisisme) ia bekerja dengan baik, tetapi jika tidak menguntungkannya maka ia bekerja seenaknya. (Al-Bayyinah:5)
8.      Kepribadian yang penuh cinta(mahabbah), dimana cinta kepada Tunhannya berarti cinta kepada diri sendiri, juga cinta kepada orang yang cinta kepada Allah. (Al- Baqarah: 165)
Sedangkan kesaksian akan Rasul Muhammad saw akan berimplikasi pada pembentukan kepribadian syahadatain sebagai berikut :
1.      Kepribadian yang seimbang dalam menilai dan mengikuti perilaku seseorang, meskipun seseorang yang diikuti tersebut memiliki keistimewaan khusus.  Kepribadian itu disebabkan karena kesaksian atas kerasulan Muhammad saw tidak boleh dilebihkan (ifrath) atau diremehan (tafrith). Muhammad merupakan panutan (qudwah) yang patut ditiru kepribadiannya. (Al-Kahfi: 110)
2.      Kepribadian yang mengikuti pribadi yang agung. (AlQalam : 4) membenarkan perkatannya yang dapat menyelamatkan, mencintai pribadi yang suci melebihi cinta pada diri, keluarga harta dan manusia lainnya,[9]
2.         Kepribadian Musalli
Musalli adalah orang yang shalat. Shalat secara etimologi berarti memohon (do’a)  dengan baik, kepribadian musalli adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tetib dan khusyu’ sehingga ia mendpatkan hikmah dari apa yang dikerjakan. pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang tekun shalat memiliki keperibadian yang lebih shaleh dari pada orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya. Terlebih lagi dinyatakan dalam sebuah hadits bahwa shalat merupakan cerminan tingkah laku individu. Sabda nabi saw : sesungguhnya perilaku hambayang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah shalatnya. Jika slaatnya baik maka ia beruntung dan selamat, namun apabila shalatnya rusaakk berantakan maka ia rugu dan menyesal (HR. Turmuzi, Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad)
1.   Dimensi- Dimensi Kepribadian Musalli
1). Dimensi afektif, satu kepribadian musalli yang dibentuk dari pengalaman afektif shalat, sehingga menimbulkan perasaan dan daya emosi yang khas dan kuat. Kepribadian ini didapat dari rukun qalbiyyah shalat seperti niat dan kekhusyuaan.
2).  Dimensi kognitif, satu kepribadian musalli yang dibentuk dari pengalaman kognitif shalat, sehingga menimbulkan efek pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar biasa. Kepribadian ini didapat dari rukun qawliyyah shalat, seperti mengucapkan takbir, surat al-fatehah,tasyahud, shalawat nabi dan salam
3).  Dimensi Psikomotorik, satu kepribadian musalli yang dibentuk dari pengalaman Psikomotorik shalat, sehingga menimbulkan kemauan, gerak dan daya karsa yang mantap. Kepribadian ini didapat dari rukun fi’liyyah shalat seperti, berdiri, ruku’ sujud dan duduk dalam shalat.
Dilihat dari sudut motivasi shaat  maka kepribadian musalli memiliki dua dimensi yaitu :
1.      Dimensi interinsik, satu kepribadian musalli dari kewajiban shalat sendiri tanpa dikaitkan dengan kebutuhannya yaitu shalat wajib lima waktu termasuk shalat sunat rawatib(shalat yang dikerjakan sebelum atau sesudah shalat wajib)
2.      Dimensi ekstrinsik, satu kepribadian musalli dari kebutuhan orang yang shalat. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan sesuatu marangsangnya untuk mekakukan shalat. Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan shalat sunat, misalnya : shalat hajat, didorong oleh keinginan tercapainya hajat atau kebutuhannya, shalat tahajud didorong oleh keinginan memperoleh kedudukan yang tinggi, baik di dunia ataupun di akherat.

Bentuk-Bentuk Kepribadian Musalli

1.      Mendirkan shalat yang diikuti oleh perintah mengeluarkan zakat. Hal ini mengandung arti bahwa kepribadian yang seimbang antara perilaku dengan Allah dan perilaku sosial seperti zakat. artinya semakin baik kualitas shalat maka semakin baik pula interaksi sosialnya.
2.      Perintah kewajiban shalat menggunakan kata iqamah (menunaikan) bukan ada’ (melaksanakan). Hal ini mengandung arti bahwa kepribadian musalli tidak hanya dibentuk secara jadi-jadian atau asal-asalan, sehingga dapat berdiri kokoh dan tegak lurus dalam menjalankan amal shaleh.
3.      sebelum shalat dilakaukan terlebih dahulu membersihkan diri dari segala zat yang berbahaya, seperti minuman keras dan narkoba. Hal ini mengandung arti bahwa bahwa kepribadian musalli adalah kepribadian yang dalam kehidupan sehari-harinya banyak tergantung keada Allah swt dan tidak bergantung kepada yang lain, apalagi bergantung kepada minuman keras atau narkoba. kepribadian musalli juga kepribadian yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi dan fokus dalam melihat sesuatu, sebab dalam shalat disyaratkan untuk mengetahui, memahami dan menghayati apa yang diucapkan.
4.      Shlalat selayaknya dilakukan di mesjid karena mesjid merupakan pusat kegiatan peribadatan. Hal ini mengandung arti bahwa kepribadian musalli merupakan kepribadian yang memiliki pusat atau institusi dalam melakukan aktivitasnya
5.      Shalat merupakan wahana berzikir dan berpikir. Hal ini mengandung arti bahwa kepribadian musalli yang senantiasa mengingat dan menyebut asma Allah dimana saja berada.[10]
3.         Kepribadian Shaim
Shaim adalah orang yang berpuasa. Kepribadian Shaim adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan. Sehingga ia dapat mengendalalikan diri dengan baik. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak mengerjakannya sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya.
Bentuk-Bentuk Kepribadian Shaim
1.                  Puasa sebagai pembentukan pribadi yang sabar, tabah, tahan uji dan mengendalikan diri yang baik dalam mengarungi kehidupan, terutama sabar dalam menjalankan perintah Allah swt. Hadits nabi saw diriwayatkan dari Ibnu Majah dari Abu Hurairah disebutkan bahwa : “puasa itu separuh dari sabar”. Artinya
2.                  Puasa daapt menyebabkan karakter ‘ayd dan faiiz. Dikatakan ‘ayd karena ia tidak memiliki dosa yaitu pada waktu hari raya idul fitri. Dan dikatakan fa’iz karena ia telah dijamain oleh Allah swt akan masuk surga dan diselamatkan dari api neraka.
3.                  Puasa sebagai pembentukan pribadi yang sehat, baik jasmani maupun rohani. Sabda Nabi saw : “Puasalah kalian agar kalian sehat”[11]
4.         Kepribadian Muzzaki
Muzzaki adalah orang yang telah membayar zakat. Zakat secara etimologi berarti berkembang dan bertambah baik secara kuantitas maupun kualitas (keberkahan).  Kepribadian muzzaki adalah kepribadian yang didapat setelah membayar zakat dengan penuh keikhlasan, sehingga ia mendapatkan hikmah dari yang dilakukannya.  Pengertian ini didapat atas asumsi bahwa orang yang membayar zakat memiliki kepribadian yang pandai bergaul, dermawan, terbuka berani berkorban, tidak arogan, memiliki rasa simpati dan kepekaan sosial serta mudah menyesuaikan diri dengan orang lain.
Bentuk-Bentuk Kepribadian Muzzaki
1.                  Kepribadian yang suci dan menjadikan muzzaki pada citra awalnya yang tanpa dosa.
2.                  Kepribadian yang seimbang, dimana individu menyelaraskan aktivitas yang berdimensi vertikal dan horizontal.
3.                  Kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan pribadi lain, sehingga menimbulkan kepekaan sosial. Jiwa Muzzaki merasakan betapa resahnya orang yang hidup kekurangan betapa bingungnya orang yang tidak memiliki uang ketika membutuhkan sesuatu
4.                  Kepribadian yang selamat dari petaka dan fitnah, sebab zakat, infaq dan sadaqah dapat menolak bencana. Sabda nabi saw dari riwayat Bukhari dai Khudaifah : “Seseorang terkena fitnah dari keluarga, harta dan tetangganya dan ftnah itu dapat dihilangkan dengan melakukan shalat, puasa dan sedekah.
5.                  Kepribadian yang kreatif dan produktif untuk memperoleh harta benda yang halal dan mendisribusinnya dengan cara yang halal pula.[12]

5.         Kepribadian Haji
Haji adalah orang yang telah melakukan haji. Kepribadian haji adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan haji yang semata-mata karena allah swt. Sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang ia lakukan. Pengertian ini didapat atas asumsi bahwa orang yang melaksanakan haji memiliki kepribadian yang sabar dalam melintasi bahaya dan cobaan,
Bentuk-bentuk Kepribadian Haji

1.      Kepribadian tauhidi, yaitu kepribadian yang utuh dalam memenuhi panggilan Allah swt yang diwujudkan dalam bacan talbiyah dan menyengaja menuju Ka’bah.
2.      Kepribadian mujahid, yaitu orang yang berperang dan berjuang di jalan Allah bentuk jihadnya yaitu mengeluarkan harta benda untuk melaksankakan haji
3.      Kepribadian yang suci dan fitri, karena dalam ibadah tersebut menghapus nuktah (titik hitam) dalam jiwanya.
4.      Kepribadian yang sukses, karena telah melewati segala rintangan dan halangan yang berat dalam melaksanakan ibadah haji.[13]


B.        Fitrah Sebagai Dasar Kepribadian Muslim
Dalam literatur islam istilah fitrah memiliki makna yang beragam. Hal ini disebabkan pemilihan sudut makna.
Fitrah  diungkapkan dalam Al-Qur’an sebanyak 20 kali yang digelar di dalam 17 surat. Diantara ayat yang memuat fitrah adalah al-Rum : 30 :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$
 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Berdasarkan makna etimologi fitrah berarti “terbukanya sesuatu atau melahirkannya”. Dari makna tersebut maka berkembang menjadi dua pokok pertama, fitrah berarti Al-Insyiqaq atau Al-Syaqq yang berarti Al-Insyisar (pecah atau belah).[14]
Berdasarkan makna nasabi yaitu pengertian yang diambil dari pemahaman beberapa ayat dan hadits nabi dimana kata fitrah  itu berada. Karena masing-masing ayat atau hadits memiliki konteks yang berbeda-beda maka pemaknaan fitrah juga mengalami keragaman.
Petama, fitrah berarti suci (al-Thuhr). Pemaknaan ini didukung oleh hadits  nabi yang artinya :”Setiap anak tidak dilahirkan kecuali dalam kondisi fitrah (suci). maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi atau Musyrik. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Kedua, fitrah berarti Al-Khilqah, Al-Ijad atau Al- Ibda’ (penciptaaan).
Bardasarkan makna terminologi  fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat dalam sistem psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasi dalam bentuk tingkah laku, citra unik ini telah ada sejak awal penciptaan.[15]
Fitrah juga dapat mengandung makna kejiwaan yang didalamnya terdapat potensi dasar dalam beragama yang benar dan lurus (Addien al-qayyim) yaitu islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun atau lingkungan apapun, karena fitrah ini merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam setiap pribadi manusia.
Berdasarkan hadits nabi Muhammad yang menyatakan bahwa setiap bayi dilahirkan atas dasar  fitrah. Syeikh Muhamad Abduh berpendapat bahwa agama islam adalah agama fitrah. Pendapat Muhammad Abduh ini serupa dengan pendapat Abu A’la Al-Maududi yang menyatakan bahwa agama islam adalah identik dengan watak manusia (human nature). Demikian pula pendapat Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa agama islam diturunkan oleh Allah untukmengembangkan watak asli manusia, karena islam adalah agama fitrah.                          
Pengaruh dari luar manusia terhadap fitrah yang memiliki kecenderungan untuk berubah sejalan dengan pengaruh tersebut. Maka dapat kita peroleh petunjuk bahwa fitrah sebagai faktor pembawaaan sejak lahir manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya bahkan dia tidak dapat berkembang sama sekali tanpa adanya pengaruh dari lingkungannya tersebut.[16]
Al-quran melukiskan bagaimana Allah menciptakan manusia dari materi dan ruh. Allah telah membentuk Adam dari tanah kemudian ditiupkan ruh darinya. Allah berfirman :[17]

øŒÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #ZŽ|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ
#sŒÎ*sù ¼çmçG÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ

 (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah".
Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".(QS. 38 :71-72).
a.       Kemampuan dasar untuk beragama islam, dimana faktor iman merupakan intinya beragama manusia. Syeikh Muhamad Abduh, Abu A’la Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama islam
b.      Mawahib (bakat) dan qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah swt.
c.       Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia.
d.      Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak terbatas pada agama islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat didik menjadi beragama Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi, namun tidak dapat dididk menjadi atheis (anti Tuhan)
e.       Fitrah terbuka kepada pengaruh eksternal (lingkungan)
f.       Karakter atau watak manusia merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter terbentuk oleh kekuatan yang terdapat dalam diri manusia, bukan terbentuk karena pengaruh dari luar. Karakter sangat erat hubungannya dengan personalitas (kepribadian) seseorang.
g.      Intuisi yaitu kemampuan manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya kearah perbuatan dalam situasi khusus di luar kesadaran akal pikrannya, namun mengandung makna yang konstuktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Allah kepada orang yang bersih jiwanya.[18]
Selain komponen fitrah yang bersifat khusus dalam berbagai macam kepribadian manusia terdapat pula komponen yang bersifat umum yaitu :
1.      Sugesti, yaitu sikap yang terpengaruh apabila mendapat rangsangan atau dorongan.
2.      Simpati, yaitu sikap ikut merasakan akan keadaan emosi dan makhluk lain dari jenisnya
3.      Imitasi, meniru atau memindahkan kelakuan suatu makhluk kepada makhluk lain yang biasanya dalam bentuk bermacam-macam
4.      Bermain, sikap yang bertujun untuk mencari kesenangan, sedang bila telah meningkat kepada tahap bersungguh-sungguh, maka tujuannya bukan lagi menarik kesenangan tetapi sudah mempunyai tujun lain diluar tujuan itu.[19]
Hadits Rasulullah saw juga menerangkan proses penciptaan manusia dari unsur materi dan ruh. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:”Sesungguhnya salah satu dari kalian telah dikumpulkan proses penciptaannya di dalam perut ibuya selama empat puluh hari. Kemudian selama empat puluh hari ia akan menjadi alaqah (segumpal darah) dan menjadi mudghah (sekerat daging) pada empat puluh hari lagi. Seetelah itu dikirim malaikan untuk meniupkan ruh kedalamnya.
Manusia dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah. Yang dimaksud fitrah adalah agama yang lurus, potensi untuk mengenal dan mentauhidkan allah swt. Cenderung kepada kebenaran dan tidak mengalami penyimpangan. Rasulullah saw bersabda ”Setiap bayi terlahir dalam fitrah. Lantas kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang yahudi, nasrani atau majusi”. Manusia mempunyai potensi untuk mengenal kebenaran dan melakukan amal baik, dan ia juga memiliki potensi untuk terpengaruh kondisi keluarga dan lingkungannya yang tidak positif, sehingga ia menyuimpang dari fitrah asalnya.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah meriwayatkan dari Tuhannya : “Sesunguuhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan memeluk keyakinan yang lurus. Namun mereka didatangai oleh setan sehingga makhluk terkutuk itu memalingkan mereka dari agama mereka. Dengan fitrah yang dibawa sejak lahir manusia mampu membedakan antara benar dan salah, antara yang baik dan yang buruk. Ia juga memiliki kesiapan untuk memilih jalan yang benar dan jalan yang sesat melalui anugrah Allah, yakni berupa kemerdekaan berkehendak. Allah ta’ala telah berfirman :
çm»oY÷ƒyydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ

Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS 90:10)
            Melalui fitrahnya manusia mampu membedakan mana yang halal dan yang haram, serta mulia dan hina. Wabishah bin Ma’bad berkata : “suatu hari aku menemui Rasulullah saw . beliau bertanya. kau datang untuk bertanya kebaikan ? Aku menjawab :”Benar”. Maka Rasulullah saw pun bersabda :”mintalah fatwa pada dirimu sendiri ! kebaikan adalah sesuatu yang dirasakan oleh hati dan jiwa manusia. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang mengusik hati dan menciptakan kebimbangan dalam dada.”
Dengan fitrahnya manusia cenderung berbuat baik dan mencari ketenangan jiwa. Jika ia melakukan perbuatan buruk, perasaannya akan terusik dan menjadi tidak tenang. Dan ia tidak akan suka jika orang lain mengetahuinya. Jiwa manusia akan merasa aman dengan sesuatu yang bisa menimbulkan pujian. Ia tidak akan mau sesuatu yang mengakibatkan celaan. Fitrah semacam ini akan terus tumbuh melalui proses pendidikan yang baik dan akan melemah kalau tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Keimanan merupakan peran vital dalam kehidupan Seorang muslim. Keimanan merupakan sesuatu yang akan mengarahkan dan membentuk perilaku seseorang, baik ketika ia berinteraksi dengan TuhanNya. Keimanan merupakan fondasi yang dijadikan pijakan bagi manusia. Dalam pandangan islam orang yang dianggap paling baik adalah orang yang paling kuat imanya dan takwanya. Dalam kacamata islam, semua ciri yang melekat pada manusia tidak ada artinya. Hanya ketakwaan dan keimanan saja yang akan menjadi pertimbangan untuk menetukan baik buruknya seseorang.[20]


BAB III
KESIMPULAN


Manusia diciptakan dengan penciptaan yang paling sempurna. Dan disamping itu manusia diciptakan dengan segala kelemahan dan ketidakberdayaannya. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian manusia memerlukan orang lain Dalam hidup dan kehidupannya, disamping memerlukan orang lain. Manusia juga sebagai makhluk ketuhanan yang cenderung mencari kebenaran akan siapa Tuhannya. Sehingga ada manusia yang menyembah berhala, roh nenek moyang, dan lain-lain. Untuk itulah Allah mengutus seratus dua puluh empat ribu nabi dan rasul untuk meluruskan keyakinan manusia dan mengenalkan akan adanya Allah swt, Tuhan semesta alam yang wajib disembah.
Fitrah manusia inilah yang menjadi dasar kepribadian muslim. Walau bagaimanpun rusaknya akhlak seseorang, namun dengan hidayah dari Allah dia pada suatu saat nanti akan kembali berakhlak baik kepada Allah dan kepada sesama manusia. Contohnya banyak terjadi di masyarakat, seorag preman yang sering mabuk-mabukan, mencuri, berjudi, sering keluar masuk penjara, dengan hidayah dari Allah. Dia akhirnya bertobat dan merubah akhlak buruknya. Diapun akhirnya menjadi manusia yang taat beribadah kepada Allah dan baik kepada sesamanya.dan juga seseorang yang awalnya nonmuslim dengan hidayah dari Allah maka dia pun mendapatkan agama yang benar yaitu islam.
Dan sudah menjadi fitrah manusia juga untuk sesalu berbuat baik kepada sesamanya dan kepada lingkungannya. Contohnya ketika melihat bencana meletusnya gunung berapi melihat hal itu hati manusia menjadi kasihan. Dan secara spontan hati manusia pun ingin memberikan bantuan sebisanya, baik, berupa materi, pikiran ataupun tenaga. Inilah yang menjadi fitrah bagi setiap manusia walaupun manusia berbeda-beda sifatnya. Namun fitrah dari Allah ini cenderung sama dimiliki oleh setiap manusia.




DAFTAR PUSTAKA

·         Kabry, Abdul Muiz, Jiwa Keberagamaan Membentuk Manusia Seutuhnya, Jakarta :    Kalam Mulia, 1993
·         Mujib, Abdul, dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002
·         Mujib ,Abdul, Kepribadian Dalam Psikologi Islam ,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006
·         http://www.oasetarbiyah.com/?p=33 (mengutip dari Internet tanggal 24 Februari 2011)
·         Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka, 1994
·         Arifin,M, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996
·         Najati ,Muhammad Usman, Psikologi Nabi, Bandung : Pustaka Hidayah, 2005
·         Netty dkk, Islam Dan Psikologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2004




[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 788
[2] Ibid h. 676
[3] Netty dkk,Islam Dan Psikologi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2004), H. 117
[4] Ibid h. 119
[5] Ibid h. 122
[6] Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006) H.24

[7] Abdul Mujib, Op.Cit,  h. 250
[8] Op.Cit, h. 14-15

[9] Op.Cit,  h. 253-255
[10] Op.Cit,  h. 261-265
[11] Op.Cit, h. 283-285
[12] Op.Cit, h.290-294
[13] Op.Cit, h. 295-298
[14] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002, h. 78
[15] Ibid h. 84
[16] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h. 93
[17] Muhammad Usman Najati, Psikologi Nabi, Bandung : Pustaka Hidayah, 2005, H. 297
[18] Ibid, h. 97-103
[19] Abdul Muiz Kabry, Jiwa Keberagamaan Membentuk Manusia Seutuhnya, ( Jakarta : Kalam Mulia, 1993), H 8

[20] Ibid h. 319-320

No comments:

Post a Comment