A.
Pengertian Kepribadian Muslim
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia kepribadian
adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap sesesorang atau suatu bangsa yang
membedakannya dari orang lain atau bangsa lain.[1]
Sedangkan muslim adalah penganut agama islam.[2]
Kepribadian dalam bahasa Inggris disebut dengan personality. Akar kata personality berasal dari bahasa latin persona yang berarti topeng. Yaitu yang
biasa dipakai oleh aktor drama atau sandiwara.[3]
Menurut Allfort yang dikutip oleh Sumadi Suryabrata
menyatakan bahwa karekter itu sama dengan kepribadian, tetapi dipandang dari
sudut “penilaian” baik- buruk, senang-benci. Sedang istilah kepribadian dipandang
dari sudut menggambaran manusia apa adanya tanpa disertai penilaian.[4]
Menurut Raymond Berard Catell kepribadian adalah
sesuatu yang memungkinkan prediksi tantang apa yang akan dikerjakan seseorang dalam
situasi tertentu. Kepribadian mencakup semua tingkah laku individu, baik yang
terbuka maupun tersembunyi.[5]
Dalam islam istilah kepribadian dikenal dengan al-syakshiyah. syakshiyah berasal dari kata syakh
yang berarti pribadi. Yang kata ini kemudian diberi nisbah sehingga menjadi
kata benda buatan yang berarti “kepribadian”.
Secara etimologi imam Al-Ghazali berpendapat bahwa
manusia memiliki citra lahiriyah yang disebut dngan khalq, dan citra lahiriyah yang disebut dengan khulq. Khalq merupakan
citra fisik manusia, sedangkan khulq
secara etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaaan seseorang tanpa
melibatkan unsur lahirnya.
Muslim
berarti orang islam, kata islam
seakar dengan kata al-salam, al-salm,
dan al-silm yang berarti menyerahkan
diri, kepasrahan, ketundukan dan
kepatuhan. Kata al-salm, dan al-silm yang berarti damai atau aman dan
kata al-salm al-salam, dan al-salamah yang berarti bersih dan selamat dari cacat, baik lahir
maupun batin. Orang yang berislam adalah orang yang menyerah,tunduk dan patuh
dalam melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada
gilirannya akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian hidupnya di dunia dan di
akherat. Firman Allah swt :
4n?t/
ô`tB
zNn=ór&
¼çmygô_ur
¬! uqèdur
Ö`Å¡øtèC
ÿ¼ã&s#sù
¼çnãô_r&
yYÏã
¾ÏmÎn/u
wur
ì$öqyz
öNÎgøn=tæ
wur
öNèd
tbqçRtøts
(Tidak
demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Al-Baqarah : 112)[6]
B.
Kepribadian Muslim Menurut
Al-Qur’an dan Hadits
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang
berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah
pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari
aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah
satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi
seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat
menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.Bila disederhanakan, setidaknya
ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim.
Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada
Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan
ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang
muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya
yang artinya: “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam” (QS.
Al-An-Am :162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting,
maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW
mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2.
Shahihul Ibadah
(ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang
penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana
melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang
berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh
setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan
makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam
hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki
akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk
memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya
yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Allah berfirman
yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. Al-Qalam :4).
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada.
Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga
dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat.
Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus
dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah
dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang
muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan.
Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal
itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan.
Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW
bersabda yang artinya: “Mukmin yang kuat
lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah “. (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga
penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an
juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir,
misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al-Baqarah:219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan,
kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus
memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan
pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan
intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah:
“samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘,
sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS
39:9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa
nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada
pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang
baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari
yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala
seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap
diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda
yang artinya: “Tidak beriman seseorang
dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa
(ajaran Islam)” (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini
karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu
seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni
24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung
dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang
menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu
merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola
waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak
ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah
memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu
hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang
sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu
urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang
ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam,
baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan
dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama,
maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional.
Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan.
Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu
pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam
penunaian tugas-tugas.
9.
Qodirun Alal
Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang
muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran
dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki
kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan
prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi
ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja
kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh,
zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu
perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal
itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut
memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya
mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil
dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang
lain)
Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim.
Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia
berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan
seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan
dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang
baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir).
Menurut Abdul Mujib, Kepribadian muslim dilihat dari
aspek lima rukun islam yaitu :[7]
1. Kepribadian Syahadatain
Syahadatain
Berasal dari kata “syahida” yang
berarti bersaksi, menghadiri, melihat, mengetahui dan bersumpah.
Kalimat syahadat terdiri atas dua kesaksian.
Kesaksian pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah
,sedangkan yang kedua berkatian dengan kesaksian bahwa nabi Muhammad saw adalah
utusan Allah. kedua kesaksian ini tidak boleh diabaikan salah satunya, sebab
jika diabaikan maka menjadi
ketidakbermaknaan salah satunya. syahadat pertama merupakan aktualisasi dari
tauhud Uluhiyah (ketuhanan). Sedang syahadat rasul memiliki arti bahwa nabi
Muhammad saw adalah rasul Allah terakhir atau penutup (khatim).yang ajarannya telah disempurnakan. Firman Allah swt :
4
tPöquø9$#
àMù=yJø.r&
öNä3s9
öNä3oYÏ
àMôJoÿøCr&ur
öNä3øn=tæ
ÓÉLyJ÷èÏR
àMÅÊuur
ãNä3s9
zN»n=óM}$#
$YYÏ
4
pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah : 3)
Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu
yang didapat setelah mengucapkan kalimat syahadat, memahami hakikat dari
ucapannya serta menyadari atas segala konsekuensi persaksian tersebut. Kepribadian
syahadatain meliputi domain kognitif dengan pengucapan dua kalimat verbal;
domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus; domain psikomotorik dengan
melakukan segala perbuatan sebagai konsekuensi dari persaksian itu.Kepribadian
muslim memiliki arti serangkaian perilaku orang/umat islam yang rumusannya
digali dari penelitian perilaku kesehariannya. Rumusan kepribadian muslim di
sini bersifat induktif-praktis, karena sumbernya dari hasil penelitian terhadap
perilaku keseharian orang/umat islam boleh jadi dalam penelitian itu ditemukuan
: 1). Pola kepribadian yang ideal, karena kepribadian itu sebagai implementasi
dari ajaran agama islam. 2) pola yang menyimpang (anomali), karena yang perilaku yang ditampilkan bertentangan dengan
ajaran agamanya, sekalipun dirinya berpredikat muslim. Dalam konteks ini
keburukan atau kejahatan perilaku orang/umat islam tidak dapat digeneralisasi
bahwa ajaran islam itu buruk atau jahat.[8]
Bentuk-Bentuk Kepribadian
Syahadatain
Kesaksian atas ketuhanan Allah swt. Berimplikasi
pada pembentukan kepribadian syahadatain sebagai berikut :
1. Kepribadadian
yang bebas, merdeka dan tidak terbalenggu oleh tuhan-tuhan yang nisbi atau temporer untuk menuju pada
lindungan atau naungan Tuhan yang Mutlak lagi Sempurna. Kata tiada tuhan
mengandung arti peniadaan (nafi)
segala tuhan-tuhan relatif dan temporer, sedang kata tiada Tuhan kecuali Allah
mengandung arti penetapan (itsbat)
pada Tuhan yang Mutlak dan Sempurna. Penuhan sesuatu selain Allah sama artinya
dengan pembelengguan diri dan membatasi kebebasan manusia sebagi makhluk yang
mulia. Firman Allah swt :
2. Iw on#tø.Î)
Îû
ÈûïÏe$!$#
( s%
tû¨üt6¨?
ßô©9$#
z`ÏB
ÄcÓxöø9$#
Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat.
2. Kepribadian
yang berpengetahuan secara pasti karena kepercayaan terhadap Tuhan merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam
kehidupan manusia jika kepercayaan itu hanya dengan dugaan (zhann) bukan berdasarkan pengetahuan
yang akurat maka dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kehancuran. Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (QS. AL-Isra : 36)
3. Kepribadian
yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keragu-raguan, segala hidup yang
penuh dengan keragu-raguan tidak akan maju dan sering gagal di tengah jalan,
sebab ia tidak memiliki motivasi untuk menggpai harapan dan tujuannya. Dengan
keyakinan terhadap Allah maka kehidupan ini akan ditempuh dengan optimis,
bergairah dan berusaha menempuh sunahnya.(Al-Hujurat : 15)
4. Kepribadian
yang menerima (qabul) segala
konsekuensi akibat dari perkataannya dan persaksiannya. Perbedaan antara ucapan
dan perilaku menunjukan adanya
kemunafikan dalam diri individu, sebaliknya konsistensi antara ucapan dan
perbuatan menunjukan integrasi diri yang baik. (QS.As-shaffat :35-36)
5. Kepribadian
yang tunduk dan patuh (inqiyad)
terhadap penciptanya. Individu yang tunduk dan patuh terhadap tuhan tidak
beberti memiliki kematangan jiwa atau kedewasaan diri, sebab ia dapat
menempatkan dirinya pada posisi yang sebenarnya. Hal ini tentunya berbeda
dengan apa dikemukakan yang oleh Errich Fromm bahwa ketundukan dalam beragama
menunjukkan kekanak-kanakan, justru kebebasan yang tak tekendali merupakan
perwujudan dari kepribadian yang tak tahu diri (QS.Luqman : 31)
6. Kepribadian
yang jujur (sidq) sebab kesaksian
menunjuk kepada ucapan dan tindakan sesuai apa adanya. Kebohongan dalam kesaksian
akan menjerumuskan diri individu pada kehancuran dan keresahan, sebab hidupnya
dikejar-kejar rasa berdosa atau rasa bersalah.(Al-Baqarah: 8-10)
7. Kepribadian
yang tulus (ikhlas) dimana ia
berperilaku bukan semata-mata karena
pengawasan orang lain atau sekedar mencari perhatian. Ia bekerja dengan
sungguh-sungguh semata-mata karena perintah dan melaksanakan kewajiban. Kerja
yang tidak tulus berakibat pada kualitas kinerja yang musiman dimana jika
menguntungkan diri sendiri (narcisisme)
ia bekerja dengan baik, tetapi jika tidak menguntungkannya maka ia bekerja seenaknya.
(Al-Bayyinah:5)
8. Kepribadian
yang penuh cinta(mahabbah), dimana
cinta kepada Tunhannya berarti cinta kepada diri sendiri, juga cinta kepada
orang yang cinta kepada Allah. (Al- Baqarah: 165)
Sedangkan kesaksian akan Rasul Muhammad saw akan
berimplikasi pada pembentukan kepribadian syahadatain sebagai berikut :
1. Kepribadian
yang seimbang dalam menilai dan mengikuti perilaku seseorang, meskipun
seseorang yang diikuti tersebut memiliki keistimewaan khusus. Kepribadian itu disebabkan karena kesaksian atas kerasulan Muhammad
saw tidak boleh dilebihkan (ifrath)
atau diremehan (tafrith). Muhammad
merupakan panutan (qudwah) yang patut
ditiru kepribadiannya. (Al-Kahfi: 110)
2. Kepribadian yang mengikuti pribadi yang agung.
(AlQalam : 4) membenarkan perkatannya yang dapat menyelamatkan, mencintai
pribadi yang suci melebihi cinta pada diri, keluarga harta dan manusia lainnya,[9]
2. Kepribadian Musalli
Musalli
adalah orang yang shalat. Shalat secara etimologi berarti memohon (do’a) dengan baik, kepribadian musalli adalah kepribadian individu yang didapat
setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tetib dan khusyu’ sehingga
ia mendpatkan hikmah dari apa yang dikerjakan. pengertian ini didasarkan atas
asumsi bahwa orang yang tekun shalat memiliki keperibadian yang lebih shaleh dari
pada orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari
perbuatannya. Terlebih lagi dinyatakan dalam sebuah hadits bahwa shalat
merupakan cerminan tingkah laku individu. Sabda nabi saw : sesungguhnya perilaku hambayang pertama kali dihisab di hari kiamat
adalah shalatnya. Jika slaatnya baik maka ia beruntung dan selamat, namun
apabila shalatnya rusaakk berantakan maka ia rugu dan menyesal (HR. Turmuzi,
Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad)
1. Dimensi- Dimensi Kepribadian Musalli
1). Dimensi afektif, satu kepribadian musalli yang dibentuk dari pengalaman afektif shalat,
sehingga menimbulkan perasaan dan daya emosi yang khas dan kuat. Kepribadian
ini didapat dari rukun qalbiyyah
shalat seperti niat dan kekhusyuaan.
2). Dimensi
kognitif, satu kepribadian musalli
yang dibentuk dari pengalaman kognitif shalat, sehingga menimbulkan efek
pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar biasa. Kepribadian ini didapat
dari rukun qawliyyah shalat, seperti
mengucapkan takbir, surat al-fatehah,tasyahud, shalawat nabi dan salam
3). Dimensi
Psikomotorik, satu kepribadian musalli
yang dibentuk dari pengalaman Psikomotorik shalat, sehingga menimbulkan kemauan,
gerak dan daya karsa yang mantap. Kepribadian ini didapat dari rukun fi’liyyah shalat seperti, berdiri, ruku’
sujud dan duduk dalam shalat.
Dilihat dari sudut motivasi shaat maka kepribadian
musalli memiliki dua dimensi yaitu :
1. Dimensi
interinsik, satu kepribadian musalli
dari kewajiban shalat sendiri tanpa dikaitkan dengan kebutuhannya yaitu shalat
wajib lima waktu termasuk shalat sunat rawatib(shalat
yang dikerjakan sebelum atau sesudah shalat wajib)
2. Dimensi
ekstrinsik, satu kepribadian musalli dari
kebutuhan orang yang shalat. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan sesuatu
marangsangnya untuk mekakukan shalat. Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan
shalat sunat, misalnya : shalat hajat, didorong oleh keinginan tercapainya
hajat atau kebutuhannya, shalat tahajud didorong oleh keinginan memperoleh
kedudukan yang tinggi, baik di dunia ataupun di akherat.
Bentuk-Bentuk
Kepribadian Musalli
1. Mendirkan
shalat yang diikuti oleh perintah mengeluarkan zakat. Hal ini mengandung arti
bahwa kepribadian yang seimbang antara perilaku dengan Allah dan perilaku
sosial seperti zakat. artinya semakin baik kualitas shalat maka semakin baik
pula interaksi sosialnya.
2. Perintah
kewajiban shalat menggunakan kata iqamah
(menunaikan) bukan ada’
(melaksanakan). Hal ini mengandung arti bahwa kepribadian musalli tidak hanya dibentuk secara jadi-jadian atau asal-asalan,
sehingga dapat berdiri kokoh dan tegak lurus dalam menjalankan amal shaleh.
3. sebelum
shalat dilakaukan terlebih dahulu membersihkan diri dari segala zat yang
berbahaya, seperti minuman keras dan narkoba. Hal ini mengandung arti bahwa
bahwa kepribadian musalli adalah kepribadian
yang dalam kehidupan sehari-harinya banyak tergantung keada Allah swt dan tidak
bergantung kepada yang lain, apalagi bergantung kepada minuman keras atau
narkoba. kepribadian musalli juga kepribadian yang memiliki tingkat
konsentrasi yang tinggi dan fokus dalam melihat sesuatu, sebab dalam shalat
disyaratkan untuk mengetahui, memahami dan menghayati apa yang diucapkan.
4. Shlalat
selayaknya dilakukan di mesjid karena mesjid merupakan pusat kegiatan
peribadatan. Hal ini mengandung arti bahwa kepribadian musalli merupakan kepribadian yang memiliki pusat atau institusi
dalam melakukan aktivitasnya
5. Shalat
merupakan wahana berzikir dan berpikir. Hal ini mengandung arti bahwa kepribadian musalli yang senantiasa
mengingat dan menyebut asma Allah dimana saja berada.[10]
3. Kepribadian Shaim
Shaim
adalah orang yang berpuasa. Kepribadian Shaim
adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan puasa dengan
penuh keimanan dan ketakwaan. Sehingga ia dapat mengendalalikan diri dengan
baik. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari
segala sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan
uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak mengerjakannya sebab ia mendapatkan
hikmah dari perbuatannya.
Bentuk-Bentuk Kepribadian Shaim
1.
Puasa sebagai pembentukan pribadi yang
sabar, tabah, tahan uji dan mengendalikan diri yang baik dalam mengarungi
kehidupan, terutama sabar dalam menjalankan perintah Allah swt. Hadits nabi saw
diriwayatkan dari Ibnu Majah dari Abu Hurairah disebutkan bahwa : “puasa itu separuh dari sabar”. Artinya
2.
Puasa daapt menyebabkan karakter ‘ayd dan faiiz. Dikatakan ‘ayd
karena ia tidak memiliki dosa yaitu pada waktu hari raya idul fitri. Dan
dikatakan fa’iz karena ia telah
dijamain oleh Allah swt akan masuk surga dan diselamatkan dari api neraka.
3.
Puasa sebagai pembentukan pribadi
yang sehat, baik jasmani maupun rohani. Sabda Nabi saw : “Puasalah kalian agar kalian sehat”[11]
4.
Kepribadian Muzzaki
Muzzaki
adalah orang yang telah membayar zakat. Zakat secara etimologi berarti
berkembang dan bertambah baik secara kuantitas maupun kualitas
(keberkahan). Kepribadian muzzaki adalah
kepribadian yang didapat setelah membayar zakat dengan penuh keikhlasan,
sehingga ia mendapatkan hikmah dari yang dilakukannya. Pengertian ini didapat atas asumsi bahwa
orang yang membayar zakat memiliki kepribadian yang pandai bergaul, dermawan,
terbuka berani berkorban, tidak arogan, memiliki rasa simpati dan kepekaan
sosial serta mudah menyesuaikan diri dengan orang lain.
Bentuk-Bentuk Kepribadian Muzzaki
1.
Kepribadian yang suci dan menjadikan muzzaki pada citra awalnya yang tanpa
dosa.
2.
Kepribadian yang seimbang, dimana
individu menyelaraskan aktivitas yang berdimensi vertikal dan horizontal.
3.
Kepribadian yang penuh empati terhadap
penderitaan pribadi lain, sehingga menimbulkan kepekaan sosial. Jiwa Muzzaki merasakan betapa resahnya orang
yang hidup kekurangan betapa bingungnya orang yang tidak memiliki uang ketika
membutuhkan sesuatu
4.
Kepribadian yang selamat dari petaka dan
fitnah, sebab zakat, infaq dan sadaqah dapat menolak bencana. Sabda nabi saw
dari riwayat Bukhari dai Khudaifah : “Seseorang
terkena fitnah dari keluarga, harta dan tetangganya dan ftnah itu dapat
dihilangkan dengan melakukan shalat, puasa dan sedekah.
5.
Kepribadian yang kreatif dan produktif
untuk memperoleh harta benda yang halal dan mendisribusinnya dengan cara yang
halal pula.[12]
5. Kepribadian
Haji
Haji
adalah orang yang telah melakukan haji. Kepribadian haji adalah kepribadian
individu yang didapat setelah melaksanakan haji yang semata-mata karena allah
swt. Sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang ia lakukan. Pengertian ini
didapat atas asumsi bahwa orang yang melaksanakan haji memiliki kepribadian
yang sabar dalam melintasi bahaya dan cobaan,
Bentuk-bentuk
Kepribadian Haji
1. Kepribadian
tauhidi, yaitu kepribadian yang utuh dalam memenuhi panggilan Allah swt yang
diwujudkan dalam bacan talbiyah dan
menyengaja menuju Ka’bah.
2. Kepribadian
mujahid, yaitu orang yang berperang dan berjuang di jalan Allah bentuk jihadnya
yaitu mengeluarkan harta benda untuk melaksankakan haji
3. Kepribadian
yang suci dan fitri, karena dalam ibadah tersebut menghapus nuktah (titik hitam) dalam jiwanya.
4. Kepribadian
yang sukses, karena telah melewati segala rintangan dan halangan yang berat
dalam melaksanakan ibadah haji.[13]
B. Fitrah Sebagai Dasar Kepribadian Muslim
Dalam literatur islam istilah fitrah memiliki makna
yang beragam. Hal ini disebabkan pemilihan sudut makna.
Fitrah
diungkapkan dalam Al-Qur’an sebanyak 20 kali yang digelar di dalam 17
surat. Diantara ayat yang memuat fitrah adalah al-Rum : 30 :
óOÏ%r'sù
y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9
$ZÿÏZym
4 |NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$#
tsÜsù
}¨$¨Z9$#
$pkön=tæ
4 w @Ïö7s?
È,ù=yÜÏ9
«!$
4
Ï9ºs
ÚúïÏe$!$#
ÞOÍhs)ø9$#
ÆÅ3»s9ur
usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w tbqßJn=ôèt
ÇÌÉÈ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
Berdasarkan makna etimologi fitrah berarti “terbukanya
sesuatu atau melahirkannya”. Dari makna tersebut maka berkembang menjadi dua
pokok pertama, fitrah berarti Al-Insyiqaq
atau Al-Syaqq yang berarti Al-Insyisar (pecah atau belah).[14]
Berdasarkan makna nasabi yaitu pengertian yang diambil
dari pemahaman beberapa ayat dan hadits nabi dimana kata fitrah itu berada. Karena masing-masing ayat atau
hadits memiliki konteks yang berbeda-beda maka pemaknaan fitrah juga mengalami
keragaman.
Petama,
fitrah berarti suci (al-Thuhr).
Pemaknaan ini didukung oleh hadits nabi
yang artinya :”Setiap anak tidak
dilahirkan kecuali dalam kondisi fitrah (suci). maka kedua orang tuanya yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi atau Musyrik. (HR. Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah). Kedua, fitrah
berarti Al-Khilqah, Al-Ijad atau Al-
Ibda’ (penciptaaan).
Bardasarkan makna terminologi fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat
dalam sistem psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasi dalam bentuk tingkah
laku, citra unik ini telah ada sejak awal penciptaan.[15]
Fitrah juga dapat mengandung makna kejiwaan yang
didalamnya terdapat potensi dasar dalam beragama yang benar dan lurus (Addien al-qayyim) yaitu islam. Potensi
dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun atau lingkungan apapun, karena
fitrah ini merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi
maupun bentuknya dalam setiap pribadi manusia.
Berdasarkan hadits nabi Muhammad yang menyatakan
bahwa setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah.
Syeikh Muhamad Abduh berpendapat bahwa agama islam adalah agama fitrah.
Pendapat Muhammad Abduh ini serupa dengan pendapat Abu A’la Al-Maududi yang
menyatakan bahwa agama islam adalah identik dengan watak manusia (human nature). Demikian pula pendapat
Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa agama islam diturunkan oleh Allah
untukmengembangkan watak asli manusia, karena islam adalah agama fitrah.
Pengaruh dari luar manusia terhadap fitrah yang
memiliki kecenderungan untuk berubah sejalan dengan pengaruh tersebut. Maka
dapat kita peroleh petunjuk bahwa fitrah sebagai faktor pembawaaan sejak lahir
manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya bahkan dia tidak dapat
berkembang sama sekali tanpa adanya pengaruh dari lingkungannya tersebut.[16]
Al-quran melukiskan bagaimana Allah menciptakan
manusia dari materi dan ruh. Allah telah membentuk Adam dari tanah kemudian ditiupkan
ruh darinya. Allah berfirman :[17]
øÎ)
tA$s%
y7/u
Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9
ÎoTÎ)
7,Î=»yz
#Z|³o0
`ÏiB
&ûüÏÛ
ÇÐÊÈ
#sÎ*sù
¼çmçG÷§qy
àM÷xÿtRur
ÏmÏù
`ÏB
ÓÇrr
(#qãès)sù
¼çms9
tûïÏÉf»y
ÇÐËÈ
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah".
Maka
apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".(QS.
38 :71-72).
a. Kemampuan
dasar untuk beragama islam, dimana faktor iman merupakan intinya beragama
manusia. Syeikh Muhamad Abduh, Abu A’la Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama
bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama islam
b. Mawahib
(bakat) dan qabiliyyat (tendensi atau
kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah swt.
c. Naluri
dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam keduanya saling
terpadu dalam perkembangan manusia.
d. Kemampuan
dasar untuk beragama secara umum, tidak terbatas pada agama islam. Dengan kemampuan
ini manusia dapat didik menjadi beragama Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi, namun
tidak dapat dididk menjadi atheis
(anti Tuhan)
e. Fitrah
terbuka kepada pengaruh eksternal (lingkungan)
f. Karakter
atau watak manusia merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir. Karakter ini
berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter terbentuk
oleh kekuatan yang terdapat dalam diri manusia, bukan terbentuk karena pengaruh
dari luar. Karakter sangat erat hubungannya dengan personalitas (kepribadian)
seseorang.
g. Intuisi
yaitu kemampuan manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati
nurani manusia yang membimbingnya kearah perbuatan dalam situasi khusus di luar
kesadaran akal pikrannya, namun mengandung makna yang konstuktif bagi
kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Allah kepada orang yang bersih
jiwanya.[18]
Selain komponen fitrah yang bersifat khusus dalam
berbagai macam kepribadian manusia terdapat pula komponen yang bersifat umum
yaitu :
1. Sugesti,
yaitu sikap yang terpengaruh apabila mendapat rangsangan atau dorongan.
2. Simpati,
yaitu sikap ikut merasakan akan keadaan emosi dan makhluk lain dari jenisnya
3. Imitasi,
meniru atau memindahkan kelakuan suatu makhluk kepada makhluk lain yang
biasanya dalam bentuk bermacam-macam
4. Bermain,
sikap yang bertujun untuk mencari kesenangan, sedang bila telah meningkat kepada
tahap bersungguh-sungguh, maka tujuannya bukan lagi menarik kesenangan tetapi
sudah mempunyai tujun lain diluar tujuan itu.[19]
Hadits Rasulullah saw juga menerangkan proses
penciptaan manusia dari unsur materi dan ruh. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw bersabda:”Sesungguhnya
salah satu dari kalian telah dikumpulkan proses penciptaannya di dalam perut
ibuya selama empat puluh hari. Kemudian selama empat puluh hari ia akan menjadi
alaqah (segumpal darah) dan menjadi mudghah (sekerat daging) pada empat puluh
hari lagi. Seetelah itu dikirim malaikan untuk meniupkan ruh kedalamnya.
Manusia dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah.
Yang dimaksud fitrah adalah agama yang lurus, potensi untuk mengenal dan
mentauhidkan allah swt. Cenderung kepada kebenaran dan tidak mengalami penyimpangan. Rasulullah saw
bersabda ”Setiap bayi terlahir dalam
fitrah. Lantas kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang yahudi, nasrani
atau majusi”. Manusia mempunyai potensi untuk mengenal kebenaran dan
melakukan amal baik, dan ia juga memiliki potensi untuk terpengaruh kondisi
keluarga dan lingkungannya yang tidak positif, sehingga ia menyuimpang dari
fitrah asalnya.
Dalam
sebuah hadits qudsi, Rasulullah meriwayatkan dari Tuhannya : “Sesunguuhnya Aku telah menciptakan
hamba-hambaKu dalam keadaan memeluk keyakinan yang lurus. Namun mereka didatangai
oleh setan sehingga makhluk terkutuk itu memalingkan mereka dari agama mereka.
Dengan fitrah yang dibawa sejak lahir manusia mampu membedakan antara benar dan
salah, antara yang baik dan yang buruk. Ia juga memiliki kesiapan untuk memilih
jalan yang benar dan jalan yang sesat melalui anugrah Allah, yakni berupa
kemerdekaan berkehendak. Allah ta’ala telah berfirman :
çm»oY÷yydur
ÈûøïyôÚ¨Z9$#
ÇÊÉÈ
Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS 90:10)
Melalui
fitrahnya manusia mampu membedakan mana yang halal dan yang haram, serta mulia
dan hina. Wabishah bin Ma’bad berkata : “suatu
hari aku menemui Rasulullah saw . beliau bertanya. kau datang untuk bertanya
kebaikan ? Aku menjawab :”Benar”. Maka Rasulullah saw pun bersabda :”mintalah
fatwa pada dirimu sendiri ! kebaikan adalah sesuatu yang dirasakan oleh hati
dan jiwa manusia. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang mengusik hati dan
menciptakan kebimbangan dalam dada.”
Dengan
fitrahnya manusia cenderung berbuat baik dan mencari ketenangan jiwa. Jika ia
melakukan perbuatan buruk, perasaannya akan terusik dan menjadi tidak tenang.
Dan ia tidak akan suka jika orang lain mengetahuinya. Jiwa manusia akan merasa
aman dengan sesuatu yang bisa menimbulkan pujian. Ia tidak akan mau sesuatu
yang mengakibatkan celaan. Fitrah semacam ini akan terus tumbuh melalui proses
pendidikan yang baik dan akan melemah kalau tidak mendapatkan pendidikan yang
baik. Keimanan merupakan peran vital dalam kehidupan Seorang muslim. Keimanan
merupakan sesuatu yang akan mengarahkan dan membentuk perilaku seseorang, baik
ketika ia berinteraksi dengan TuhanNya. Keimanan merupakan fondasi yang
dijadikan pijakan bagi manusia. Dalam pandangan islam orang yang dianggap
paling baik adalah orang yang paling kuat imanya dan takwanya. Dalam kacamata
islam, semua ciri yang melekat pada manusia tidak ada artinya. Hanya ketakwaan
dan keimanan saja yang akan menjadi pertimbangan untuk menetukan baik buruknya
seseorang.[20]
BAB
III
KESIMPULAN
Manusia
diciptakan dengan penciptaan yang paling sempurna. Dan disamping itu manusia diciptakan
dengan segala kelemahan dan ketidakberdayaannya. Manusia adalah makhluk sosial
yang tidak bisa hidup sendirian manusia memerlukan orang lain Dalam hidup dan
kehidupannya, disamping memerlukan orang lain. Manusia juga sebagai makhluk
ketuhanan yang cenderung mencari kebenaran akan siapa Tuhannya. Sehingga ada
manusia yang menyembah berhala, roh nenek moyang, dan lain-lain. Untuk itulah
Allah mengutus seratus dua puluh empat ribu nabi dan rasul untuk meluruskan
keyakinan manusia dan mengenalkan akan adanya Allah swt, Tuhan semesta alam
yang wajib disembah.
Fitrah
manusia inilah yang menjadi dasar kepribadian muslim. Walau bagaimanpun
rusaknya akhlak seseorang, namun dengan hidayah dari Allah dia pada suatu saat
nanti akan kembali berakhlak baik kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Contohnya banyak terjadi di masyarakat, seorag preman yang sering
mabuk-mabukan, mencuri, berjudi, sering keluar masuk penjara, dengan hidayah
dari Allah. Dia akhirnya bertobat dan merubah akhlak buruknya. Diapun akhirnya
menjadi manusia yang taat beribadah kepada Allah dan baik kepada sesamanya.dan
juga seseorang yang awalnya nonmuslim dengan hidayah dari Allah maka dia pun
mendapatkan agama yang benar yaitu islam.
Dan sudah
menjadi fitrah manusia juga untuk sesalu berbuat baik kepada sesamanya dan
kepada lingkungannya. Contohnya ketika melihat bencana meletusnya gunung berapi
melihat hal itu hati manusia menjadi kasihan. Dan secara spontan hati manusia
pun ingin memberikan bantuan sebisanya, baik, berupa materi, pikiran ataupun
tenaga. Inilah yang menjadi fitrah bagi setiap manusia walaupun manusia
berbeda-beda sifatnya. Namun fitrah dari Allah ini cenderung sama dimiliki oleh
setiap manusia.
DAFTAR PUSTAKA
·
Kabry,
Abdul Muiz, Jiwa Keberagamaan Membentuk Manusia Seutuhnya, Jakarta : Kalam Mulia, 1993
·
Mujib, Abdul, dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta :
PT.Raja Grafindo Persada, 2002
·
Mujib ,Abdul, Kepribadian Dalam Psikologi Islam ,Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2006
·
Kamus Besar Bahasa
Indonesia
Jakarta : Balai Pustaka, 1994
·
Arifin,M,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, 1996
·
Najati ,Muhammad Usman, Psikologi Nabi, Bandung : Pustaka
Hidayah, 2005
·
Netty
dkk, Islam Dan Psikologi, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada,2004
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :
Balai Pustaka, 1994), h. 788
[2] Ibid h. 676
[3] Netty dkk,Islam Dan Psikologi, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada,2004), H. 117
[4] Ibid h. 119
[5] Ibid h. 122
[6] Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) H.24
[7] Abdul Mujib, Op.Cit, h. 250
[8] Op.Cit, h.
14-15
[9] Op.Cit, h. 253-255
[10] Op.Cit, h. 261-265
[11] Op.Cit, h. 283-285
[12] Op.Cit, h.290-294
[13] Op.Cit, h. 295-298
[14] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta :
PT.Raja Grafindo Persada, 2002, h. 78
[15] Ibid h. 84
[16] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h. 93
[17] Muhammad Usman Najati, Psikologi Nabi, Bandung : Pustaka
Hidayah, 2005, H. 297
[18] Ibid, h. 97-103
[19] Abdul Muiz Kabry, Jiwa Keberagamaan Membentuk
Manusia Seutuhnya, ( Jakarta : Kalam Mulia, 1993), H 8
No comments:
Post a Comment