Wednesday, 24 June 2015

Sistem Pemerintahan Islam


 Telah jelas bahwa dalam khilafah tidak ada individu, dinasti, atau kelas yang bisa disebut khalifah, kecuali dengan persyaratan bahwa wewenang khilafah dipegang oleh seluruh rakyat yang bersedia memenuhi persyaratan 'perwakilan' (khilafah) setelah mereka menerima prinsip-prinsip Tauhid dan Risalah. Masyarakat seperti ini secara keseluruhan memikul tanggung jawab khilafah dan setiap inidividu memiliki hak dan tanggungjawab sebagai khalifah Tuhan. Setiap orang dalam masyarakat ini sederajat kedudukannya, tidak ada yang dapat merampas hak-hak dan kekuasaan itu. Lembaga dan wewenang negara merupakan extension (pelimpahan) dari wewenang individu-individu masyarakat. Siapapun yang memperoleh kepercayaan masyarakat atau dibaiat masyarakat akan menjadi pelaksana kewajiban-kewajiban kekhalifahan atas nama rakyat. Dalam hal ini Islam sangat 'demokratis', bahkan kekhalifahan itu lebih sempurna dari demokrasi. Hukum-hukumnya jelas berasal dari Tuhan, bukan akal manusia. Perbedaan lainnya dengan Demokrasi Barat ialah kedaulatan demokrasi ada di tangan rakyat, sedangkan kedaulatan dalam khilafah hanya berada pada tangan Allah dan manusia hanya perwakilannya di bumi. Dalam Demokrasi, hukum-hukum diciptakan oleh manusia itu sendiri sedangkan dalam khilafah masyarakat harus tunduk pada hukum-hukum Allah (syari'at) yang disampaikan melalui Rasulullah. Dalam Demokrasi Barat, pemerintah memenuhi kehendak rakyat; sedangkan kekhalifahan, pemerintah dan rakyat yang membentuk pemerintahan dimana tujuannya memenuhi kehendak dan tujuan Tuhan. Singkatnya Demokrasi Barat adalah semacam wewenang mutlak untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan cara bebas dan tak terkontrol. Dalam kekhalifahan adalah kepatuhan kepada hukum Tuhan dan melaksananakannya dalam wewenang sesuai perintah Tuhan dan dalam batas-batas yang digariskan oleh-Nya. ”Hendaklah kamu menetapkan hukum diantara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Allah” (QS. Al Maidah [5]: 49)
  
Secara gamblang tujuan sistem Islam adalah menegakkan serta memelihara kebajikan-kebajikan yang dikehendak Sang Pencipta. Sistem Islam / pemerintahan Islam tidak hanya untuk administrasi politik saja, tidak pula untuk tujuan kolektif suatu bangsa. Islam menyuguhkan ideologi untuk mengembangkan sifat-sifat kesucian dan kesejahteraan dan mencegah eksploitasi ketidakadilan dan kekacauan. Islam menggariskan kebijaksanaan yang tak bisa diubah oleh pemerintahan. Pemerintahan dalam bagaiamanapun juga tidak boleh membiarkan penipuan dan ketidakadilan dalam alasan politik sekalipun kepentingan bersama. Pemerintah menjunjung tinggi prinsip kebenaran yang hakiki. Kejujuran dan keadilan harus didahulukan dibanding pemikiran material. Individu dan negara memiliki kewajiban yang sama untuk memenuhi kehendak Tuhan. Memandang kekuasaan sebagai amanat dari Allah dan menggunakannya dengan keyakinan bahwa kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat. “Jika kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menghukum dengan adil (QS. An Nisa’[4]: 58)
Ada wacana bahwa Sistem Islam seperti ini membatasi bahkan mengekang hak-hak manusia, itu adalah tidak benar. Berikut akan dijelaskan singkat mengenai hak-hak itu. Islam telah menetapkan beberapa hak dasar bagi manusia yang harus dihormati dan ditegakkan dalam situasi apapun. Darah manusia adalah suci dalam keadaan bagaimanapun juga dan tidak boleh ditumpahkan tanpa justifikasi. Kesucian wanita harus dijunjung tinggi, mereka yang kelaparan harus diberi makan, mereka yang telanjang diberi pakaian, mereka yang sakit harus dirawat tanpa memandang apakah mereka termasuk masyarakat Islam ataupun pihak asing. Inilah beberapa hak dasar manusia yang diperoleh dari Allah dan dinikmatinya dalam konstitusi Islam. Bahkan kewarganegaraan Islam tak terbatas pada wilayah, atau kelahiran. Setiap umat Islam adalah keluarga dalam naungan konstitusi Islam. Setiap Muslim memiliki hak tersebut tanpa memandang ras, maupun kelas sosialnya.
Islam juga menetapkan hak-hak tertentu pada pihak non-Muslim atau dzimmi (mereka yang terikat perjanjian). Sistem Islam memfasilitasi dengan mereka membuat perjanjian dan menjamin perlindungan mereka. Hidup, harta benda dan kehormatan mereka harus dilindungi dan dihormati sebagaimana hak seorang Muslim. Pemerintahan Islam tidak ikut campur masalah pribadi kaum dzimmi. Misal dalam pelaksanaan ibadah mereka. Mereka juga mempunyai hak mengkritik pemerintahan dalam adab kesopanan yang berlaku. Hak-hak tersebut termasuk hak sipil tidak bisa dirampas dari kaum dzimmi kecuali mereka memutuskan perjanjian tersebut dengan pemerintah Islam. Tidak ada penindasan terhadap non-Muslim, pemerintah tidak boleh menumpahkan darah seorang dzimmi secara tidak adil.
Berikut penjelasan singkat mengenai administrasi sistem Islam. Tanggungjawab pengelolaan adminstratif pemerintahan berada di tangan seorang pemimpin ('amir). Kualifikasi dasar seoran 'amir adalah ia harus mendapat kepercayaan rakyat dan dibaiat oleh rakyat. Dia juga harus memahami ruh/semangat Islam dan bertaqwa pada Allah. Singkatnya ia harus orang yang saleh dan cakap dalam urusan pemerintahan. Sebuah dean penasehat (syura) juga harus dibentuk untuk membantu dan memberi bimbingan kepada 'amir dalam menjalankan tugasnya. Fungsi legislatif dipegan oleh 'amir dengan keputusannya berdasar dari nasehat dewan syura ini. 'Amir dapat menduduki jabatannya selama ia masih mendapat kepercayaan dari rakyat. 'Amir menjalankan pemerintahan berkonsultasi dengan dewan syura dan dalam batas-batas syariat. Setiap warga negara berhak mengkritik 'Amir. Legislasi dalam sistem Islam juga dibatasi oleh syariat dan tak ada keputusan yang boleh membuat keputusan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dengan demikian harus terdapat ahli dalam sub-dewan syura yang memberi nasehat pada 'Amir dalam hal legislatif. Keputusan legislatif 'Amir hanya kita yakini dalam hal 'badaniyah', bukan 'ruhuniyah' karena ruhnya tetap syariat Islam. Lalu kekuasaan yudikatif memperoleh wewenangnya langsung dari syariat, dan bertanggung jawab kepada Allah. Hakim-hakim dipilih oleh pemerintah namun sekali telah didaulat menjadi hakim maka harus mematuhi hukum-hukum Allah dalam pengambilan keputusannya dengan cara tidak memihak. Baik rakyat maupun pejabat pemerintahan tunduk pada hukum yang sama dan berada dalam pandangan hukum yang sama tanpa keistimewaan khusus. Islam adalah persamaan hak dan akan selalu berpegang pada prinsip ini dalam masalah sosial, ekonomi maupun politik. InsyaAllah saya akan mencoba membahas hak asasi manusia dalam Islam pada kesempatan nanti.
Dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (2001:204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan Khalifah.
Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.
Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari’ah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad (1988:147), menyatakan, “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini”.
Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar’i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya.
Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, 1988:148)
Terlebih, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini:
Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar’i yang qath’i. Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemashlatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.
Kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah bagian dari masalah aqidah, melainkan termasuk persoalan siyayah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.
Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.
Keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari’at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari’ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.
Kelima, sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.
Keenam, jika memang disepakati ide formalisasi syari’ah, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan.Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi’ah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.
Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.
Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan menurut syara’, mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama’ah menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.
Jadi, sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar’i dari pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat, agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, 1988:147).
Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan adalah menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum mustad’afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat misalnya dalam Al-Baidlawi, Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar, 1998: 348).

No comments:

Post a Comment