Nikah Sirri adalah suatu perkawinan
yang dilakukan oleh orang islam di Indonesia. Memenuhi baik hukum dan rukunnya
maupun syarat perkawinan, tetapi tidak didaftar pada pejabat pencatat nikah,
seperti diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Nikah
Sirri merupakan mode masa kini yang berkembang pada sebagian masyarakat islam
di Indonesia. Mereka berusaha menghindari diri dari suatu sistem dan cara
pengaturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. yang terlalu
birokratis dan berbelit-belit serta lama
pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan
dengan hukum islam.[1]
Contoh :
A seorang gadis beragama islam, telah
dinikahkan oeh bapaknya yang bertindak sebagai wali mujbir (wali perempuan yang sifatnya memaksa yaitu dari ayah, dan
seterusnya ke atas melalui garis laik-laki) dengan seorang pria yang beragama islam B, dan dihadiri oleh
dua orang saksi, membayar mahar, mengucapkan ijab qabul, tetapi tidak dilakukan
dihadapan pejabat pencatat nikah (penghulu). Dari perkawinan itu lahir seorang
anak perempuan (AB), namun amat sayang sekali perkawinan ini tidak berumur
panjang dimana sang suami menalak istrinya. Setelah habis tenggang wakutu
menunggu (iddah), A menikah lagi
dengan C dengan cara yang sama. Setelah melahirkan seorang anak F. Suami kedua
inipun menalak A. Untuk ketiga kalinya A menikah lagi dengan pria D, persis
seperti pernikahan pertama. Entah memang suratan takdir wanita A setelah
melahirkan seorang anak seorang anak perempuan S. Suami ketiga inipun
mengikrarkan talak satu (khuluq) kepada istrinya A dihadapan dua
orang saksi, tanpa mendaftarkan pada pejabat setempat. Disini timbul permasalahan
ketika anak perempuan tadi AB ingin menikah, tetapi amat saying sekali ayahnya
B. Tidak tentu lagi rimbanya. Inilah bebarapa problem yang dianggap merupakan
ijthad baru bagi para ulama.[2]
Kasus di Negara lain, Di Tibet suku
Marquessens dimana sang suami sendiri yang mencarikan suami kedua untuk
istrinya untuk bekerja bersama membina kemakmuran rumah tangganya.
B. Alasan nikah sirri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum
dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali.
Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali
perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali;
atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara
agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor
yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu
membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu;
dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
B. Hukum Nikah Sirri
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan
tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa
wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari
sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah
suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy
Syaukani, Nailul
Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa”
pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’
sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan
diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah
saw pernah bersabda:
أيما
امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita
mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy
Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا
تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah
(seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy.
Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan
bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan
maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja,
syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat
dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali
dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar
sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara,
pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah
Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni
pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada
lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara
berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan
pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut
ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak
kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan
baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat,
ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan
yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia
telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang
tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak
mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak
boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah,
dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia
ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan
kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua,
mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain
sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan
administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan
mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak
dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan
kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia.
Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai
berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini
telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat
C. Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan
implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah
acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah
masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan
Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah,
bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek
menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga
kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama,
sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris
atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih
memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah.
Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami
isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk
melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah
bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak
melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat
nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal
mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan
keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia
tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa
mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat
nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk
mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi
juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat
semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan
peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak
justru disalahgunakan.
Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) KH Ma’ruf Amin
menegaskan nikah sirri bisa menjadi haram, jika dalam pernikahan itu ada yang
tidak terlindungi seperti istri dan anaknya. Karena nikah sirri ini adalah
pernikahan yang tidak tercatat sehingga istri dan anaknya sulit untuk menuntut,
baik tuntutan warisan atau yang lainnya.
“Namun, kalau pernikahan siri itu rumah tangganya berjalan dengan baik sampai akhirat kelak tidak haram. Namun, nikah sirri diharamkan kalau ada yang terzolimi dalam pernikahan tersebut, seperti nikah sirri itu supaya tidak diketahui istri pertamanya karena setiap lelaki yang sudah berumah tangga dan mau menikah lagi harus minta izin kepada istri pertamanya,” kata dia.[3]
“Namun, kalau pernikahan siri itu rumah tangganya berjalan dengan baik sampai akhirat kelak tidak haram. Namun, nikah sirri diharamkan kalau ada yang terzolimi dalam pernikahan tersebut, seperti nikah sirri itu supaya tidak diketahui istri pertamanya karena setiap lelaki yang sudah berumah tangga dan mau menikah lagi harus minta izin kepada istri pertamanya,” kata dia.[3]
D. Ruu
Tentang Nikah Sirri
Dikutip dari harian
kompas, JAKARTA, KOMPAS.com — Kaum laki-laki dan perempuan sebaiknya mulai
berpikir ulang jika hendak melakukan perkawinan yang tidak dilakukan di hadapan
pejabat pencatat nikah atau nikah siri dan perkawinan mutah atau kontrak.
Pasalnya, pelaku kedua jenis perkawinan itu dapat dipidana penjara.
Hal itu terungkap dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010.
RUU itu memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Dalam kaitan mencari masukan materi RUU itu, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M) akan menggelar seminar nasional, pekan depan. Ketua panitia seminar, Abdul Gani Abdullah, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Kamis (11/2/2010) di Jakarta, menjelaskan, RUU itu akan menjadi pelengkap bagi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan dalam hukum Islam.[4]
Hal itu terungkap dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010.
RUU itu memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Dalam kaitan mencari masukan materi RUU itu, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M) akan menggelar seminar nasional, pekan depan. Ketua panitia seminar, Abdul Gani Abdullah, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Kamis (11/2/2010) di Jakarta, menjelaskan, RUU itu akan menjadi pelengkap bagi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan dalam hukum Islam.[4]
F. Syarat dan
Rukun Perkawinan
1.
Adanya calon penganten laki-laki dan perempuan
2.
Harus ada saksi yang beragama islam, laki-laki,
bligh dan adil
3.
Wali dari pihak perempuan
4.
Kewajiban membayar mahar dari pihak laki-laki
5.
Kalau mengambil analogi (qias) dan tafsiran
secara sistematis Al-quran surah al-baqarah : 282 dapat disimpulkan bahwa
perkawinan itu disamping harus ada dua orang saksi harus dicatat ditulis dengan
katibul bil adil (khatab atau penulis
yang adil diantara kamu)
6.
Ijab qabul
Walimah pernikahan
No comments:
Post a Comment